Repatriasi WNI Eks ISIS dan Negara Hukum yang Demokratis

ISIS diambang keruntuhannya
Sumber :
  • vstory

VIVA – Terbunuhnya pimpinan Islamic State of Iraq Suriah (ISIS) Abu Bakar Baghdadi oleh tentara AS dan koalisi seakan memberi isyarat kehancuran kelompok yang mendeklarasikan berdirinya negara Islam pada tahun 2014 ini.

Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

Kehancuran ISIS bukan hanya dihitung mundur ketika pimpinan mereka terbunuh, tetapi juga saat wilayah mereka yang semula hampir setengah dari luas wilayah Suriah ditambah Iraq, kini menyisakan Kota Hajin. Tentara ISIS yang tersisa bersembunyi di kota ini setelah pertempuran habis-habisan melawan tentara koalisi AS.

Sedari awal kita mesti kritis terhadap fenomena ini. Berdirinya ISIS pada tahun 2014 dengan mengatasnamakan diri sebagai negara Islam sudah mengundang banyak tanda tanya.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Terkait “metode kekerasan” yang dipakai jelas menunjukkan tanda-tanda negara ini tidak akan berdiri lama. Terlebih syarat sekunder berdirinya negara yakni pengakuan dari dunia internasional tidak terpenuhi. Alih-alih diakui, Berdirinya ISIS ditolak habis-habisan dari segala arah.

Sayangnya, ada yang tidak sepemikiran, ternyata di antara penolakan dunia internasional ada suatu entitas kecil yang membela dan seolah sudah lama menunggu hadirnya negara palsu ini. Aneh memang, tapi siapa yang tahu isi kepala orang?

Terima Penghargaan karena Menangkan Capres 5 Kali Beruntun, Denny JA Beri Pesan Politik

Mereka punya alasan tersendiri hingga memutuskan meninggalkan negara sendiri dengan memboyong istri dan anak-anaknya yang masih kecil. Anak-anak itu dibawa dengan mempertaruhkan masa depan mereka yang masih panjang. Mungkin ini tidak terpikirkan oleh orangtua mereka yang sudah siap melelang nyawa dengan angan-angan.

Maka sekarang idealisme telah dibasuh penyesalan. Kekalahan beruntut yang diterima ISIS, wilayah kekuasaan yang berkurang hingga terbunuhnya pimpinan mereka, membuat mereka yang tadinya sudah capek-capek membakar passport, mungkin berharap passport tersebut masih ada di kantong celana. Penyesalan atas keberpihakan itu ada, kini mereka berharap pemaafan dan dipulangkan dari sana.

Setelah ISIS di ujung tanduk, selanjutnya bagaimana? Jika dulu akses pergi sangat mudah karena disambut di negara orang, sekarang mereka terpaksa menunggu dijemput karena negara juga mempertimbangkan untuk memulangkan mereka ke Indonesia.

Mempertimbangkan? Ya, karena lagi-lagi tidak semua orang bisa sepemikiran. Presiden RI bahkan secara pribadi lantang berkata ‘Tidak’ untuk memulangkan WNI Eks-ISIS. Tentu saja itu hanya pendapat prbadi, karena setelahnya akan diadakan rapat terbatas untuk membahas masalah ini.

Satu pertanyaan besar jika pada akhirnya pemerintah menolak memulangkan mereka. Bagaimana nasib WNI tersebut di wilayah perang, mengingat tidak semua dari mereka adalah tentara tetapi juga terdapat wanita dan anak-anak? Lantas walaupun tentara, apakah mereka tidak pantas dipulangkan?

Tanggung jawab negara

Jika mempertimbangkan stabilitas dan keamanan negara, jelas sekali negara akan menolak memulangkan WNI Eks-ISIS. jika dikhawatirkan sepulang mereka ke tanah air, akan timbul masalah lainnya yakni Radikalisasi dan Terorisme tentu saja alasan ini bisa dijadikan pemerintah untuk menolak pemulangan. siapa sih yang ingin bekerja dua kali lebih sulit?

Tetapi jika kita melihat secara kolektif permasalahan ini, maka titik tolaknya bertumpu pada tanggung jawab pemerintah. Pemerintah mempunyai tugas utama menjamin perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia pada setiap warga negaranya di mana pun mereka berada.

Grundgezsets sebagai peraturan pelaksana dari Pancasila mengamanatkan hal ini. pasal 28I ayat 4 menyebutkan bahwa HAM adalah tanggungjawab setiap elemen kehidupan negara terutama pemerintah.

Tetapi jika kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Pada pasal 23 disebutkan bahwa seseorang dianggap hilang kewarganegaraannya jika secara sukarela masuk ke dalam dinas atau tentara asing serta bersumpah setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing. Pasal ini semakin memperuncing perdebatan tentang keputusan negara untuk memulangkan WNI bekas warga negara ISIS.

Negara Hukum dan Negara Demokratis

Negara hukum dapat dipahami secara sederhana sebagai negara yang menjalankan fungsi pemerintahannya diatas kedaulatan hukum. Dengan arti lain, negara hukum adalah negara yang mendorong supremasi hukum yang bertujuan untuk menghasilkan ketertiban dalam kehidupan bernegara. Pasal 1 UUD 1945 menyebut tegas bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hukum mesti dijunjung tinggi, Artinya setiap penyelenggaraan dan penataan kehidupan bernegara haruslah berdasarkan hukum.

UUD 1945 juga menyuratkan secara eksplisit bahwa Indonesia adalah negara Demokrasi. Demokrasi dapat dipahami secara sederhana sebagai sistem yang menempatkan kedaulatan rakyat sebagai kedaulatan tertinggi. Dalam artian, negara demokrasi adalah negara yang menampung aspirasi rakyat dalam menyelenggarakan kehidupan negara yang sesuai dengan prinsip demokrasi.

Secara tidak langsung konsep negara hukum dan negara yang demokratis adalah suatu hal bertentangan. Negara hukum menghendaki supremasi hukum di atas segala-galanya.

Titah undang-undang adalah mutlak. Karena itulah jika merujuk kepada konsep negara hukum, maka WNI-Eks ISIS sangat tidak pantas untuk dipulangkan kembali ke Indonesia. setelah mereka menyatakan Bai’at atau sumpah setia untuk tunduk kepada ISIS dan menjadi tentaranya, maka secara hukum mereka bukan lagi WNI, jika merujuk pada UU No 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan.

Tetapi lain hal dengan konsep negara demokratis, yang menjunjung tinggi persamaan perlakuan dan hak bagi setiap warga negara. Karena itu demokrasi tidak akan lepas dari bahasan Hak Asasi Manusia. 

Salah satu Implemetasi demokrasi di Indonesia yakni ketika setiap orang mempunyai hak yang sama di pemerintahan secara tidak langsung melalui perwakilan di DPR. Karena menjunjung tinggi persamaan hak perlakuan, demokrasi dianggap yang baik dalam menyelesaikan masalah kemanusiaan, terutama masalah hak antara mayoritas dan minoritas.

Jika dua konsep kedaulatan tersebut dipadukan, maka jadilah konsep Negara Hukum yang Demokratis. UUD 1945 sangat tepat menyeimbangkan dua konsep ini untuk membangun kehidupan bernegara.

Negara yang menjunjung tinggi konsep kedaulatan hukum dengan menyampingkan konsep demokratis cenderung bersifat otoriter dan sewenang-wenang. Undang-undang adalah produk politik, karena itu bisa dipastikan terdapat cacat dalam produk hukum itu sendiri. Konsep Demokrasi menyeimbangkannya dengan Judicial Review terhadap produk hukum.

Walaupun menjunjung tinggi kedaulatan hukum, negara dapat bertindak sewenang-wenang atas nama hukum. Hal ini terjadi jika konsep kedaulatan rakyat atau demokrasi dikesampingkan.

Begitupun sebaliknya, konsep demokrasi atau kedaulatan rakyat yang mengeyampingkan kedaulatan hukum akan berujung pada anarkisme yang dllakukan oleh warga negara. hal ini terjadi karena setiap warga negara hanya menuntut persamaan hak tanpa menjalankan konsekuensinya yakni kewajiban.

Indonesia adalah negara hukum yang demokratis. Selain menganut konsep kedaulatan hukum Indonesia juga menganut konsep demokrasi atau kedaulatan rakyat.

Karena itu, jika dihubungkan dengan pemulangan WNI-Eks ISIS ke tanah air, tentu saja negara harus berpikir ulang jika menolak memulangkan mereka jika alasannya hanya alasan hukum.

Masalah kemanusiaan adalah fokus utama dalam permasalahan ini. tentang nasib WNI di daerah rawan perang terutama perempuan dan anak-anak. Dampak yang ditimbulkan juga akan lebih besar jika negara menolak repatriasi WNI, karena selain masalah kemanusiaan, dikhawatirkan masalah terorisme akan terus berlanjut dan melibatkan warga global sehingga permasalahan ini akan berbuntut panjang.

Seharusnya pemerintah tidak perlu memikirkan tentang keberpihakan. Repatriasi bukan berarti menunjukkan keberpihakan negara terhadap tindakan terorisme, tetapi lebih pada keberpihakan negara pada kemanusiaan.

Seharusnya tidak perlu berpikir panjang jika pemerintah sedari awal siap membimbing mereka yang ‘tersesat’ dengan cara yang sesuai dengan prinsip HAM.

Karena pada dasarnya tanggungjawab pemerintah tidak hanya sampai pada masalah repatriasi, tetapi juga bagaimana membina dan membimbing mereka agar kembali ke jalan yang benar sesuai dengan nilai dan asas yang dianut Negara Kesatuan Republik Indonesia. (?Robin, Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.