Konflik Hukum Pemulangan ISIS Eks Warga Indonesia

Jangan sampai terjebak dan terpapar paham radikalisme, sekalinya masuk, akan sulit dipulihkan akibat metode cuci otak yang jauh lebih berbahaya dari sekedar hipnotis
Sumber :
  • vstory

VIVA – Pemerintah Indonesia dengan yakin memutuskan untuk tidak memulangkan ISIS eks warga Indonesia yang jumlahnya sekitar 600 orang. Hal itu dilakukan setelah melihat respons penolakan masyarakat yang sangat khawatir jika dipulangkan akan membawa bibit-bibit kekerasan dan teroris baru, serta melukai orang-orang yang tidak bersalah. Bahkan, terakhir korbannya adalah seorang balita yang mengalami cedera cukup serius yang membutuhkan pemulihan yang lama?

Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

Secara kemanusiaan, hal tersebut sangatlah tepat. Bagaimanapun kepentingan dan perasaan masyarakatlah yang harus diprioritaskan, bukan kepentingan kelompok tertentu. Lalu bagaimana menurut perspektif hukum? Adakah konflik hukumnya? Menarik karena kasus ini tidak hanya berkaitan dengan hukum nasional, tetapi juga hukum internasional yang sangat mungkin bisa bertentangan. Saya coba telaah satu per satu:

1. Status kewarganegaraan
- Para anggota eks ISIS menjadi bukan WNI karena mereka sendiri dengan kesadarannya melepaskan kewarganegaraan dan juga karena bertempat tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia selama 5 tahun terus-menerus bukan untuk tugas negara serta tanpa alasan sah.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Hal ini diatur dalam pasal 23 Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Di samping atas kesadaran sendiri, status kewarganegaraan dapat hilang jika secara sukarela tunduk pada dinas tentara asing/negara asing/bagian dari negara asing tersebut, serta memiliki paspor dari negara asing
- Konflik hukum pun timbul karena Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), organisasi internasional yang sering membahas kejahatan lintas negara, mempermasalahkan istilah dinas tentara asing/negara asing/bagian dari negara asing pada pasal 23 UU Nomor 12 Tahun 2006.

Pasal tersebut tidak menjelaskan secara rinci bagaimana dengan ISIS, apakah termasuk dinas tentara asing/negara asing/bagian dari negara asing? PBB menyatakan bahwa ISIS adalah kelompok teroris/pemberontak, bukanlah kedinasan asing yang tunduk pada negara asing yang sah, sehingga pasal 23 bisa diperdebatkan.

Terima Penghargaan karena Menangkan Capres 5 Kali Beruntun, Denny JA Beri Pesan Politik

Solusi ya harus ada inisiatif dari presiden untuk segera merevisi UU Nomor 12 Tahun 2006, karena jika tidak, bisa menjadi celah eks ISIS untuk melakukan gugatan hukum karena pihak ISIS masih menganggap diri mereka negara

2. Tetap dipulangkan tetapi diproses hukum dan deradikalisasi
- Mencegah mereka bergabung dengan kelompok baru di negara tujuan
- Mencegah mereka memaksa ke Indonesia lewat jalur ilegal
- Dua poin di atas berpotensi terjadi karena kurang pengawasan dari pemerintah Indonesia jika mereka dibiarkan terlunta-lunta di negara tujuan eks anggota ISIS
- Memperhatikan faktor kemanusiaan, khususnya nasib anak-anak dari eks anggota ISIS
- Dipulangkan tapi diproses hukum, deradikalisasi, & dibina secara khusus

3. Domisili eks anggota ISIS
- Hukum internasional melarang seorang manusia berstatus tanpa kewarganegaraan
- Masalahnya, jika eks anggota ISIS ini ditolak kembali ke negara asalnya, lalu ke mana mereka akan bertempat tinggal? Siapa yang mau menerimanya? Jika tidak ada yang menerimanya apa disebut melanggar hukum & Hak Asasi Manusia? Apa tidak akan timbul masalah keamanan global (tersangkut kasus hukum lain) yang membuat negara asal secara tidak langsung untuk ikut bertanggung jawab? Dilematis memang

4. Status pengungsi atau bukan?
- Ada yang berpendapat status hukum WNI yang bergabung dengan ISIS adalah pengungsi, tapi ada juga yang berpendapat sebaliknya
- Mengacu pada Konvensi Status Pengungsi 1951, pendatang yang berstatus sebagai pengungsi tidak boleh dikembalikan ke negara asal karena akan membahayakan keselamatan mereka
- Jika mereka menyalahgunakan visa dan dideportasi ke negara asal, maka negara asal tidak punya alasan untuk menolak mereka. Terlihat dengan jelas aturan ini berpotensi bertabrakan dengan UU Kewarganegaraan

5. Konflik kepentingan negara tujuan vs negara asal
- Eks anggota ISIS jika dibiarkan pulang ke Indonesia berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dengan negara tujuan eks anggota ISIS seperti Suriah, Turki, Irak, dan sebagainya, yang tentu saja memiliki hukum nasionalnya masing-masing. Bagaimanapun negara tujuan tadi juga punya hak untuk memutuskan nasib eks anggota ISIS
- Sikap Indonesia menolak kepulangan eks anggota ISIS ini cukup meredakan konflik kepentingan tersebut
- Perlu ada kerja sama hukum internasional yang lebih intens antara Indonesia dengan negara-negara tujuan eks anggota ISIS, terutama dalam memberantas terorisme dan kejahatan kemanusiaan lainnya

6. Menyeret negara-negara yang mendukung tumbuhnya ISIS
- Inilah akar masalahnya yang harus diberantas dan digugat ke Mahkamah Internasional. Dibutuhkan keseriusan, keberanian dan kerja sama negara-negara di seluruh dunia yang serius memberantas terorisme. Apalagi negara-negara pendukung ISIS memiliki power yang kuat
- Tidak hanya itu saja, status hukum eks anggota ISIS harus diperjelas di Mahkamah Internasional agar tdak menimbulkan konflik kepentingan antar negara dan perbedaan persepsi.

Terorisme memang menjadi masalah internasional yang harus diatasi secara bersama-sama oleh negara-negara yang benar-benar serius memberantas terorisme. Langkah tersebut sudah pasti akan mendapat gangguan dari negara-negara pendukung terorisme (secara diam-diam).

Terobosan hukum internasional diperlukan untuk mengatasi terorisme, termasuk nasib eks anggota ISIS. Tentunya hukum nasional pun harus selalu di-update agar selaras dengan hukum internasional. Saya percaya, Indonesia termasuk salah satu negara yang sangat serius memberantas terorisme dan pemerintah diharapkan mengeluarkan keputusan yang tepat untuk menyikapi nasib WNI eks anggota ISIS.

Terakhir, artikel ini ditutup dengan kutipan menarik dari seorang peneliti terorisme, Dete Aliah: "radikalisme tidak bisa diukur dengan penampilan karena adanya di alam pikiran. Maka, cara mengatasinya harus menggunakan berbagai metode dalam jangka waktu yang lebih panjang". Jadi, tidak sebatas melalui pendekatan hukum semata, tetapi juga melibatkan bidang lain, seperti pendekatan agama, moral, psikologi, kejiwaan, ekonomi, kemanusiaan, dan sebagainya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.