Reformasi Birokrasi masih Bermuka Dua

Reformasi merupakan perubahan yang lebih baik.
Sumber :
  • vstory

VIVA – Reformasi birokrasi merupakan perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan untuk menciptakan birokrasi pemerintahan yang professional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, bersih dan perilaku KKN, serta mampu melayani publik (rakyat) secara akuntabel.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Melihat dari pengalaman sejumlah negara menunjukkan bahwa reformasi birokrasi merupakan suatu langkah awal untuk mecapai kemajuan sebuah negara. Melalui reformasi birokrasi, dilakukan penataan terhadap sistem penyelenggaraan yang tidak hanya efektif dan efisien, tapi juga reformasi birokrasi menjadi tulang punggung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Birokrasi juga dituntut untuk dapat melayani masyarakat secara cepat, tepat dan professional. Oleh sebab itu, cita-cita reformasi birokrasi adalah terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang professional, memiliki kepastian hukum, transparan, partisipatif, akuntabel dan memiliki kredibilitas serta berkembangnya budaya dan perilaku birokrasi yang didasari oleh etika, pelayanan dan pertanggungjawaban publik serta integritas pengabdian dalam mengembangkan suatu misi atau tujuan dari reformasi birokrasi ini.

Terima Penghargaan karena Menangkan Capres 5 Kali Beruntun, Denny JA Beri Pesan Politik

Tetapi, dari cita-cita reformasi birokrasi tersebut sulit untuk terwujud. Mungkin dari pandangan tersebut, kita bisa melihat atau mengingat kembali birokrasi pada zaman rezim Orde Baru. Yakni sejarah Indonesia Merdeka menunjukkan birokrasi yang tidak netral dan telah membawa Indonesia pada jurang kekacauan politik. Dan birokrasi yang tidak netral selalu tumbuh bersama dengan kekuatan dan kepentingan politik atau bisa juga disebut kepentingan suatu elit yang menduduki jabatan tertinggi saat itu.

Birokrasi pada zaman Orde Baru selalu terjebak dalam godaan KKN, dan akhirnya juga membawa negara kita pada kehancuran ekonomi. Hal semacam itulah telah terjadi pada setiap “rezim pemerintahan”, dengan akibat dan dampak berupa kelemahan bangunan kelembagaan hukum, dan kehancuran kehidupan ekonomi, politik dan sosial.

Membongkar Tuduhan Pratikno sebagai Operator Politik Jokowi, Strategi untuk Menjatuhkan

Reformasi birokrasi yang terjadi di Indonesia pada dasarnya dirancang sebagai birokrasi yang rasional dengan pendekatan structural Hirarki (MaxWeber). Secara langsung menegaskan pentingnya rasionalitasasi birokrasi yang menciptakan efisiensi, efektivitas dan produktivitas melalui pembagian kerja hirarki dan horizontal yang seimbang.

Reformasi birokrasi di Indonesia menurut saya, belum efektif dan efisien. Mengapa? Karena masih banyaknya terjadi korupsi, kolusi, nepotisme, pungutan terhadap rakyat. Masih banyak juga oknum birokrat yang kinerjanya tidak sesuai apa yang diharapkan, seperti melayani masyarakat, menjaga keamanan, dan mensejahterakan rakyat.

Pada zaman reformasi birokrasi ini banyak oknum birokrat menyalahgunakan wewenangnya, sejak tahun 2004 hingga 2019 terdapat 124 Kepala Daerah terjerat korupsi seperti Gubernur, Wali Kota hingga Bupati.

Faktor terjadinya korupsi yang paling signifikan di daerah adalah faktor politik dan kekuasaan, dalam arti bahwa korupsi di daerah paling banyak dilakukan oleh pemegang kekuasaan seperti eksekutif maupun legislatif yang menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang yang dimilikinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun untuk kepentingan kelompok dan golongannya.

Sekitar 85?ri kasus-kasus korupsi yang terjadi didaerah ternyata dilakukan oleh para pemegang kekuasaan. Modus yang dilakukan pun sangat beragam, mulai dari perjalanan dinas fiktif, penggelembungan dan APBD maupun cara-cara lainnya yang tujuannya untuk menguntungkan diri sendiri, kelompok maupun golongan dengan menggunakan dan menyalahgunakan uang negara.

Faktor yang kedua seperti nepotisme. Masih sangat kentalnya atau masih terbenam di dalam hati pada oknum birokrat untuk melakukan nepotisme baik di sektor publik maupun swasta, di daerah-daerah terutama dalam penempatan posisi yang strategis tidak jarang kemudian menimbulkan penyalahgunaan kewenangan, terutama yang bersangkut paut dengan keuangan negara.

Selain itu juga, lemahnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga, seperti BPKP, Bawasda maupun KPK terhadap penggunaan keuangan negara oleh pejabat-pejabat publik yang merupakan salah satu faktor penting yang turut menumbuh suburkan budaya korupsi di daerah-daerah.

Fungsi kontrol yang dimaksud adalah dijalankan nya oleh lembaga legislatif pun pada kenyataannya seringkali tidak efektif, yang disebabkan karena lembaga legislatif itu sendiri pun seringkali juga terlibat dalam penyimpangan dan penyalahgunaan keuangan negara yang dilakukan oleh penguasa (eksekutif).

Dari banyaknya permasalahan yang ada pada zaman reformasi birokrasi ini. Reformasi birokrasi masih bulan bekerja dengan baik untuk melayani masyarakat, mensejahterakan rakyatnya  karena masih sangat kentalnya budaya KKN pada masa orde baru saat itu.

Reformasi birokrasi dalam mewujudkan cita-citanya dinilai masih kurang efektif, efisien dan bisa disebut gagal dalam melayani masyarakat Indonesia. Dari permasalahan-permasalahan yang terjadi pada zaman reformasi birokrasi tersebut pasti memiliki solusi atau strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Untuk implementasi dalam mengurangi korupsi, kolusi dan nepotisme, lembaga pengawasan mungkin bisa menerapkan sanksi pidana maksimal secara tegas, adil dan konsekuen tanpa ada diskriminasi bagi para pelaku korupsi, kolusi serta nepotisme.

Penegakan hukum atau pemberian sanksi tegas tersebut di pusat maupun daerah, khususnya dalam pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001.

Oleh karena itu, seluruh aparat penegak hukum dan lembaga pengawasan serta pejabat di daerah perlu meningkatkan kerjasama dan koordinasi, sehingga adanya persepsi yang sama dalam memahami sebuah unsur tindak pidana korupsi.

Masyarakat pun ikut andil dalam mengawasi jalannya birokrasi di Indonesia. Pada Pasal 41 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) menegaskan bahwa tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Peran serta masyarakat tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam penyelenggaraan birokrasi yang bersih dari tindak korupsi. Di samping itu, dengan peran serta tersebut masyarakat akan lebih bergairah untuk melaksanakan kontrol sosial terhadap tindak pidana korupsi.

Peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi diwujudkan dalam bentuk antara lain, mencari, memperoleh, memberikan data atau informasi tentang tindak pidana korupsi dan hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi di birokrasi Indonesia.

Maka dari itu reformasi birokrasi saat ini masih bermuka dua karena masih banyak oknum birokrat atau para pejabat yang menggunakan wewenangnya untuk dirinya sendiri dan kelompoknya. Perilaku seperti itu sama hal seperti budaya rezim birokrasi Orde Baru.  (Penulis: Ilman Bukhory, Jurusan Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Malang)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.