Demi Cita-cita, Kurela Menunda Nikah

tampil pede, meskipun sedang sedih
Sumber :
  • vstory

VIVA – Tanggal 3 April 2020 adalah hari ulang tahun saya yang ke-28. Menjelang perayaan hari ulang tahun saya, orangtua di rumah sibuk menyiapkan acara hari ulang tahun saya. Acara perayaan ulang tahun kali ini berbeda dari sebelumnya.

Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

Perayaan ulang tahun kali ini lebih meriah dari perayaan ulang tahun saya sebelumnya. Entah kenapa, kali ini dibuat meriah oleh orangtua. Padahal, saya tidak merasakan hal yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Karena saya sangat penasaran, akhirnya, saya memberanikan diri untuk bertanya kepada Ibu saya.

Ibu saya, hanya menjawab “Karena  Orangtua sedang bahagia dengan pertahanan prestasi saya di pondok pesantren selama ini. Selain itu, kebetulan ekonomi keluarga sedang membaik. Jadi, orang tua mengungkapkan rasa syukurnya bersamaan dengan perayaan hari ulang tahun saya. Namun meskipun saya sudah mendapat jawaban dari Ibu, dalam hati kecil saya, masih timbul pertanyaan.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Pada hari Kamis, 3 April, sekitar  pukul 21. 30 Wib, Orangtua telepon saya. Orangtua sengaja menelepon saya, karena beliau rindu sama saya. Obrolan panjang antara bapak, ibu dan saya berlangsung lama pada malam itu. Tema yang dibicarakan kami hanya seputar keadaan keluarga dan masa depan keluarga, khususnya keadaan dan masa depan saya. Keharmonisan komunikasi kami melalui telepon menghibur dan menjadi kebahagiaan tersendiri untuk kedua orangtua terlebih untuk saya.

Pada saat kami sedang asyik bergurau melalui telepon, tiba-tiba bapak  yang sedang duduk bersama Ibu di rumah, bertanya kepada saya.

Terima Penghargaan karena Menangkan Capres 5 Kali Beruntun, Denny JA Beri Pesan Politik

 ”Mas kapan kamu mau pulang dari pesantren dan meneruskan perjuanganmu di rumah?” pertanyaan ciri khas bapak saya yang sering diungkapkan kepada anak-anaknya yang  sudah waktunya menikah. Setelah saya mendengar pertanyaan dari bapak, saya pun kaget, dan terdiam. dalam hati, saya bertanya. “Apa karena ini, perayaan hari ulang tahun dibuat lebih meriah?” “Apa karena mereka sedang berikhtiyar untuk pernikahan saya?” pertanyaan yang spontan muncul dalam diri saya.

 “Mas, mas, masssssssss” bapak memanggil saya dengan nada agak kenceng. “iya, iya pak, ada yang bisa mas bantu”. Jawab saya, untuk merahasiakan kekejutan saya atas pertanyaan bapak. “Kamu kenapa terdiam?” Bapak dan ibu sedang menunggu jawaban kamu mas. Jawab bapak.

“Terimakasih pak, atas perhatian bapak terhadap mas. Sementara ini mas masih konsentrasi dengan cita-cita mas yang sudah di restui bapak, ibu, dan keluarga sejak dulu”. Jawabanan saya untuk pertanyaan Bapak.

Setelah kedua orangtua mendengar jawaban dari saya, merekapun memaklumi dan mendukung keputusan saya untuk mengedepankan cita-cita dari yang lain, termasuk urusan menikah.

”Ya sudah, kalo memang seperti itu keputusan mas, ibu dan bapak akan senantiasa menanti kepulanganmu nak”. Jawaban Ibu sambil mengalirkan air mata. Mungkin karena kasihan melihat saya yang masih sendiri.

“Sudahlah Bu’ insyaallah suatu saat  nanti, mas akan bertemu dengan jodohnya, Kita doahkan saja biar mas cepat sukses dalam meraih cita-citanya”. Bapak mencoba menghilangkan kesedihan Ibu saya.

Ibupun mengagguk sambil tersenyum.

“Bu’ Insyaallah suatu saat nanti menantu ibu jauh lebih baik dari harapan ibu sekarang. Karena hari ini mas sedang menyiapkan semuanya”.

“Mas yakin dengan tercapainya cita-cita mas yang sekarang. Nasib masa depan mas, termasuk jodoh mas, akan menjadi perantara kebahagiaan keluarga”.  Saya mencoba meyakinkan Ibu.

“Iya mas, Ibu percaya sama Bapak dan kamu. Doa ibu selalu menyertai usaha kamu mas”. Jawab ibu kembali dengan wajah ceria dan tersenyum.

Setelah dua jam kami berkomunikasi melalui telepon, kamipun semakin bahagia. Beban saya yang muncul karena kesedihan orang tua atas nasib saya sekarang. “Yakni belum menikah”. Kini, seakan sudah pergi dari diri saya.

Diri saya terobati oleh kebahagiaan komunikasi saya dengan orangtua. Keikhlasan orang tua dalam memperhatikan hari ulang tahun, keadaan, dan masa depan saya. Kini  menjadi support untuk kesuksesan saya dalam menuntut ilmu di pondok pesantren.

Sudah empat belas tahun lamanya saya tinggal di pondok pesantren. Bukan hal yang mudah untuk bisa tinggal di pondok pesantren selama empat belas tahun lamanya.

Berbagai rintangan menghadang secara berkala untuk menguji saya. Dikit demi sedikit rintangan itu saya hadapi dan saya sikapi dengan penuh hati-hati. Setiap orang dan teman yang berpotensi bisa memberi solusi dari setiap rintangan atau masalah saya di pesantren, saya dekati dan saya mintai bantuan untuk menyelesaiakan masalah pribadi saya.

Dari sekian banyaknya rintangan Alhamdulillah dapat saya selesaikan dengan baik, sehingga sampai saya empat belas tahun lamanya tinggal di pondok pesantren tidak ada suatu halangan apapun yang mengganggu perjalanan saya dalam menggapai cita-cita.

Kenikmatan-kenikmatan yang saya terima selama saya tinggal di pondok pesantren menjadi perantara bertambahnya keyakinan saya akan kesuksesan saya yang sudah di tentukan Allah SWT.

Tinggal di pondok pesantren selama lima belas tahun, mengabdi di pesantren, meraih banyak prestasi di pondok pesantren, dan menikah sebelum pulang dari pondok pesantren adalah cita-cita saya yang sudah direstui kedua orangtua dan keluarga.

Kesempatan saya tinggal di pondok pesantren tinggal satu tahun lagi. Cita- cita yang belum tercapai hanya menikah. Hal ini menurut saya lebih menantang dari pada tiga cita-cita saya yang sudah saya lalui.

Akan tetapi meskipun menikah sebelum pulang dari pesantren adalah hal yang terkesan sakral dan sangat menantang diri saya. Saya  akan tetap “maju tak gentar”. Itulah prinsip yang saya dapatkan dari guru dan saya tanamkan dalam diri saya untuk menghadapi setiap rintangan.

Bimbingan para guru di pondok pesantren selalu mensuport diri saya. Keunikan dan keanehan dari bimbingan para guru sering saya temukan. Seperti nasihat guru beberapa tahun yang lalu.

Kemanfaatan dari nasihat para guru dapat saya rasakan setelah penantian lama. Ada juga nasihat-nasihat para guru yang saya dapatkan dahulu, waktu saya baru masuk pondok-pesantren kini baru bisa saya rasakan manfaatnya.

Dari sekian banyaknya bimbingan dan arahan guru yang tersimpan di buku harian saya selama di Pondok-Pesantren. Semuanya sangat bermanfaat bagi diri saya. Dan manfaatnya pun relatif. Ada yang langsung, dan ada juga yang menunggu sampai bertahun-tahun.

Bermodalkan buku catatan harian yang saya dapatkan dari para guru. kini sudah saya rasakan manfaatnya dan menjadi solusi atas permasalahan selama tinggal di pondok pesantren. Dan yang tidak kalah penting lagi ada juga nasihat-nasihat dari guru saya yang membekali saya dalam menyiapkan pernikahan saya.

Sekarang nasihat itu bagi saya bagaikan mutiara yang sangat berharga. Meskipun itu hanya berupa materi tapi bagi saya adalah sesuatu yang patut di hargai dan disyukuri. Karena dengan modal itu saya akan menjadi lebih mudah dalam mencapai cita-cita terakhir saya ini. Yaitu “menikah sebelum pulang dari pondok pesantren.”

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.