Anda Tak Pernah Salah untuk Melakukan Hal yang Benar

Ilustrasi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan
Sumber :
  • vstory

VIVA - Jadi jika sebelumnya sudah pernah saya katakan bahwa memasuki bulan April adalah ‘ujian’ seberapa kuat system sosial masyarakat kita mampu mengatasi dampak dari pandemi covid-19. Sebelumnya kita telah menyaksikan atraksi pertunjukan pemerintah pusat dan daerah soal status jakarta sampai politik anggaran untuk masa krisis.

Amicus Curiae Cuma Terakhir untuk Bentuk Opini dan Pengaruhi Hakim MK, Menurut Pengamat

Beberapa fenomena yang tampak dalam seminggu terakhir dapat kita ringkas:

01. Pengusaha sudah menyatakan dan memantapkan diri untuk tidak bisa membayar THR karyawan. Mereka hanya kuat membayar karyawan sampai bulan Juni jika pandemi ini berlangsung lama. Dari sini beberapa aspek yang dapat kita lihat adalah:

Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

Pertama, strategi pengusaha untuk memotong dan/atau tidak membayar THR bagi karyawan, ternyata di-copypaste dengan variasi oleh pemerintah pusat untuk tidak ada pembayaran THR dan gaji ke-13 bagi PNS. THR bagi PNS hanya akan diberikan kepada Golongan I, II dan III. Untuk Menteri, Presiden bahkan DPR akan diputuskan dalam rapat kabinet. Keputusan pemerintah di rapat kabinet akan menjadi rujukan bagi swasta terhadap dirinya sendiri.

Kedua, lobby swasta ke pemerintah tidak dijawab tunai, yang mengindikasikan APBN tidak mampu mengakomodasi kepentingan kelompok pengusaha, di mana APBN sudah semakin tergerus dari hari ke hari.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Ketiga, jawaban SMI tentu harus dimaknai sebagai sebuah pesan kuat, agar para eksekutif atau jajaran direksi dan eksekutif swasta harus rela gaji dan THR-nya dipotong untuk para karyawannya.

Keempat, perilaku pengusaha ini menunjukkan bahwa tidak semua pengusaha papan atas memiliki alokasi dana emergency jangka panjang.

Kelima, mulai munculnya gelombang PHK dan kebangkrutan model usaha dan lembaga keuangan. Misalnya, Ramayana di Depok melakukan PHK terhadap 100-300 orang karyawannya dan belum mendapatkan pesangon.

Sementara koperasi simpan pinjam Indosurya mengalami gagal bayar 10 Trilyun kepada para nasabahnya.

Modus-modus pengumuman kebrangkrutan seperti ini patut diwaspadai dalam situasi krisis ini dengan tujuan untuk mengelabui dan mengakali Perpu no. 1 tahun 2020 mengenai kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas system keuangan.

Jangan sampai kejadian seperti bank Bali dan bank Century terjadi lagi dengan perilaku pelaku usaha tamak dan serakah yang berselingkuh dengan kekuasaan

Keenam, pemerintah sebetulnya berharap banyak para konglomerat dan pengusaha nasional, agar menjadi jangkar pengamanan ekonomi yang berdampak sosial. Harapan ini ternyata bertepuk sebelah tangan. Perilaku oportunis para konglo dan pengusaha lebih dominan dibandingkan nasionalisme mereka terhadap tanah air dan saudara sebangsa.

Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, ketidaktulusan pemerintah dan swasta untuk menunjukkan itukad baiknya dalam situasi krisis ini akan berdampak terhadap lulus lolosnya uji publik terhadap omnibus law. Rakyat sebagai tim penilai akan memberikan catatan itu.

02. OJK dan Lembaga Perbankan tidak konsisten menjalankan instruksi/kebijakan pemerintah. Jika sebelumnya OJK mendorong adanya libur cicilan, belakangan ini dikoreksi menjadi relaksasi cicilan. Terkoreksinya kebijakan-kebijakan yang terjadi, menunjukkan tidak adanya konsolidasi dan koordinasi antar semua lini. Ketidakcakapan para pejabat di level eksekusi tentunya akan mempermalukan wajah pemerintah dalam hal ini langsung ke Bapak Presiden.

03. Telah terjadi persegeran isu yang sangat signifikan. Coronavirus atau covid-19 bukanlah semata isu kesehatan, masuknya IMF dan World Bank menunjukkan bahwa ini adalah soal stabilitas ekonomi. Apalagi IMF memberikan narasi luar biasa bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang akan lolos dari badai resesi. Tentu kita tidak boleh terlena dengan ‘olahan’ IMF yang kita tahu pasti tidak ada namanya makan siang Gratis.

Apa yang dilakukan pemerintah Indonesia saat ini, terhadap penanganan stabilitas ekonomi melalui paket stimulus yang ternyata dalam pelaksanaannya jauh dari mulus, ternyata menimbulkan keresahan dan sikap masa bodoh. Resah karena tidak yakin, masa bodoh karena rendahnya tingkat kepercayaan. Ketidakpercayaan ini menggeser isu yang awalnya isu kesehatan menjadi isu ekonomi menuju fase isu stabilitas politik.

04. Demontrasi kelihaian politik akan berlanjut. Presiden Jokowi yang tidak sudi ditekan untuk menetapkan status lockdown, telah menunjukkan kepiawaiannya dalam berpolitik dengan menetapkan status Penanganan Sosial Skala Besar (PSSB) yang didahului dengan decoy politik Status Darurat Sipil.

Serangan-serangan politik, cemoohan dilayangkan kepada presiden namun akhirnya dijawab dengan PSSB, yang menyebabkan banyak pihak kecele berat. Daerah yang ingin memperoleh status PSSB harus ditetapkan melalui KMK (Keputusan Menteri Kesehatan).

Jakarta telah memperoleh status PSSB dan akan diberlakukan efektif sejak tanggal 10 April 2020. Publik akan melihat kepiawaian Gubernur Anies dalam mengeksekusi PSSB, yang kita tahu begitu berat tanggung jawab dan tantangannya.

Masyarakat sudah lebih dari 3 minggu mengisolasi diri di dalam rumah. Kita lihat kemarin (Senin dan Selasa) Jakarta telah mulai menggeliat, warga mulai keluar rumah menggunakan kendaraan pribadi dan transportasi umum.

Ketakutan mereka tidak dapat menafkahi keluarga melebihi ketakutan mereka terhadap Virus. Tapi apakah benar itu ketakutan? Bukannya kebosanan yang melanda mereka? Anjing pun bisa bingung dan bertingkah gila jika 2 minggu tidak keluar rumah dan tidak diajak jalan-jalan oleh pemiliknya.

Di sisi lain, masyarakat yang taat mengisolasi diri, napi yang terisolasi justru dibebaskan. Kita disuguhkan tontontan pertunjukan/atraksi kebodohan level advance dari para pejabat.

Shifting tanggung jawab politik dari pusat ke daerah (khususnya jakarta) adalah wujud, bahwa penanganan politik lebih mengkhawatirkan dibandingkan isu ekonomi dan kesehatan. Konsentrasi sektoral ini menyebabkan lambatnya akselerasi di sektor lain. Yang tentu akan berdampak luar biasa terhadap rakyat.

Para elite harus segera sadar bahwa saat ini bukanlah ajang atraksi politik, kepentingan dan keselamatan rakyat adalah yang utama. Kalian tidak akan dihakimi jika berpihak pada kepentingan rakyat. Anda tak pernah salah untuk melakukan hal yang benar. (Budi Setiawan, Direktur Sosial Politik One Nation, Political and Public Policy Consulting)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.