Lockdown dan Arti Kemanusiaan

Gambar hanya ilustrasi
Sumber :
  • vstory

Beberapa hari kemarin, penulis mendengar berita yang mengejutkan, adik dari salah seorang teman penulis bunuh diri dengan cara gantung diri di kamarnya.
Ketika mendengar berita itu, penulis memikirkan alasan apa yang mendorong dia melakukan hal tersebut.

Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

Dia tidak kekurangan materi. Sebab dia mendapatkan pendidikan luar negeri dengan biaya sendiri. Kalau bukan alasan finansial, mungkin, dia bunuh diri karena keluarga, asmara, atau tidak tahan dengan lingkungan sosialnya. Pastinya, alasan itu cukup kuat untuk menekan dan mendorong dia mengambil jalan pintas tersebut.

Lalu, saya memikirkannya, sosok pemuda dengan masalah besar di pikirannya yang tampaknya tidak punya jalan keluar. Mungkin, dia tidak menemukan pertolongan yang di butuhkannya untuk bertahan. Lalu, saya mulai bertanya-tanya, “Apakah di tengah semua tekanan yang menyiksa itu tidak ada seorang pun yang peduli untuk mendengar?” Bila demikian, betapa sepi dan menyedihkan rasanya.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Tak lama berselang, penulis mendengar cerita seorang suami yang ditinggal pergi sang istri akibat Covid-19, wabah yang tengah menyerang tahun ini. Betapa kematian yang disebabkan oleh wabah, lebih mengerikan daripada hal apapun di dunia ini.

Sebab, ia meninggal seorang diri, dikuburkan seorang diri, tanpa ditemani oleh sanak saudara yang menghadiri. Bisa dibayangkan jika itu adalah saudara kita? Tak ada salam perpisahan, tatapan terakhir, salam terakhir yang bisa kita utarakan, karena perpisahan telah dimulai bahkan sebelum kematian itu datang menjemput.

Terima Penghargaan karena Menangkan Capres 5 Kali Beruntun, Denny JA Beri Pesan Politik

Kita hidup tenggelam dalam aktivitas sehari-hari yang menyita sebagian besar waktu dan perhatian. Tidak jarang, kita menjadi robot yang menjalankan rutinitas. Banyak orangtua yang tidak memiliki waktu untuk anaknya.

Banyak juga anak-anak yang tidak lagi mengenali orang tuanya secara personal . bahkan dalam lingkungsn kita sendiri banyak dari kita tidak mengetahui teman-teman kita karena sebuah ego.

Keresahan sosial berkembang menjadi kriminalitas. Berita tentang kekerasan, narkotika, pembunuhan, maupun bunuh diri menjadi berita sehari-hari yang tidak asing dan seolah-olah menjadi makanan sehari-hari. Kita pun menjadi terbiasa, seolah hal itu adalah realita yang tidak penting dan tidak menjadi urusan kita selama bukan kita yang mengalaminya.

Padahal sebenarnya, kehidupan yang kita jalani ini adalah kehidupan yang ditopang orang lain. Kenyataannya, sekaya apapun, kita butuh petani yang menanam padi dan menghasilkan beras untuk kita makan. Kita butuh tukang-tukang bangunan untuk membangun rumah kita.

Kita butuh penjahit yang menghasilkan pakaian-pakaian yang kita pakai. Kita butuh dokter & perawat untuk membantu proses kelahiran kita. Dan masih banyak lagi hal yang tidak bisa kita lakukan sendiri.

Lockdown yang terjadi baru-baru ini, membuat kita tersadar, betapa berharganya dinamika kehidupan orang lain terhadap kehidupan kita. Betapa kehidupan yang dijalani saat ini benar-benar merupakan sebuah kehidupan yang saling menopang satu sama lain.

Penulis menyadari bahwa penulis tidak pernah benar-benar melewati saat terberat dalam hidup penulis meskipun merasa begitu sendirian. Sebab, pada akhirnya penulis menemukan wajah-wajah yang mau mendengar, mendukung, atau sekadar berada di sana untuk penulis.

Penulis sangat bersyukur atas kehadiran mereka. “Bukannya kita terdorong untuk melakukan sesuatu bagi orang lain dengan menyadari hal Itu sebagaimana selama ini kita mendapatkan hal yang sama secara sadar maupun tidak?”

Akhirnya pada rutinitas yang sering merobotkan kita, para orang tua yang tak mengenali anaknya, para teman-teman yang selalu mengedepankan ego, tersadar sedini mungkin, setelah seluruh dinamika ini terhenti.

Lockdown kali ini menjadi media perenungan yang sangat dalam, bagaimana para manusia sebagai makhluk sosial, kehilangan sebagian besar arti kehidupan di dalam dirinya. Tiada sapa, tiada kesibukan, menjadi tema terbesar sebagai bahan renungannya.

Salah seorang tokoh dunia, Maria Teressa, pernah berkata bahwa “Bencana yang paling buruk bukanlah kelaparan maupun penganngguran, yang jauh lebih buruk adalah perasaan bahwa tidak ada seorang pun yang peduli pada kita.”

Mungkin realita-realita masalah socsal yang terjadi dewasa ini begitu mengakar dan sulit diatasi. Meski demikian, penulis percaya bahwa masih ada hal-hal yang dapat kita upayakan, sekecil apapun itu.

Penulis teringat pada sebuah film lama yang berjudul “Pay It Forward”. Film ini bercerita tentang seorang anak laki-laki yang mempunyai ide untuk melipat gandakan tindakan-tindakan kebaikan. Seseorang harus melakukan kebaikan sederhana untuk tiga orang lainnya. Satu menjadi tiga, tiga menjadi sembilan, dan seterusnya.

Tindakan-tindakan sederhana tersebut, mungkin, dapat mencerahkan hati seseorang dan membuat perubahan yang besar. Sebab, sering yang dibutuhkan seseorang bukan hanya perkataan bijak, melainkan hati yang mau mendengar dan peduli.

Dengan melipat gandakan kebaikan sederhana itu, mungkin, tanpa kita sadari, kita dapat menyelamatkan sebuah nyawa. Semoga setelah wabah ini berakhir, akan terlahir manusia-manusia yang lebih peduli akan pentingnya kemanusiaan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.