Pemerintah Menaikkan Iuran BPJS di Tengah Pandemi COVID-19, Apakah Etis?

Presiden Joko Widodo ketika mengumumkan kenaikan BPJS Kesehatan (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden)
Sumber :
  • vstory

VIVA – Presiden Joko Widodo akhirnya secara resmi menaikkan tarif iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sebelumnya, secara resmi diumumkan bahwa mulai 1 Mei 2020, iuran BPJS untuk Penerima Upah (PU) dan peserta mandiri batal naik dan kembali pada tarif awal. Hal ini mengacu pada keputusan Presiden yang tertuang ada Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018.

Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

Pendapat tersebut disampaikan dalam berita lain oleh Kepala Humas BPJS Kesehatan, M. Iqbal Ma’ruf yang menyatakan bahwa penerapan iuran BPJS sebagai tindak lanjut dari putusan Mahkamah Agung (MA), sehingga pengenaan tarif iuran mengacu pada Perpres Nomor 75 tahun 2018. Tarif iuran yang dikenakan sebesar Rp 80 ribu untuk kelas I, Rp 51 ribu untuk kelas II, dan Rp 25.500 untuk kelas III.

Pada 12 Mei 2020, Presiden Joko Widodo secara resmi mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 sebagai pengganti dari Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Hal ini menandakan, tidak berlaku lagi Perpres sebelumnya yang mengatur pengenaan tarif iuran BPJS Kesehatan. Di dalam Perpres tersebut, dituliskan bahwa untuk kelas I dikenakan tarif iuran sebesar Rp 150 ribu, kelas II sebesar Rp 100.000, dan kelas III sebesar RP 25.500 setelah dikurangi subsidi pemerintah sebesar Rp 16.500.

Bukan tanpa sebab pemerintah menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi saat ini. Pemerintah melakukan beberapa pertimbangan diantaranya untuk menjaga kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan, kebijakan pendanaan jaminan kesehatan, dan didalamnya termasuk mengkondisikan dengan kebijakan keuangan negara dan berkeadilan.

Terima Penghargaan karena Menangkan Capres 5 Kali Beruntun, Denny JA Beri Pesan Politik

Tak lupa pemerintah turut mempertimbangkan putusan MA Nomor 7/P/HUM/2020 dalam mengeluarkan Perpres 64/2020 tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Keputusan pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi saat ini dinilai oleh berbagai pihak kurang mencerminkan sebagai pemimpin yang etis. Ciri atau karakteristik salah satu pemimpin yang etis diantaranya melayani masyarakat, bukan menambah beban di pundak masyarakat di tengah pandemi saat ini. Pemerintah dinilai tidak peka dengan kondisi ekonomi masyarakat yang semakin sulit khususnya peserta iuran yang bekerja di sektor informal.

Keputusan pemerintah untuk membebani masyarakat dinilai bertentangan dengan Putusan MA untuk tidak memberatkan masyarakat dengan menaikkan iuran BPJS. Pemerintah lebih baik untuk mempertimbangkan kembali berbagai hal dengan memperhatikan tingkat daya beli masyarakat di tengah pandemi saat ini, memperbaiki kualitas layanan dari BPJS Kesehatan.

Keputusan pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan pada kelas I dan kelas II dinilai tidak menunjukkan ciri pemimpin yang etis. Ciri atau karakteristik pemimpin yang etis ditunjukkan dengan membuat keputusan yang adil dan seimbang.

Keputusan Presiden Joko Widodo untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan dinilai tidak adil dan seimbang karena kelas III mendapat subsidi dari pemerintah yang otomatis tarif iuran BPJS Kesehatan yang dikenakan tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Untuk peserta BPJS Kesehatan Kelas I dan Kelas II tetap terkena dampak dari kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Jumlah peserta mandiri BPJS Kesehatan hingga awal Mei 2020, total peserta untuk Kelas I sebanyak 6,11 juta peserta, kelas II sebanyak 7,38 juta peserta dan kelas III sebanyak 21,64 juta peserta.

Menilik jumlah peserta BPJS Kesehatan kelas I dan kelas II jika dibandingkan dengan kelas III memang terlampau jauh. Tetapi hal ini tidak menjadi alasan pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan hanya pada kelas I dan Kelas II, sedangkan kelas III turut naik namun mendapat subsidi pemerintah yang akhirnya tetap pada tarif iuran BPJS Kesehatan semula.

Keputusan yang tidak adil dan seimbang untuk masyarakat terlebih peserta iuran PBJS Kesehatan dinilai kurang mencerminkan pemimpin yang etis. Lebih lanjut, kenaikan iuran BPJS Kesehatan diputuskan di tengah daya beli masyarakat yang tengah menurun, yang menandakan ekonomi masyarakat sedang tidak baik di tengah pandemi COVID-19 saat ini.

Tidak hanya ekonomi masyarakat kecil yang turut terkena imbas dari COVID-19, tetapi turut ekonomi masyarakat menengah dan maju ikut terkena dampaknya.

Transparansi menjadi salah satu faktor etika penting dalam pengambilan suatu keputusan, yakni menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan. Transparansi menjadi penting untuk melihat alasan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan sesuai dengan data dan untuk mencegah adanya keterlibatan unsur kepentingan yang bermain di dalam proses pengambilan keputusan.

Hingga saat ini, pemerintah belum menunjukkan data terkait dengan perhitungan dasar dalam kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Publik saat ini tengah tidak tahu dan menilai pemerintah kurang transparan dalam transparansi dasar perhitungan kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada Perpres Nomor 64 tahun 2020.

Hal ini menambah stigma tidak baik di pemikiran masyarakat terhadap pemerintah yang langsung menaikkan disaat sebelumnya diumumkan bahwa iuran BPJS Kesehatan batal naik.

Kurangnya keterbukaan pemerintah dalam audit keuangan BPJS Kesehatan menambah rasa penasaran publik. Seharusnya jika pemerintah ingin menaikkan iuran BPJS Kesehatan harus diikuti dengan keterbukaan data soal keuangan, baik pemasukan, pengeluaran dan audit keuangan.

Tidak dapat dihindari pemikiran yang memunculkan stigma masyarakat bahwa adanya fraud  atau kecurangan dan korupsi di dalam keuangan PBJS Kesehatan serta adanya desakan dari berbagai golongan yang mengharuskan pemerintah untuk menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan.

Jadi, Pemerintah menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan dinilai kurang mencerminkan ciri atau karakteristik dari pemimpin yang etis dan terkesan untuk lari dari berbagai desakan berbagai pihak. Hal ini disebabkan karena sikap tidak transparan yang ditunjukkan oleh pihak pemerintah sendiri dalam memutuskan untuk menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi saat ini.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.