Menyoal Dalil "Gak Sengaja" Penuntut Umum Novel Baswedan

MENYOAL DALIL "ENGGA SENGAJA" PENUNTUT UMUM KASUS NOVEL BASWEDAN
Sumber :
  • vstory

VIVA – Penulis dengan sengaja menuliskan kegelisahan hati dan pikiran atas sidang pengadilan Novel Baswedan di Jakarta. Tak sampai di situ, pasalnya istilah “Gak Sengaja” atau “Tidak Berniat” (selanjutnya gak sengaja dipersamakan tidak berniat) diberitakan media online (11/06/2020) sebagai argumentasi resmi penuntut umum yang bertugas mendakwa dan menuntut si pelaku pada sidang pengadilan.

Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

Bahkan beberapa publik figur berpartisipasi meramaikan kalimat “gak sengaja” sebagai bentuk kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Diketahui putusan bagi si pesakitan di pengadilan adalah 1 (satu) tahun penjara. Terlepas apakah argumentasi penuntut umum mempengaruhi majelis hakim atau tidak. Tetapi, dalil “ketidaksengajaan” menurut ilmu hukum pidana tidak berdasar teori hukum pidana dan tak terjelaskan.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Disampaikan, tulisan ini tidak berpretensi mempengaruhi/mengintervensi proses hukum Novel Baswedan yang bila akan masih berjalan lagi dan bukan ditujukan kepada institusi atau pihak-pihak yang terlibat dalam kasus itu.

Tegasnya, penulis niatkan tulisan ini semata-mata demi ilmu hukum pidana itu sendiri dan masyarakat yang mempelajarinya.

Terima Penghargaan karena Menangkan Capres 5 Kali Beruntun, Denny JA Beri Pesan Politik

Dikatakan di atas bahwa dalil “gak sengaja” tak dikenal dalam ilmu hukum pidana. Argumentasinya, pertama, bahwa secara teori ilmu hukum pidana menjelaskan konsep pertanggungjawaban pidana (criminal liability) yang berpasangan sehidup-semati dengan asas kesalahan (culpability principle).

Dalam teori pertanggungjawaban pidana ada turunan konsep lagi yakni kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa) atau dalam beberapa literatur dikenal sebagai culpa dalam arti luas termasuk pengertian dolus di dalamnya.

Kedua, perbedaan mencolok pada kesengajaan dan kelalaian atau teledor adalah tinggi-rendahnya ancaman pidana. Oleh sebab itu, secara canggih hukum pidana membedakan betul apa itu kesengajaan dan kealpaan atau keteledoran.

Konkretnya, KUHP secara sistematis terbagi tiga: aturan umum, kejahatan dan pelanggaran. Lebih lanjut, kesengajaan diletakkan dalam kategori kejahatan yang deliknya terdapat frasa “dengan sengaja” atau “dengan mengetahui.”

Ketiga, kesengajaan (dolus) bila mengikuti Eddy O. S. Hiearij dalam magnum opus-nya berjudul “Prinsip-Prinsip Hukum Pidana” ada 18 (delapan belas) jenis. Tetapi penulis sajikan 3 (tiga) macam sebab bukan pada kesempatan ini mengurai semua dan sebagai inti diskusi artikel ini, yakni: kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan.

Keempat, kesengajaan sebagai maksud berarti pelaku memilik unsur “menghendaki” dan “mengetahui” atas suatu perbuatan yang pasti menimbulkan akibat spesifik. Misalnya, A hendak membunuh Z atas alasan bosan ditagih utang terus. Ketika, di sebuah lapangan kosong A memukul kepala bagian belakang Z hingga tewas. Maksud A tersampaikan untuk membunuh.

Kelima, teori kesengajaan sebagai kepastian atau keharusan menimbulkan dua akibat. Hiearij (Eddy O. S. Hiearij, 2016: 173) memberikan ilustrasi kasus seorang Jerman bernama Thomas Alexander Keith yang pada pokoknya bahwa Thomas hendak meledakan sebuah kapal Bremerhaven dalam 8 hari kedepan dengan satu peti dinamit demi pencairan asuransi ganti rugi.

Akan tetapi, dalam prosesnya ketika satu peti dinamit diangkat ke kapal itu terjatuh dan meledak menewaskan 83 orang dan melukai 53 orang. Tujuan Thomas adalah meledakkan kapal demi pencairan asuransi ganti rugi sedangkan kematian korban akibat ledakan itu bukan maksud Thomas, tetapi pasti akan terjadi.

Keenam, kesengajaan sebagai kemungkinan syaratnya akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tidak sebagai kehendaknya, tetapi sesuatu yang mungkin pasti terjadi. Misalnya, A merasa sebagai pembalap motor yang mahir berkendara, sehingga dia memastikan motor yang dikendarainya tidak akan menabrak orang pada jalan umum.

Akan tetapi, kendaraan yang A kuasai hilang kendali dan berakibat menabrak Z yang sedang menyebrang jalan. Di sini A tidak menghendaki menabrak Z tetapi A dianggap memungkinkan merugikan siapapun dijalan umum sebagai akibat dari perbuatan mengendari A dengan kecepatan tinggi itu.

Terakhir, hukum pidana mengenal istilah “tidak mampu bertanggungjawab” bukan “ketidaksengajaan.” Ajaran “tidak mampu betanggungjawab” dalam literatur hukum pidana dikelompokkan sebagai alasan penghapusan pidana, dirumuskan secara negatif dan masih related dengan uraian di atas seperti klasifikasi berikut ini: gebrekkige ontwikkeling atau ziekelijke storing, overmacht, noodweer, nodweerexcess, melaksanakan perintah undang-undang, perintah jabatan dan perintah jabatan tak sah.

Konkretnya, KUHP BAB III merentang dari Pasal 44 sampai dengan Pasal 51 KUHP yang pada pokoknya mengajarkan kepada kita bahwa pelaku tindak pidana tidak dapat dan sia-sia belaka dimintai pertanggungjawaban pidana apabila ada kondisi/keadaan yang dapat menghapuskan sanksi pidana semacam gangguan dalam diri atau faktor dari luar diri si pelaku.

Berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa dalil “gak sengaja” bukan sekadar potongan kalimat yang dijadikan inti diskusi ini tetapi hakikatnya tidak berbasis pada teori ilmu hukum pidana.

Dipahami kesengajaan adalah unsur mental pelaku yang dinilai jahat. Konsekuensinya, apabila pelaku dihukum ringan, dinilai bertentangan dari teori. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa dalil “gak sengaja” atau "tidak niat" merusak konsep kesengajaan dalam ilmu hukum pidana.

Penulis mempertanyakan academic standing penuntut umum atas penerapan teori hukum pidana pada sidang pengadilan dalam hal menggunakan teori apa, siapa, dan apakah terjadi perubahan dalam teori-teori itu.

Penulis juga berpesan agar mencegah masyakat luas tak menuduh dan kehilangan kepercayaan atas peradilan kita seperti tempat sirkus hukum atau panggung rekayasa perkara, sebaiknya ada penjelasan didasari kejujuran hati dan akal sehat oleh kepala pemerintahan. (Penulis: Chessa Ario Jani Purnomo, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.