Mendengar Aspirasi Publik Melalui Kurikulum Darurat

Seorang Anak sedang belajar daring
Sumber :
  • vstory

VIVA – Semenjak dunia ini dilanda pandemik Covid-19 dari awal tahun 2020, membuat semua negara dan semua aspek kehidupan, baik itu politik, ekonomi maupun pendidikan harus beradaptasi dengan pola baru untuk mencegah dan memutus rantai penularan.

Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

Indonesia sendiri, semenjak kasus pertama ditemukan secara resmi pada awal Maret 2020, melalui pernyataan resmi, Presiden Joko Widodo meminta masyarakat untuk bekerja dari rumah, beribadah di rumah dan belajar di rumah.

Dari ketiga hal tersebut, dalam praktIknya yang paling banyak menemukan tantangan dan hambatan adalah proses belajar dari rumah, dalam hal ini sektor pendidikan. Bukan berati sektor ekonomi tidak terdampak. Namun sektor pendidikan menjadi sangat terasa, karena menyasar semua usia penduduk, dari mulai TK, SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi dan tentu para orangtua yang harus mendampingi anaknya belajar di rumah dengan sisim Pembelajaran Jarak Jauh (PPJ).

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Praktek Pembelajaran Jarak Jauh (PPJ)  memang banyak menuai kritikan dari publik, terutama mereka yang masih terkendala akses internet. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim pun mengakui sejumlah kendala yang dihadapi oleh sekolah, orangtua hingga peserta didik selama penerapan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

Menurut Nadiem, banyak guru kesulitan dalam mengelola PJJ serta terbebani menuntaskan kurikulum. Waktu pembelajaran berkurang, sehingga guru tidak mungkin memenuhi beban jam mengajar.

Terima Penghargaan karena Menangkan Capres 5 Kali Beruntun, Denny JA Beri Pesan Politik

Selain itu, pendidik juga kesulitan berkomunikasi dengan orangtua sebagai mitra di rumah ketika anak menerapkan PJJ. Kemudian, lanjut Menteri Milenial tersebut, kendala orangtua sebagai guru pertama bagi anak di rumah juga tidak mudah dalam mendampingi belajar, karena mereka memiliki sejumlah pekerjaan lain yang mesti dikerjakan.

Maka tak heran dengan kondisi seperti itu, banyak kritik dan desakan dari publik agar pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud melakukan evaluasi terhadap kebijakan PPJ tersebut.

Bak gayung bersambut, aspirasi publik terkait perlunya Kemendikbud untuk mengeluarkan kebijakan yang lebih fleksibel bagi peserta didik dan tenaga didik dalam proses kegiatan belajar mengajar di masa pandemi ini menjadi perhatian serius pemerintah, yaitu dengan lahirnya kurikulum darurat.

Mendikbud Nadiem menjelaskan, bahwa pelaksanaan kurikulum pada kondisi khusus bertujuan untuk memberikan fleksibilitas bagi satuan pendidikan untuk menentukan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran peserta didik. 

Satuan pendidikan pada kondisi khusus dalam pelaksanaan pembelajaran dapat 1) tetap mengacu pada Kurikulum Nasional; 2) menggunakan kurikulum darurat; atau 3) melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri. Semua jenjang pendidikan pada kondisi khusus dapat memilih dari tiga opsi kurikulum tersebut

Mas Menteri menambahkan, kurikulum darurat (dalam kondisi khusus) yang disiapkan oleh Kemendikbud merupakan penyederhanaan dari kurikulum nasional. Pada kurikulum tersebut dilakukan pengurangan kompetensi dasar untuk setiap mata pelajaran sehingga guru dan siswa dapat berfokus pada kompetensi esensial dan kompetensi prasyarat untuk kelanjutan pembelajaran di tingkat selanjutnya.

Selain itu, menurut pendiri Gojek tersebut, Kemendikbud juga menyediakan modul-modul pembelajaran untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Sekolah Dasar (SD) yang diharapkan dapat membantu proses belajar dari rumah dengan mencakup uraian pembelajaran berbasis aktivitas untuk guru, orang tua, dan peserta didik

Dengan itikad baik Kemendikbud yaitu dengan mengeluarkan kebijakan kurikulum darurat,  maka hal ini sejalan dengan padangan pakar kebijakan publik, Trubus Rahardiansyah (2020). Bahwa skema pembuatan kebijakan di masa pandemik  harus secara bottom-up, dalam artian harus banyak mendengar aspirasi publik di bawah.

Bukan lagi  dengan cara-cara tradisional, yaitu skema kebijakan secara top-down tanpa memperhatikan dinamika di lapangan yang setiap hari semakin dinamis. Karena tentu masyarakat merasakan dengan nyata tantangan dan hambatan ketika proses kegiatan belajar mengajar berlangsung.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.