Digitalisasi Budayakan Membaca

Digitalisasi Budayakan Membaca
Sumber :
  • vstory

VIVA – Sampai sekarang buku pelajaran masih dipandang sebagai sumber belajar utama di sekolah, meskipun pengamatan menunjukkan minat baca siswa terhadap buku ini umumnya rendah. Buktinya banyak sekolah merencanakan pembelian buku ini secara rutin dalam Rencana Anggaran Perbelanjaan Sekolah (RAPBS) setiap tahunnya.

Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

Buku pelajaran di sekolah umumnya dua macam. Pertama, buku teks pelajaran. Kedua, buku non teks pelajaran. Secara konseptual keduanya berbeda seperti yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Buku yang Dipergunakan Oleh Satuan Pendidikan.

Dalam Pasal 1 Permendikbud tersebut dinyatakan buku teks pelajaran adalah sumber pembelajaran utama untuk mencapai kompetensi dasar dan kompetensi inti dan dinyatakan layak oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk digunakan pada satuan pendidikan.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Sementara itu buku non teks pelajaran diartikan sebagai buku pengayaan untuk mendukung proses pembelajaran pada setiap jenjang pendidikan dan jenis buku lain yang tersedia di perpustakaan sekolah.

Dari dua konsep tersebut jelas buku pelajaran juga lebih utama dari buku non teks pelajaran karena lebih banyak dipergunakan dalam pembelajaran. Itu sebabnya buku teks pelajaran di perpustakaan sekolah umumnya lebih banyak dari buku non teks pelajaran. Hanya saja tingginya jumlah buku teks pelajaran yang dikoleksi perpustakaan bukan indikator tingginya minat baca siswa yang umumnya memang rendah yang dapat dilihat dari pengamatan keseharian.

Miris Minat Baca Orang Indonesia Rendah, Cuma 1 dari 1000 Orang yang Suka Baca

Dalam pengamatan keseharian terlihat pada waktu senggang seperti jam istirahat siswa lebih suka ke kantin dari pada ke perpustakaan. Sebagian besar mereka ke perpustakaan kalau diperintah guru untuk pinjam buku saja.

Saat di rumah siswa juga begitu. Dari laporan beberapa orang tua katanya mereka lebih suka membaca status, update status dan mengomentari status dari pada mengupdate pengetahuan dengan membaca buku. Intinya, Whats App, Facebook, Instagram dan You Tube sepertinya lebih menarik dari buku.

Rendahnya budaya membaca ini jelas masalah besar. Dikatakan demikian karena membaca itu salah satu aspek yang harus dikembangkan di sekolah. Buktinya hal itu mendapat penegasan dalam Pasal 4 Ayat 5 UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam pasal tersebut dinyatakan pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.

Budaya membaca yang dimaksud dalam pasal tersebut harus dikembangkan di sekolah dengan fokus membaca buku pelajaran. Agar budaya ini terealisasi sekolah tidak boleh menjadi katak dalam tempurung saja. Mau tidak mau lembaga ini harus mengikuti perkembangan jaman.

Perkembangan jaman menunjukkan bahwa teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah menjadi tulang punggung kehidupan. Pada jaman ini yang namanya internet, smartphone, komputer dan laptop bukan lagi barang mewah. Buktinya hampir semua orang memilikinya termasuk anak usia sekolah.

Sayangnya banyak sekolah kurang mampu merespon situasi jaman yang seperti ini. Buktinya sebagian besar perpustakaan di sekolah masih konvensional.

Dalam perpustakaan konvensional berbagai macam koleksi buku masih diabadikan dalam rak-rak buku sempit dan pengap. Padahal sebenarnya sekolah mampu mengadakan perubahan atas keadaan ini dengan mengadakan digitalisasi buku pelajaran.

Digitalisasi buku pelajaran merupakan kegiatan merubah format buku dari kertas ke bentuk elektronik dengan format digital seperti PDF, DOC, JPG atau juga HTML dengan menggunakan software (perangkat lunak) dan hardware (perangkat keras) TIK. Berikut ini alternatif teknisnya.

Pertama, menyiapkan software seperti photoshop atau sejenis dan juga hardware seperti scanner juga laptop dan atau desktop pc (komputer meja).

Kedua, memilih jenis buku yang akan didigitalisasikan. Sebagai awal dapat memilih buku teks pelajaran karena buku ini lebih banyak dipakai dalam pembelajaran dibanding buku non teks meskipun keduanya berfungsi sebagai sumber belajar.

Ketiga, memindai semua jenis buku teks yang telah dipilih ke dalam format digital dengan scanner.

Keempat, mengupload (mengunggah) buku yang telah discan ke website sekolah agar dapat diakses banyak orang terutama siswa.

Kelima, meletakkan file buku yang telah discan di komputer server sekolah dan mensharring file tersebut agar dapat diakses warga sekolah melalui jaringan Local Area Networking (LAN).

Digitalisasi buku teks pelajaran ini memang hanya salah satu alternatif dalam menumbuhkan minat baca siswa pada buku teks pelajaran. Usaha ini harus didukung banyak pihak seperti guru, siswa, kepala sekolah, komite sekolah bahkan orang tua siswa. Tanpa dukungan pihak-pihak tersebut, membudayakan minat baca buku pelajaran dengan digitalisasi hanya jadi mimpi belaka.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.