Food Estate dan Kesejahteraan Petani

Agricluture
Sumber :
  • vstory
Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

VIVA – Pandemi covid-19 yang terjadi di seluruh dunia menyebabkan berbagai permasalahan ekonomi, sosial dan pangan. Kasus covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda akan segera berhenti berpotensi mengancam ketersediaan stok pangan dunia akibat berhentinya sebagian aktivitas pertanian.

Berawal dari kasus tersebut, pemerintah berupaya untuk menjaga keberlangsungan hidup masyarakatnya dengan membentuk sistem ketahanan pangan melalui pembentukan food estate.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Food estate merupakan sebuah konsep pengembangan pangan yang mencakup pertanian, perkebunan, dan peternakan di suatu kawasan secara terintegrasi. Food estate juga dapat dikatakan sebagai kawasan lumbung pangan.

Di Indonesia, pembangunan food estate sudah berlangsung sejak 2020, yaitu menyasar Provinsi Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara. Lahan terbesar yang akan dibangun sebagai kawasan food estate adalah di Provinsi Kalimanta Tengah yaitu sebanyak sebanyak 30.000 hekater. Selain itu, di Provinsi Sumatera Utara juga akan dibangun kawasan food estate yang difokuskan untuk komoditas hortikultura.

Terima Penghargaan karena Menangkan Capres 5 Kali Beruntun, Denny JA Beri Pesan Politik

Rencana pembangunan food estate masuk ke dalam Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Program food estate merupakan program prioritas kedua setelah kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN), yaitu pengembangan wisata Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Manado Likupang.

Namun, terdapat beberapa permasalahan yang dikhawatirkan terjadi sebelum pembangunan kawasan food estate, salah satunya adalah penggunaan eks proyek lahan gambut (PLG).

Terdapat beberapa alasan mengapa penggunaan PLG menjadi hambatan dalam pembangunan kawasan food estate, yaitu lahan PLG sangat rapuh dan heterogen, selain itu lahan PLG merupakan lahan sub optimal di mana lahan tersebut memiliki kesuburan rendah, sangat bergantung terhadap air, dan perlu adanya penggunaan teknologi tata air yang optimal.

Terlepas dari permasalahan lingkungan hidup dan keseimbangan ekosistem di dalam pembangunan food estate, masalah kesejahteraan petani juga menjadi polemik yang kerap mengkhawatirkan.

Sektor pertanian merupakan sektor terbesar kedua setelah industri pengolahan di dalam kontribusinya terhadap PDB Indonesia. Jumlah pekerja di sektor pertanian mencapai 38,23 juta orang atau 29,76 persen dari seluruh pekerja di Indonesia. Sektor pertanian menjadi sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Indonesia.

Selain itu, sektor pertanian juga merupakan salah satu sektor yang tahan terhadap goncangan akibat covid-19, dimana pada triwulan 2 dan 3 pertumbuhan ekonomi sektor pertanian secara tahunan selalu positif. Pada triwulan III, pertumbuhan ekonomi sektor pertanian masih tetap bertahan di posisi 2 persen, yaitu 2,15 persen.

Namun, pertumbuhan ekonomi sektor pertanian yang kokoh terhadap dampak covid-19, berbanding terbalik dengan kesejahteraan pekerja sektor pertanian. Sebagian pekerja di sektor pertanian merupakan buruh pertanian yang menerima upah dari pemilik lahan. Per September 2020, rata-rata upah buruh tani adalah Rp 55.719 per hari, jauh lebih rendah dari upah buruh bangunan yang mencapai Rp 90.753 per hari.

Jika dilihat dari nilai tukar petani (NTP), di bulan Oktober 2020 nilainya mencapai 102,25, namun subsektor tanaman pangan mengalami penurunan 0,10 persen. Nilai NTP merupakan perbandingan antara nilai yang diterima petani dengan nilai yang dibayarkan oleh petani.

Nilai NTP yang lebih dari 100 menunjukkan bahwa nilai yang diterima petani lebih besar daripada nilai yang dibayarkan oleh petani. Pemerintah menjadikan NTP sebagai salah satu data strategis yang menjadi prioritas peningkatan. Dalam RPJMN 2020-2024, NTP ditetapkan sebesar 102.  

Tak bisa dipungkiri, bahwa sistem pertanian Indonesia yang sebagian besar masih tradisional menjadi salah satu penyebab rendahnya produksi padi di Indonesia. Sistem pertanian di Indonesia sebagian besar masih menggantungkan diri terhadap cuaca atau dapat disebut tadah hujan.

Apabila terdapat anomali pada cuaca di Indonesia baik musim kering maupun banjir, menyebabkan hasil produksi pertanian menjadi tidak optimal. Hal ini juga diperparah dengan berbagai hama yang kerap menyerang lahan pertanian milik petani.

Hama menjadi salah satu masalah yang juga harus menjadi prioritas penanganan baik secara kimiawi maupun alamiah. Penanganan hama secara kimiawi diharapkan tidak berdampak buruk terhadap kualitas lingkungan dan ekosistem.

Sebagian besar sistem pertanian di Indonesia sangat tergantung terhadap ketersediaan air, di mana sawah-sawah yang dimiliki adalah sawah tadah hujan. Tidak adanya sistem pengairan yang berkala menyebabkan terdapat beberapa petani yang hanya bisa panen 1 kali dalam 1 tahun, sedangkan idealnya, petani dapat panen sebanyak 3 kali dalam setahun.

Pembangunan food estate sebagai kawasan lumbung pangan, diharapkan memberikan solusi atas permasalahan ketergantungan petani terhadap alam. Pemanfaatan teknologi yang tepat guna, dapat membantu petani lebih banyak mengoptimalkan lahan sawahnya.

Selain itu, beberapa petani juga kerap mengeluhkan harga pupuk yang mahal dan sulit dijangkau. Sebagai regulator, pemerintah dapat melakukan intervensi melalui harga-harga pupuk di level petani, sehingga tidak lagi memberatkan para petani.

Rencana pemerintah untuk menjadikan pemerintah lumbung pangan hendaknya dapat diikuti dengan peningkatan kesejahteraan petani, sehingga pekerjaan petani tidak hanya dipandang sebelah mata oleh generasi-generasi baru bangsa Indonesia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.