Mencari Kebenaran Bukan Pembenaran

Ilustrasi: dokumen pribadi
Sumber :
  • vstory
Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

VIVA – Orang saat ini tak lagi kesulitan mencari informasi. Sebab, zaman sekarang justru informasi atau berita yang berdesakan mencari pembacanya. Di satu sisi, ini memberi kemudahan bagi kita dalam mencari informasi. Namun, di sisi lain, banjir informasi membawa serta konten-konten negatif: provokasi, ujaran kebencian, bahkan berita-berita palsu (hoax), baik yang dibuat khusus untuk tujuan ideologis atau politis tertentu, maupun untuk menarik perhatian dan mendapatkan banyak pembaca (viewer).

Isu-isu aktual seputar sosial, politik, ekonomi, kesehatan, dan lain sebagainya, tidak jarang dimainkan dengan memantik sentimen suku, agama, ras, sehingga memancing emosi dan perasaan pembaca. Akibatnya, banyak orang terjerumus dalam kebencian, amarah, dan mengesampingkan nalar rasional dan pikiran jernih saat mengkonsumsi sebuah informasi atau berita. Dari sana, muncul fenomena saling serang dan saling hujat. Di titik inilah, kemampuan menyaring dan mencerna berita menjadi kebutuhan penting di era digital sekarang.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Kemampuan menyaring dan mencerna informasi digital membutuhkan kecakapan literasi digital. Paul Gilster (1997) mengartikan literasi digital sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber yang diakses melalui piranti komputer.

Literasi digital adalah hal mendasar yang penting dimiliki setiap orang yang hidup di era digital, agar mampu melihat dengan jernih dan rasional, serta sanggup membaca makna dan maksud dari setiap informasi dari dunia maya, sehingga tidak gampang terpengaruh informasi tak bertanggungjawab yang menyesatkan.

Terima Penghargaan karena Menangkan Capres 5 Kali Beruntun, Denny JA Beri Pesan Politik

Jika diperhatikan, fenomena merebaknya ujaran kebencian, fitnah, dan berita palsu (hoax) di dunia maya, salah satunya disebabkan kecenderungan orang yang lebih mengedepankan egoisme dan emosinya, sehingga sering mencari pembenaran atas pendapat dan sikapnya. Ketika dihadapkan pada suatu informasi di media sosial, misalnya, orang tak melakukan verifikasi kebenaran dari setiap informasi dan argumentasi yang dibangun dalam narasi tersebut. Padahal, konfirmasi dan verifikasi dalam dunia jurnalistik menjadi hal mendasar yang mencerminkan keabsahan data dan kredibilitas sumber informasi.

Konfirmasi dan verifikasi bisa dilakukan dengan mencari referensi atau berita serupa dari sumber (media) yang lain. Dari sana, orang bisa membandingkan dan melakukan penilaian. Semakin banyak sumber referensi yang ditelusuri, konfirmasi dan verifikasi akan semakin dalam, berimbang, dan orang akan semakin bisa menilai kredibilitas dan kebenaran dari sebuah informasi.

Sumber yang beragam memungkinkan kita bisa membedakan mana argumentasi atau informasi yang bisa dipertanggungjawabkan dan mana yang tidak. Sebaliknya, jika kita hanya terpaku pada satu media atau satu sumber informasi saja, hampir bisa dipastikan kita akan sulit menemukan perspektif yang berbeda dalam menilai pesan dari suatu kabar tertentu.

Mencari pembenaran

Tapi, sekarang ada kecenderungan orang melakukan konfirmasi secara kurang tepat. Pada dasarnya, konfirmasi berarti menelusuri semua sumber lain yang terkait, untuk kemudian menilai kebenaran suatu berita. Namun, yang terjadi kebanyakan orang hanya mencari berita-berita yang berisi narasi yang sesuai sangkaannya atau mendukung pendapatkanya. Suatu informasi akan dengan mudah dipercaya ketika sesuai dengan apa yang disangka. Di sini, kita melihat ketika konfirmasi mencari kebenaran berubah menjadi sekadar mencari pembenaran. Ini menjadi salah satu faktor mengapa banyak informasi tak bertanggungjawab seperti hoaks mudah menyebar dan menyebabkan kekacauan di dunia maya.

Informasi atau berita dari media tidak kredibel yang cenderung memancing kebencian terhadap seseorang atau pihak tertentu, telah banyak membuat orang menutup mata terhadap kebenaran lain. Jika sudah terpengaruh, orang cenderung tidak peduli dengan bukti-bukti lain yang berseberangan dengan sangkaan yang diyakini tersebut. Artinya, keterbukaan menerima berbagai fakta yang berbeda dari berbagai sumber, kemudian berpikir kritis, melakukan verifikasi, dan menilai kebenarannya belum menjadi kebiasaan kita.

Berpikir kritis dan jernih

Taufiq Pasiak, Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial dari Universitas Sam Ratulangi Manado, sebagaimana dikutip Zaid Wahyudi dalam laporan akhir tahun Kompas (24/12/) menyatakan bahwa masyarakat Indonesia memang tak terbiasa bernalar, berpikir kritis, dan skeptis atas informasi yang diperoleh. Akibatnya, rumor dan gosip lebih mudah dipercaya. Membanjirnya berita-berita palsu (hoax) yang dengan mudah dibagikan di media sosial menggambarkan kecenderungan tersebut.

Maka, sudah selayaknya kita berusaha untuk lebih cerdas di dunia maya. Hal yang paling mendasar adalah mulai belajar berpikir kritis, bernalar secara sehat dalam menyikapi setiap berita, terutama di dunia maya. Informasi memang menjadi kebutuhan, namun bukan berarti kita dengan gampang melahap dan menelan semua informasi tanpa “mengunyah” dan melakukan konfirmasi tentang kebenarannya.

Kemampuan berpikir kritis dan jernih menjadi hal mendasar yang dibutuhkan dalam ikhtiar mencari kebenaran. Berpikir jernih dalam mencerna informasi berarti berpikir tanpa dihantui sentimen, prasangka negatif, dan kebencian terhadap pihak-pihak tertentu yang dapat memengaruhi objektivitas penilaian kita terhadap kebenaran informasi itu sendiri. Berpikir jernih berarti bisa meletakkan suatu persoalan di tempatnya, tanpa intervensi atau pengaruh dari hal-hal lain. Dengan bekal berpikir jernih, upaya mencari, memverifikasi, mengkonfirmasi kebenaran suatu isu menjadi lebih efektif dan obyektif.  

Aktivitas mencari kebenaran atau memferivikasi terhadap suatu informasi memang bukan hal mudah. Keluasan wawasan, kemampuan bernalar, berpikir kritis dan jernih menjadi hal yang mendasar untuk dikuasai. Kemampuan tersebut tak bisa dimiliki secara instan, namun harus dibentuk terus-menerus dengan belajar mencerna dan mengolah informasi (literasi media).

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.