-
VIVA – Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 menimbulkan pro kontra dari beberapa pihak. Negara mengakui kemerdekaan Indonesia ialah Mesir, Arab Saudi, Suriah, Irak, Iran, Yaman, Afghanistan, dan Turki. Akan tetapi masih banyak negara yang belum mengakui salah satunya yaitu Belanda yang saat itu sedang berkeinginan untuk merebut kembali kekuasaannya.
Peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia menjadi momen yang paling membahagiakan bagi rakyat yang telah berjuang di bawah kerasnya penjajahan. Namun jika dilihat dari persiapan dan kelengkapannya pada saat itu hingga berjalan saat ini, apakah hal tersebut telah cukup untuk dikatakan Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas negaranya? Dalam menjawab hal tersebut, dapat melihat dari filsafat politik dan sejarah.
Demokrasi
Semenjak proklamasi kemerdekaan, Indonesia menjadi negara yang mengalami beberapa pergantian sistem pemerintahan. Demokrasi menjadi sistem yang dipakai hingga saat ini.
Menurut pandangan seorang filsuf asal Italia yang bernama Giorgio Agamben dalam bukunya yang berjudul Democracy in What State menjelaskan bahwa demokrasi dianggap sebagai suatu model bagaimana kekuasaan dilegitimasi dan dipraktikkan dalam bentuk kepemerintahan yang mampu menyentuh rasionalitas politik serta ekonomi, sebelum secara mentah-mentah menerima posisi de facto dari demokrasi liberal.
Demokrasi di Indonesia tidak langsung berjalan mulus tanpa adanya percobaan terlebih dahulu. Sistem Demokrasi Parlementer yang awalnya dianut, harus jatuh karena fragmentasi politik yang keras. Kemudian berganti ke Demokrasi Terpimpin, yang konon katanya konsep asli Indonesia.
Akan tetapi tetap tidak berjalan sepenuhnya, sebab mendapatkan kritik keras dari para petinggi seperti wakil presiden pada masa itu yakni Muhammad Hatta. Demokrasi Terpimpin berakhir sesuai dengan berakhirnya jabatan presiden yang dipegang oleh Soeharto, selanjutnya berganti Demokrasi Pancasila hingga sekarang.
Sesuai dengan perspektif Agamben, demokrasi di Indonesia dijalankan dengan trias politika dimana kekuasaan pemerintahan dibagi menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif.Namun prinsip tersebut banyak menimbulkan penyimpangan-penyimpangan karena tidak berimbangnya pemisahan kekuasaan, di mana salah satunya terlalu mendominasi.
Malpraktik adanya sistem dianggap sebagai paradoks demokrasi yang dijelaskan oleh Agamben merujuk pada teori politik inheren di dalamnya. Indonesia dalam kedaulatannya berada di tangan rakyat, akan tetapi masih belum melaksanakan prinsip demokrasi sepenuhnya. Bahkan sejarah pernah menjelaskan bahwa adanya totaliter pada masa Soeharto, menempatkan Indonesia dalam krisis demokrasi.
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.