Mempertanyakan Risiko COVID-19 Vs (Pasca) Pilkada Pandemik

Pemungutan suara di TPS saat pemilihan Bupati Malang 9 Desember lalu. (dok. pribadi)
Sumber :
  • vstory

VIVA – Akhir 2020 tersisa hampir dua pekan lagi, dan kini sudah melawati hari pemilihan pilkada serentak 9 Desember lalu. Lalu, apa penanganan pandemi covid-19 dan kaitannya dengan pilkada pandemik yang baru saja usai pemilihan kemarin?

Sekadar data saja, tercatat ada penambahan kasus penularan virus corona seperti dilaporkan pemerintah melalui Satuan Tugas Penanganan Covid-19, per Kamis (10/12/2020). Peningkatan kasus ini bertambah 6.033, dan menjadi 598.933 kasus sejak diumumkan pertama hingga kini (dilansir Kompas).

Ada yang masih menyisakan perhatian publik pascapilkada di pengujung tahun 2020 ini. Apa yang menjadi kekhawatiran jamak selama ini pun terkuak satu persatu. Urgensi dan kengototan untuk tetap menggelar pilkada serentak di masa pandemi kini kembali menjadi rasan-rasan publik. Tidak kaget sih, karena sudah dikhawatirkan jauh-jauh hari.

Antara penanganan pandemi dengan tahapan penyelenggaran pilkada serentak 2020 memang waktunya bersamaan. Realisasi keduanya pun semestinya saling berkait dan menyesuaikan. Pilkada tak lepas dari protokol kesehatan, dan pencegahan covid-19 juga tetap menjadi hal yang wajib dipatuhi saat hiruk pikuk euforia pemilihan.

Bagi-bagi masker yang paling kentara selama musim kampanye pilkada. Tapi, himbauan kesehatan cegah covid-19, hampir tidak ada pada puluhan ribuan alat peraga dan bahan kampanye kandidat paslon, meski ini sangat bisa dilakukan mereka.

Sementara, pihak KPU menambahkan anggaran miliaran rupiah demi protokol kesehatan untuk melindungi jajaran dan petugasnya pada pilkada pandemik ini.

Melakukan rapid-test memang sudah menjadi bagian dari kesiapan penyelenggara pemilu mewujudkan pilkada aman dan sehat. Semua petugas pemilihan di tingkatan TPS pun harus dipastikan sehat, tidak terduga atau bahkan terpapar covid-19.

Komunikasi Politik sebagai Jembatan antara Warga Negara dan Institusi

Sayangnya, antisipasi ini dilakukan sangat mepet waktunya menjelang pelaksanaan hari pemungutan suara. Yang didapati reaktif memang harus dites rapid ulang untuk dipastikan kesehatannya. Akan tetapi, masih didapati banyak penyelenggara yang tak datang mengikuti prosedur ini, sehingga hasilnya tetap menimbulkan tanda tanya.

Di Kabupaten Malang Jawa Timur misalnya, total sejumlah 44.508 anggota KPPS dan Linmas serta 4.999 pengawas pilkada tingkat TPS harus menjalani rapid test. Hasilnya, berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Malang, ada 1.574 anggota KPPS dan 188 pengawas pilkada ini diketahui hasil rapid test-nya reaktif, setelah menjalani dua kali tes yang sama.

Data Statistik Agraria untuk Pelaku Usaha Agrikultur di Era Modernisasi

Oleh pihak kesehatan, mereka diminta menjalani isolasi mandiri serta istirahat tidak terlibat dalam pilkada. Akan tetapi, terkesan kurang ada keterbukaan oleh KPU setempat, siapa saja petugas kepemiluan yang rentan terkonfirmasi covid-19 ini, soal kepastian bebas tugasnya. Sementara, status off-job petugas reaktif jelas sudah diatur dalam regulasi kepemiluan oleh KPU.

Dalam konteks ini, KPU harus terbuka lebih awal menyebut TPS-TPS mana saja yang memang harus dikosongkan dari petugas reaktif. Pihak berwenang juga harus benar-benar menyisir terkait hal ini.

Laporan Keuangan OJK 2022 Raih Opini Wajar Tanpa Pengecualian dari BPK

Jika memang terbukti dipaksakan tetap bertugas, tentu saja ini bisa menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Terlebih, pihak KPU bisa disebut melakukan pembiaran manakala memaksakan petugas dua kali reaktif covid-19 ini tetap bertugas saat pemilihan.

Tracing (penelurusan) atau pemantauan mestinya juga tidak berhenti, setelah hari pemilihan pada pilkada usai. Bagaimana pun, yang terbukti reaktif apalagi punya gejala, harus diwaspadai karena statusnya bisa saja menjadi suspect ataupun OTG (orang tanpa gejala). Tak terkecuali, kepada petugas yang sempat melayani hak pilih pemilih di rumah yang terpapar covid-19.

Sederhana saja, jika sudah didapati satu wilayah TPS saja (biasanya bisa melingkupi 2 sampai 3 RT), dimana terdaftar pemilih terpapar covid atau petugas kepemiluan setempat reaktif, harus dijadikan sampel tracing.

Satgas atau pihak terkait tetap harus proaktif memastikan kondisi kesehatan populasi warga di wilayah TPS setempat. Jika ada indikasi penularan, tentunya ini harus diberlakukan sama pada semua wilayah di daerah (kabupaten) tersebut.

Manakala ini dilakukan, akan lebih fair tentunya memastikan bahwa penyelenggaraan pilkada serentak apakah menjadi kluster baru pandemi covid-19 atau tidaknya. Bukan hanya beberapa hari menjelang dan saat pemilihan saja.

Apalagi, sebelumnya banyak yang kecolongan soal protokol kesehatan cegah covid-19 ini. Terlebih saat masa kampanye selama hampir dua bulan.

Antisipasi Berbau Pencitraan, Apa Prestisnya!
Antisipasi pilkada serentak di masa pandemi sudah dijalankan jajaran penyelanggara pemilu dengan skenario sedemikian rupa. Pengetatan protokol kesehatan cegah covid-19 diterapkan, agar tidak terjadi kluster baru penularan penyakit akibat virus corona ini.

Kebetulan, penulis juga mengalami langsung penegakan protokol kesehatan dalam penyelenggaraan pemilihan tahun ini. Penulis masuk dalam daftar pemilih kelompok rentan atau yang mengalami sakit akibat terpapar covid-19. Dan, saat menggunakan hak pilih, saya harus memilih di bilik khusus yang tempatnya berada di luar lokasi tempat pemungutan suara (TPS).

Ada yang janggal dan terkesan dipaksakan sebenarnya, dalam penetapan status pemilih saya. Entah darimana sumbernya, penulis masuk dalam daftar penderita covid-19 yang harus dilayani hak pilihnya. Seketika saya cukup keberatan dengan kemunculan daftar nama-nama ini, dan saya anggap ngawur dan asal dikeluarkan.

Alasan antisipasi persebaran atau penularan covid-19 sudah diterapkan dan memang bisa diterima. Tetapi, memasukkun nama-nama anak di bawah umur untuk kepentingan kepemiluan tidak ada relevansinya.

Terlebih, tidak ada konfirmasi status dan perlakuan apapun yang kami dapatkan terkait hal ini. Ada kesan alpa juga dari pihak berwenang dengan kewenangan semestinya yang harus dilakukan, terhadap kasus keluarga yang terpapar covid-19.

Banyaknya daftar pemilih yang dikelompokkan sebagai penderita covid-19 sempat menjadi atensi tersendiri aparat berwenang. Sidak penegakan prokes dengan gagah dilakukan aparat dan pihak berwenang di TPS tempat terdaftar pemilih yang sebanarnya masih 'diduga-duga' terkena covid-19. Tidak lupa tentunya, ini tidak terlewat dari sorotan kamera para awak media.

Tentunya, ini sebuah langkah antisipasi positif, agar pilkada tidak menjadi kluster baru persebaran virus pandemik covid-19. Akan tetapi, terlalu berlebihan jika ini dipaksakan dan sekadar menjadi sebuah kamuflase pencitraan. Kesiagaan, namun tak sepenuhnya sigap.

Antisipasi yang biasa saja dan sudah semestinya bagi saya. Karuan saja, karena tidak ada tindak lanjut penanganan bagi warga dengan status kelompok rentan ini, sebelum dan sesudahnya.

Kesan yang muncul kemudian, ada sebuah kesenjangan dan ketimpangan yang sulit diterima akal sehat. Ada upaya mewujudkan partisipasi pemilih karena memang setiap warga punya hak pilih.

Namun, seperti tak tersadari juga bahwa ada kewajiban yang harus dipenuhi pihak berwenang, melebihi sekadar untuk mencapai angka partisipasi pemilih ini. Setidaknya, ada edukasi terlebih dahulu, sekaligus perlakuan dan konsekuensi ketika kasus terkonfimasi (positif) covid-19 ditetapkan.

Terlebih, kelar hajat demokrasi pemilihan pilkada pun, belum ada upaya serius pihak berwenang pada para pihak korban yang jelas terimbas kasus terpapar yang dialami. Menjadi pertanyaan lazim, kenapa begitu mudahnya dimunculkan angka dan jumlah kasus terkait covid-19? Sementara, jaminan pemerintah pada penanganan dan pengendalian kasus darurat kesehatan ini terkesan terlambat?

Sekali lagi, pilkada telah memunculkan fakta adanya kerentanan kasus covid-19. Daftar petugas kepemiluan reaktif, kondisi kesehatan mereka setelah bertugas juga lingkungannya, atau hak-hak sipil dan sosial lainnya, mestinya tidak diabaikan begitu saja usai buyar pemilihan. Latar belakang warga tidak sama, ada yang mandiri namun tidak sedikit juga memang butuh banyak pendampingan dan edukasi.

Semoga, hingga pengujung 2020 ini kasus terpapar dan terkonfirmasi covid-19 tidak malah bertambah usai pilkada serentak. (Penulis: Khoirul Amin, esais dan pegiat literasi media, pemilih kelompok rentan covid-19 Pilbup Malang 2020)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.