Sudut Pandang Etika terhadap Penyelenggaraan Pilkada 2020 di Masa Pandemi COVID-19

Pilkada Serentak 2020 di Masa Pandemi (antara)
Sumber :
  • vstory

VIVAUrgensi Pelaksanaan Pilkada. Salah satu dasar konstitusional yang menjadi urgensi negara dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah 2020 telah diatur dalam UUD 1945 pada pasal 18 ayat 4 bahwa Kepala Pemerintahan Daerah harus dipilih secara demokratis.

Bentuk asas demokratis tersebut diwujudkan dalam partisipasi masyarakat dan penyelenggaraan pemilihan secara langsung, berani, jujur, dan adil. Sebagai negara demokratis, pemerintah Indonesia harus menyediakan ruang dan media bagi keikutsertaan masyarakat dalam aktivitas politik. Selain itu, peraturan mengenai pemerintahan daerah juga diatur dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2004.

Sedangkan peraturan mengenai pemilihan gubernur, bupati, dan walikota diatur dalam Perppu nomor 1 tahun 2014 yang mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, dan terakhir Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Berdasarkan landasan hukum tersebut, pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

Namun, adanya pandemi Covid-19 telah mendorong terjadinya penundaan terhadap jadwal pemungutan dan penghitungan suara yang mulanya akan dilaksanakan pada tanggal 23 september 2020 menjadi tanggal 9 desember 2020. Penundaan ini kemudian diatur dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2020.

Pilkada di Masa Pandemi Covid-19

Masa pandemi Covid-19 yang memberi dampak dan permasalahan baru menuntut pemerintah untuk bersikap bijaksana dan mengedepankan kepentingan bersama khususnya dalam menentukan atau menetapkan suatu kebijakan.

Salah satunya terkait dengan keputusan pemerintah untuk menyelenggarakan Pilkada di masa pandemi Covid-19. Pemerintah mengatakan segala rangkaian kegiatan mulai dari pendaftaran paslon, proses kampanye, hingga pemungutan suara akan dilaksanakan sesuai dengan protokol kesehatan yang berlaku.

Dengan melihat banyak sekali orang yang terjangkit wabah ini, diadakannya Pilkada di masa pandemi Covid-19 menuai banyak kontra di kalangan masyarakat.

Limabelas Kali Berturut-turut, Kemenperin Kembali Raih Opini WTP

Dalam sebuah rapat pada 16 November 2020, Presiden Jokowi menegaskan bahwa keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Ungkapan tersebut merujuk pada istilah latin yakni Salus Populi Suprema Lex Esto.

Namun, dengan adanya keputusan bahwa Pilkada akan tetap dilaksanakan di masa pandemi ini, pemerintah justru melenceng dari istilah “keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi”.

Komunikasi Politik sebagai Jembatan antara Warga Negara dan Institusi

Secara tidak langsung, keputusan untuk tetap menggelar kontestasi politik di masa pandemi Covid-19 ini dianggap mencederai usaha dan kerja keras tenaga medis sebagai garda terdepan dalam penanganan Covid-19. Melihat sudah banyak sekali tenaga medis yang gugur dalam kasus ini, maka seharusnya pemerintah lebih bijak dalam memutuskan suatu kebijakan.

Dengan merujuk pada nilai dan etika, pemerintah sebaiknya memperhatikan aspek kemanusiaan untuk mengantisipasi adanya kemungkinan lonjakan kasus positif apabila Pilkada tetap dilaksanakan.

Data Statistik Agraria untuk Pelaku Usaha Agrikultur di Era Modernisasi

Penolakan terhadap Pilkada di Masa Pandemi Covid-19
Penyelenggaraan Pilkada di masa pandemi ini telah menimbulkan dilema etika dan dilema pembuatan keputusan bagi pemerintah serta masyarakat yang dihadapkan pada dua pilihan.

Apakah sebaiknya tetap menggelar pemilihan langsung untuk memenuhi hak sipil atas demokrasi atau menundanya dulu sebagai upaya pemenuhan hak perlindungan kesehatan masyarakat luas? Hal ini memicu munculnya banyak kontroversi dan pendapat kontra yang mengecam pelaksanaan Pilkada serentak 2020.

Secara umum, agenda politik ini dianggap dapat membahayakan kesehatan maupun nyawa masyarakat dan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Berikut ini adalah beberapa alasan penolakan terhadap pelaksanaan Pilkada serentak 2020 :

Dapat Menimbulkan Klaster Baru
Dalam memutuskan kebijakan yang etis, pemerintah harus mampu mempertimbangan fakta dan berbagai alternatif yang akan dipilih.
Tentunya, keputusan yang akan diambil nanti harusnya memiliki manfaat yang lebih besar.

Di sisi lain, kontestasi politik yang digelar di tengah wabah penyakit ini dianggap malah semakin merugikan masyarakat tak terkecuali pemerintah yang seharusnya mengupayakan untuk mengurangi angka kasus orang-orang terinfeksi.

Pilkada yang diselenggarakan secara serentak di berbagai wilayah Indonesia tentunya mengharuskan masyarakat dalam jumlah besar keluar rumah menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memberikan hak pilih mereka.

Terdapat sekitar 100,3 juta orang yang terdaftar sebagai Daftar Pemilih Tetap pada Pilkada 2020. Kondisi ini diperkirakan dapat menyebabkan munculnya klaster-klaster baru di berbagai wilayah.

Rendahnya Kepatuhan Masyarakat terhadap Protokol Kesehatan

Tingginya jumlah pelanggaran masyarakat terhadap protokol kesehatan menunjukkan belum adanya sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini. Dikutip dari laman covid19.go.id, pada 3 Desember 2020 penambahan kasus positif Covid-19 di Indonesia memecahkan rekor penambahan terbanyak dalam satu hari yakni sebanyak 8.369 kasus.

Jika dikaitkan dengan etika dalam menghadapi pandemi ini, seharusnya pemangku kebijakan memperhatikan konsep utilitarianism yang mengatakan bahwa keputusan/tindakan yang terbaik adalah yang memberikan kemanfaatan terbesar bagi sebanyak mungkin orang.

Penyimpangan Pemerintah atau Lembaga Penyelenggara Pemilu (KPU) terhadap
Protokol Kesehatan

Penyimpangan terhadap protokol kesehatan ironisnya pun tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam. Pemerintah dalam hal ini adalah penyelenggara Pilkada pun turut melakukan pelanggaran terhadap protokol kesehatan yang telah mereka janjikan.

Hal tersebut dapat dilihat dari proses pendaftaran bakal calon yang pada saat itu memicu kerumunan karena diikuti oleh massa pendukung yang jumlahnya tidak sedikit. Apabila dilihat dari kacamata etika deskriptif, apa yang dilakukan oleh penyelenggara Pilkada merupakan bentuk kesalahan atau hal yang tidak benar atas kondisi pandemi ini.

Seharusnya KPU dapat mengantisipasi dan memastikan proses pendaftaran bakal calon sesuai protokol kesehatan misalnya melalui aturan melarang keikutsertaan massa pendukung untuk mencegah adanya kerumunan.

Skandal Kampanye

Bentuk penyimpangan terhadap etika terlihat dari banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh pasangan calon kepala daerah, tim sukses, maupun Komisi Pemilihan Umum (KPU) selama menjalani masa kampanye di tengah pandemi covid-19.

Mahfud MD selaku Menko Polhukam menyampaikan bahwa dari total 73.500 aktivitas kampanye yang dilaksanakan dalam kurun waktu 59 hari telah ditemukan kurang lebih 1.510 pelanggaran terhadap protokol kesehatan covid-19.

Salah satu penyimpangan yang dinilai sangat tidak etis dan kontradiksi dengan kebijakan pemerintah adalah saat KPU memperbolehkan untuk dilaksanakannya konser musik pada masa kampanye Pilkada serentak. Aturan KPU tersebut dipandang sangat kontroversial tanpa mempertimbangkan kondisi bahwa kegiatan kampanye dilaksanakan di tengah meningkatnya angka kasus terinfeksi per hari di Indonesia.

Berpotensi Meningkatkan Angka Golput 

Selain meluasnya penyebaran virus ini, demokrasi tidak akan berjalan secara maksimal. Tingkat golongan putih (golput) meningkat dikarenakan banyak masyarakat memilih untuk tidak menggunakan suaranya dikarenakan takut akan virus yang sedang mewabah.

Salah satu alasan mengapa masyarakat memilih golput dikarenakan masih adanya masyarakat yang apolitis (tidak peduli terhadap politik), mereka berpikir bahwa siapapun pemimpinnya kehidupan akan berjalan sama seperti biasa saja. Terlebih dengan melihat berbagai penyakit dan tingkat kematian sangat tinggi yang disebabkan oleh virus berbahaya ini. Masyarakat pasti akan merasa takut.

Evaluasi Pelaksanaan Pilkada 9 Desember 2020

Proses pelaksanaan Pilkada di masa pandemi Covid-19 di berbagai daerah di Indonesia diwarnai dengan adanya pelanggaran terhadap protokol kesehatan. Satgas Covid-19 telah menegur 128.094 pemilih karena melakukan pelanggaran seperti tidak mengenakan masker, tidak menjaga jarak, dan membuat kerumunan.

Jika dibandingkan dengan pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur (2016-2020), tingkat golput tahun ini meningkat. Angka masyarakat yang golput dalam pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur (2021-2024) di Kalimantan Selatan yaitu 39,4 persen dari 2,7 juta daftar pemilih tetap (DPT) yaitu sekitar 1 juta lebih jiwa.

Walaupun Komisi Pemilihan Umum sudah mempersiapkan Pilkada dengan protokol kesehatan yang sangat ketat, Covid-19 adalah suatu hal yang tidak bisa dianggap remeh. Ketua KPU wilayah Tangerang Selatan, Bambang Dwitoro dikabarkan meninggal dunia akibat terpapar virus ini.

Namun, pihak KPU baru mempublikasikan berita tersebut pasca pelaksanaan Pilkada 2020. Dengan ini KPU dinilai tidak transparan dan tindakan tersebut dapat meningkatkan resiko penyebaran angka kasus positif.

Menurut Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), terdapat anggota petugas Kelompok Penyelenggaraan Pemungutan Suara (KPPS) yang dinyatakan reaktif terhadap Covid-19, tetapi masih menjalankan tugasnya di TPS.

Salah seorang anggota Bawaslu menyampaikan pada live streaming “Hasil Pengawasan Proses Pemungutan Suara” di kanal Youtube Bawaslu RI, bahwa hal tersebut terjadi di kurang lebih 1.172 TPS.

Fakta ini tentunya mengejutkan bagi para masyarakat yang telah hadir ke TPS untuk memberikan hak pilih mereka. Bukan hanya masyarakat, banyaknya jumlah petugas yang terpapar Covid-19 menjadi sebuah problema tersendiri bagi KPU.

Hal ini dikarenakan mereka belum mempersiapkan aturan mengenai pergantian para petugas KPPS yang tidak bisa melanjutkan tanggung jawabnya untuk mengatur pelaksanaan pemungutan suara akibat reaktif terhadap Covid-19. (Penulis: Danisya Alifa Al Nada, Dimas Pandu Wardana, Kevin Naufaldo, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia, Mata Kuliah: Filsafat Etika Administrasi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.