Keberagaman adalah Napas Persatuan Indonesia

keberagaman adalah salah satu faktor yang mempersatukan sebagai bangsa yang megah
Sumber :
  • vstory
<
Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?
p>
Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik
VIVA
– Kebaragaman menjadi karakteristik fundamentalis eksistensi manusia yang dibawa sejak lahir tumbuh dan berkembang  dengan sendirinya secara alamiah. Secara individual, orang berbeda dalam gender, usia, keterampilan, bakat, kecakapan, daya tahan tubuh dan bentuk fisik.
Terima Penghargaan karena Menangkan Capres 5 Kali Beruntun, Denny JA Beri Pesan Politik

Begitu juga keberagaman di tanah air ini, sudah melekat dan menjadi suatu identitas. Jauh sebelum Indonesia meleburkan diri menjadi suatu bangsa yang besar, sehingga tidak mengherankan banyak julukan lain kepada masyarakat indonesia seperti majemuk, pluralisme, multikulturalisme, dan lain sebagainya.

Realitas pluralis di Indonesia terbukti di setiap daerah memiliki adat istiadat, budaya, bahasa, sejarah/cerita rakyat, lagu daerah dan makanan/minuman masing-masing di wilayahnya berada. Berdasarkan data sensus BPS tahun 2010 di Indonesia memiliki 1.340 suku bangsa dan 652 bahasa daerah dikutip dari situs kemendikbud (Badan Bahasa Kemendikbud).

Selain itu pluralis bangsa ditunjukan dari keberagaman beragama, seperti agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Chu dan berbagai aliran kepercayaan lainnya yang dianut oleh masyarakat indonesia disetiap daerah.

Dibalik indahnya keberagaman yang menjadi identitas bangsa, terdapat banyak ancaman yang mulai menggerogoti baik dari dalam (internal) dan luar (eksternal). Ancaman paling besar berpengaruh merusak idetintas bangsa adalah bersumber dari dalam tubuh indonesia itu sendiri.

Seperti menguatnya kembali Nasionalisme Kuno yang merupakan perluasan primodialisme. Dominasi satu suku atas suku yang lain dan dominasi agama satu dengan agama yang lain. Sehingga apabila nasionalisme seperti ini tidak ditangkal sejak dini akan berdampak pada tindakan diskriminasi kepada kaum minoritas dan lemah serta menguatnya tindakan intoleransi dalam kelompok masyarakat.

Dampak buruk lainnya sudah dapat dipastikan yang terdiskriminasi akan mengalami berbagai kesulitan dalam menjalankan aktivitas bahkan berujung pada tindakan kekerasan atau kriminal. Hal tersebut terjadi karena kurang komunikasi dan telah disepakati tiga hal perlunya (komunikasi, koordinasi, dan toleransi) serta mengaku tidak akan melanjutkan ke ranah hukum.

Jadi permasalahan clear melalui musyawarah mufakat. Tetapi permasalahan diatas, tentu memberikan implikasi yang sifatnya sementara (temporary) tapi juga bisa bersifat jangka panjang (long term), yang kalau negara ini tidak mengelolanya dengan baik, maka akan memengaruhi bahkan mereduksi sifat toleransi di dalam masyarakat.

Dibalik permasalahan itu semua, ada beberapa kesamaan yang perlu kita garis bawahi untuk dibenahi dan diingatkan kembali. Seperti begitu lemahnya perlindungan pemerintah bagi warga minoritas terkait kebebasan beragama dan rasa aman dijamin.

Konstitusi, sedikit korelasi antara keberagaman dan konsistensi penegakan hukum (orang semakin berani melakukan pelanggaran) terutama jika tidak ada petugas. Menjadi pertanyaan sekarang apakah hal seperti ini dibiarkan pemerintah untuk suatu kepentingan?

Dengan membiarkan masyarakat asyik bertikai diatas fundamentalisme  agama. Sehingga masyarakat tidak bersatu agar menjadi lemah dalam menggugat kesalahan/keburukan akuntabilitas dan tata kelola dalam penyelenggara negara.

Kelemahan yang terjadi saat ini adalah suatu kesalahan yang terstruktur, karena jauh sebelum hari ini Bung Karno mendeskripsikan, Indonesia yang lahir nanti harus menjadi tempat beragama dengan leluasa. Warganya menyingkirkan egoisme beragama, hidup berdampingan saling menghormati, beradab, berbudi luhur dan berbudaya. Sehingga dalam hal ini penyelanggara negara harus berani menindak tegas siapa saja yang menghalang-halangi terwujudnya kebebasan tersebut.

Penyelenggara negara kita harus menjadi petarung yang tidak gampang menyerah. Harus menjadi personal yang “risk taking”  berani mengambil resiko dalam situasi, cuaca, dan suasana apapun. Tidak lapuk karena hujan dan tidak lekang karena panas, tahan dengan segala cuaca.

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan, dalam Pasal (2) menegaskan pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara.

Dalam sila pertama tentang ketuhanan menjadi dasar negara yang paling kuat, “sebagai salah satu elemen yang bisa mempersatukan batin Bangsa Indonesia dengan cara semesra-mesranya dalam rangka menjadikan Bangsa yang mengejar kebajikan” (Sukarno, Pancasila sebagai dasar negara, 63). sehingga pluralis ke agama harus sedini mungkin dipahami sebagai unsur pemersatu bangsa bukan sebagai alasan untuk saling mencacimaki, mengecilkan, menjatuhkan dan untuk saling berkopetensi.

Konstitusi menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama yang dipeluknya. Lebih jauh lagi apabila Institusi agama yang melarang, terlebih melakukan kekerasan terhadap umat beragama lain yang sedang beribadah, dapat dianggap melecehkan konstitusi.

Konstitusi Indonesia, yakni UUD 45 jelas menegaskan akan jaminan kebebasan beragama, dalam Pasal 28E ayat (1). Ditegaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Peran negara untuk itu juga dinyatakan pada Pasal 29 Ayat (2), yakni “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.