Kenapa Masyarakat di Bantaran Ciliwung Tetap Bertahan Hidup?

Rumah yang berada di pinggiran aliran sungai ciliwung yang kerap banjir (Dok.Pribadi Irwan)
Sumber :
  • vstory

VIVA – Indonesia memiliki 82 sungai terbesar dan 62 (75,6%) diantaranya tergolong kepada sungai yang kritis (BBWS Serayu Opak 2008). Hal ini disebabkan oleh perilaku manusia yang membuang sampah ke sungai, pembuangan limbah ke sungai secara gratis, dan penggunaan lahan secara berlebihan.

Petugas Gabungan Pasang Bronjong di Tanggul Jebol Kali Hek Kramat Jati

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2010) sungai Indonesia telah mengandung sampah sekitar 80 persen dan sampah tersebut terdiri atas sampah domestik atau rumah tangga.

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 28/PRT/M/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau telah mengatur mengenai Bantaran Sungai.

28 RT di Jakarta Terendam Banjir, Hek Kramat Jati Mulai Surut

Sungai Ciliwung merupakan salah satu contoh sungai yang kritis. Padahal sungai ini adalah salah satu sumber air baku Jakarta, sebagai ibu kota negara. Pencemaran air di Sungai Ciliwung menyebabkan kualitas air tercemar.

Hasil penelitian Yudo dan Said (2018) mengemukakan bahwa mutu kualitas air di Sungai Ciliwung termasuk dalam kategori tercemar berat khususnya daerah yang menuju hilir Sungai Ciliwung.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Perubahan penggunaan bareland, forest, built up area, dan pertanian lahan kering juga mempengaruhi kualitas air sungai.

Waterbody memiliki efek positif terhadap kualitas air, sementara bareland & area built-up memiliki efek negatif pada kualitas air sungai. Hal tersebut menggambarkan perubahan penggunaan lahan untuk dijadikan sebagai badan air, lahan terbuka, lahan hutan, lahan terbangun serta pertanian lahan kering berpengaruh terhadap kualitas air dan beberapa di antaranya memiliki dampak negatif terhadap kualitas air.

Salah satu cara untuk mencegah terjadinya pencemaran terhadap air, harus dilakukan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan (Djadjadilaga et al. 2013). Selain pencemaran air, di Bantaran Sungai Ciliwung mengalami bencana banjir dan longsor.

Banjir yang kerap terjadi terutama saat musim penghujan di bantaran Sungai Ciliwung (Dok.Pribadi Irwan)

Banjir yang kerap terjadi terutama saat musim penghujan di bantaran Sungai Ciliwung (Dok.Pribadi Irwan)

Banjir dan longsor yang terjadi di Bantaran Sungai Ciliwung, disebabkan oleh perubahan dan pengelolaan lahan secara berlebihan sehingga mengakibatkan bencana.

Pemukiman dan pembangunan seperti hotel, rumah penduduk, rumah potong hewan serta industri yang menyebabkan kondisi fisik sungai daerah Jawa Barat dan DKI Jakarta mengalami pengurangan.

Perkembangan pemukiman di bantaran sungai mengakibatkan perubahan pada wilayah tangkapan air hujan yang menuju aliran permukaan, sehingga membebani daya tampung sungai.

Masyarakat yang tinggal di Bantaran Sungai Ciliwung terbiasa membuang sampah ke sungai dan membuang limbah rumah tangga maupun industri di sungai yang menyebabkan penyumbatan aliran sungai serta resapan air.

Hal ini mengakibatkan sampah bertumpukkan di sungai dengan volume air sungai cepat meluap dan resapan air semakin sempit.

Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah dan masyarakat termasuk komunitas telah melaksanakan program dalam upaya mengatasi bencana yang terjadi (Konferensi Sungai Asia 2018 di Pekalongan).

Program yang dirancangkan sebagai wujud adanya kepedulian terhadap bencana yang terjadi di Bantaran Sungai Ciliwung. Salah satu program yang dilakukan adalah Normalisasi Sungai Ciliwung oleh Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) dari tahun 2013-2017 yaitu membangun jalan inspeksi selebar 36 meter dari badan sungai.

Walaupun sering terjadi bencana, masyarakat tetap resilien bertempat tinggal dan melakukan aktivitas kehidupan di bantaran sungai serta menguatkan modal sosial.

Yang menarik adalah mengapa masyarakat di Bantaran Sungai Ciliwung tetap bertahan walaupun mereka mengalami bencana berupa banjir dan longsor, sedangkan mereka mengalami kehilangan harta benda, nyawa bahkan psikologi.

Ternyata media sosial memiliki peran yang mendorong masyarakat sekitar bantaran Ciliwung untuk melakukan hal tersebut.

Saya berbincang dengan salah satu warga yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung (Dok.Pribadi Irwan)

Saya berbincang dengan salah satu warga yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung (Dok.Pribadi Irwan)

Media sosial ditemukan menguatkan modal sosial dalam kaitan mitigasi banjir dan longsor di Bantaran Sungai Ciliwung. Penggunaan media sosial menguatkan modal sosial berkaitan dengan peningkatan resiliensi rumah tangga yang tinggal di Bantaran Sungai menghadapi bencana.

Media sosial menguatkan struktur sosial dan menjadikan rumah tangga tetap bertahan atau tetap tinggal di bantaran sungai yang rawan terkena bencana. Media sosial teernyata sangat penting dalam penanganan bencana pada wilayah bencana di Bantaran Sungai Ciliwung.

Banyak tantangan dalam merampungkan penelitian ini namun dengan kegigihan dan semangat pantang menyerah, saya dapat mengenyampingkan tantangan-tantangan tersebut.

Tantangan yang dihadapi antara lain keterbatasan dana penelitian dan publikasi internasional, prosedur pengurusan administrasi, keterbatasan dalam bahasa sehingga membutuhkan tim lapangan, hingga menemukan kebaruan (novelty) dari penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pemangku kebijakan publik juga masyarakat pada umumnya. (Ditulis oleh Irwan, Alumni Bakrie Graduate Fellowship 2015, meraih gelar doktoral pada Program Studi Sosiologi Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, dan pengajar di STKIP PGRI Sumatera Barat)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.