Mengenal Indeks Kebahagiaan yang Sebenarnya

Photo by Belle Co from Pexels
Sumber :
  • vstory
<
p>

VIVA – Perbedaan sudut pandang mengenai kebahagian tiap individu merupakan hal yang wajar. Ada yang menganggap bahagia bisa didapatkan dengan uang yang banyak. Ada juga orang yang mendefinisikan dengan memiliki karier yang sukses, pendapatan yang layak, pendidikan yang tinggi, tempat tinggal yang nyaman, kesehatan yang terjamin, serta alasan-alasan terkait materi lainnya.

Dari macam-macam perspektif kebahagiaan mengarah pada satu benang merah, yakni keberhasilan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan; atau secara gamblang disebut pemenuhan keinginan. Meskipun begitu, apakah kebahagiaan cukup ditakar dengan motif pemenuhan materi ekonomi saja?

Kahneman, Diener, dan Schwarz (1999) menggarisbawahi perasaan yang menyenangkan (feeling of pleasure) dan kepuasan akan suatu hal yang dianggap mulia (noble satisfaction) merupakan dua unsur besar penentu kebahagian. Di lain pihak, Seligman (2002), Franklin (2010), dan Martin (2012) sama-sama menganggap bahwa upaya pencapaian (pursuing) dan pemenuhan (fullfilling) atas tujuan hidup merupakan kebahagiaan yang mendasar.

Bilamana konsep kebahagiaan diukur berdasarkan pemenuhan tujuan hidup saja, maka dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sudah cukup menerangkan. Sebab, IPM dapat menjelaskan pencapaian pembangunan hidup manusia di dalam suatu wilayah dalam tiga dimensi, yakni dengan pencapaian kesehatan melalui harapan hidup yang panjang, pendidikan dengan lama sekolah, dan ekonomi lewat pendapatan yang layak.

Namun demikian, apakah IPM benar-benar cukup mewakili ukuran kebahagiaan? Data statistik menunjukan, Indeks Pembangunan Manusia Firlandia berada pada urutan ke-11 dunia. Disisi lain, Firlandia ternyata disebut sebagai negara dengan penduduk terbahagia di dunia dalam tiga tahun berturut-turut (2018-2020) menurut versi World Happiness Report.

Data Statistik Agraria untuk Pelaku Usaha Agrikultur di Era Modernisasi

Begitu pula dengan Costa Rica, negara berkembang di Amerika Tengah dengan indeks pembangunan manusia ke-62 dunia, diluar dugaaan merupakan negara paling bahagia urutan ke-15 di dunia.

Berdasarkan data tersebut telah terjadi kekontrasan yang jelas antara ukuran pembangunan dan ukuran kebahagiaan. Lalu, adakah ukuran kebahagiaan yang spesifik menjelaskan kebahagian secara utuh?

Laporan Keuangan OJK 2022 Raih Opini Wajar Tanpa Pengecualian dari BPK

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pertama kali membangun suatu pengukuran kesejahteraan subjektif (subjective well-being) yang dapat menangkap kebahagian menjadi satu kesatuan yang utuh.

Tidak sekadar menggunakan angka yang kaku seperti PDRB dan IPM, OECD menangkap kebahagian penduduk pada negara keanggotaannya dengan indikator yang lebih hidup dan menyeluruh. Tiga dimensi besar yang diusung oleh OECD yaitu life evaluation (evaluasi hidup), affect (perasaan), dan eudemonia (makna hidup).

Pemprov Jateng Raih Opini WTP dari BPK RI 12 Kali Berturut-turut

Lebih jelasnya, dimensi evaluasi hidup akan melakukan penilaian yang mencerminkan kepuasan kehidupan suatu individu, seperti puas akan pendapatan, kesehatan, dan pekerjaanya. Lalu, dimensi perasaan mengukur keadaan emosional seseorang dalam periode tertentu. Dimensi ini akan mengukur perasaan senang, cemas, marah, tidak merasa tertekan dan sebagainya.

Terakhir, eudemonia memastikan fungsi psikologi dalam memaknai kehidupan yakni mengukur kemandirian, penguasaan lingkungan, hubungan positif dengan orang sekitar, penerimaan diri, dan lain-lain.

Pemerintah Indonesia pernah melakukan pengukuran tingkat kebahagiaan penduduknya. BPS pernah melakukan Survei Perilaku Tingkat Kebahagian (SPTK) pada 2017 silam. SPTK 2017 merupakan survei statistik yang disusun berdasarkan metodologi penelitian OECD dalam mengukur tingkat kebahagiaan.

Dilain sisi, BPS melakukan penambahan dengan turut memasukkan kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia sebagai faktor yang memengaruhi kebahagiaan penduduk. Survei ini dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia dengan melibatkan 75 ribu rumah tangga yang tersebar di 34 provinsi dan 487 kabupaten/kota.

Hasil SPTK 2017 menunjukan rata-rata tingkat kebahagiaan penduduk Indonesia sebesar 70,69 poin dengan skala 0-100. Bila nilai indeks kebahagiaan lebih besar atau sama dengan 50 poin, ini berarti penduduk suatu wilayah dianggap puas dan merasa bahagia dalam menjalani kehidupannya. Namun, apabila nilai indeks berada di bawah 50 poin, maka penduduk wilayah itu dikatakan kurang merasa bahagia.

Bila menilik pada tingkat provinsi, terjadi perbedaan rentang nilai kebahagian yang cukup nyata. Provinsi dengan nilai indeks kebahagiaan tertinggi adalah Maluku Utara (75,68 poin) dan terendah adalah Papua (67,52 poin).

Hal menarik dari variasi nilai indeks kebahagian di 34 provinsi di Indonesia adalah tidak terjadi pemusatan mana-mana provinsi yang memiliki indeks kebahagiaan yang relatif tinggi (71,34-75,68 poin) dan yang relatif rendah (67,52-71,33 poin). Sebagai contoh provinsi-provinsi di Pulau Jawa, satu-satunya provinsi dengan kebahagiaan yang relatif tinggi hanyalah D.I. Yogyakarta (72,93 poin).

Perlu digarisbawahi, secara kasat mata segala infrastruktur pembangunan dan kebutuhan akan lebih mudah diperoleh di Pulau Jawa dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Seharusnya, peluang penduduk Jawa untuk lebih bahagia akan lebih besar dibandingkan dengan wilayah lainnya, namun fakta yang ditemukan justru sebaliknya.

Sumut yang merupakan salah satu wilayah termaju di Sumatera, memiliki indeks kebahagian terburuk kedua setelah Papua. Dilain pihak, wilayah timur dengan kondisi kesenjangan pembangunan yang tinggi dibandingkan wilayah barat, seperti Maluku Utara merupakan provinsi dengan penduduk paling bahagia di Indonesia.

Berdasarkan uraian sebelumnya cukup membuktikan kebahagiaan tidak cukup dijelaskan dengan konsep pemenuhan materi ekonomi saja. Pengukuran kebahagiaan pun tidak memadai bila hanya diperoleh dari pemenuhan tujuan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan pendapatan. Kebahagian merupakan emosi yang terlahir dari perasaan manusia, jadi akan lebih wajar apabila diukur dengan juga melibatkan dimensi perasaan dan makna hidup manusia itu sendiri.

Sebagai penutup, kedepannya SPTK akan kembali diadakan pada tahun 2021 ini. Pengukuran tingkat kebahagiaan dirasa perlu dilakukan kembali, mengingat menarik apabila bisa mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai perkembangan tingkat kebahagiaan penduduk Indonesia di masa kini, dengan membandingkan kebahagiaan prapandemi versus pascapandemi COVID-19.

Akan lebih lengkap lagi apabila SPTK 2021 dapat melibatkan unsur spiritualitas di dalam dimensinya. Sebab, sebagai negara yang menjunjung ideologi Pancasila, penduduk Indonesia sangat memegang teguh norma agama dalam kehidupan sehari-hari. Kedekatan terhadap Tuhan memiliki tempat tersendiri bagi masyarakat Indonesia dalam menentukan tingkat kebahagiaan mereka.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.