Belajar dari Trio Milenial 'Sawah Rojo'

Sawah Rojo, Dipelopori Trio Milenial di Kota Batu (Foto: humasjatim)
Sumber :
  • vstory

VIVA – Berawal dari keinginan untuk mengatasi krisis regenerasi petani, tiga pemuda milenial asal Kota Batu menginisiasi “Sawah Rojo” untuk menggerakkan petani milenial.

Amicus Curiae Cuma Terakhir untuk Bentuk Opini dan Pengaruhi Hakim MK, Menurut Pengamat

Seringkali ketiga pemuda mendengarkan keluhan para petani mengenai hasil panen yang sering merugi. Dampaknya petani menjual lahannya kepada investor untuk dapat bertahan hidup. Banyak dari lahan tersebut menjadi villa maupun hotel.

Berdasarkan catatan Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) Kementerian Pertanian, bahwa jumlah petani Indonesia saat ini di tahun 2020 ada sekitar 33 juta jiwa. Dari jumlah itu, didapat data bahwa hanya 29% petani yang usianya kurang dari 40 tahun, atau disebut sebagai petani milenial.

Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

Situasi darurat petani menjadi perhatian penting dari semua pihak. Sebab, profesi petani sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Apapun makanan yang dikonsumsi manusia, dipastikan berkaitan dengan sektor pertanian. Oleh karenanya, darurat generasi petani menjadi pekerjaan rumah yang harus segera disadari dan dicarikan solusinya secara gotong royong.

Ketiganya pun segera gerak cepat (gercep) melakukan observasi pada para petani, hingga muncul ide melahirkan petani-petani milenial. Dan mereka akhirnya membentuk Sawah Rojo.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Ketiga pemuda tersebut bernama Andi Antono, Herman Aga dan Sofyan. Ketiganya giat mencari bibit-bibit petani milenial di Kota Batu. Andi Antoni memiliki kemampuan manajerial yang handal, Sofyan peternak dan ahli teknologi pertanian. Sementara Herman Aga menggagas visi dan misi petani pada “Sawah Rojo”.

Mereka memiliki segudang konsep yang siap diaplikasikan untuk mengatasi kondisi darurat petani. Bagi mereka, membangun kesadaran serta kepedulian terhadap petani merupakan salah satu wujud cinta terhadap tanah airnya.

Berbekal dengan kemampuan yang mereka miliki, ketiga pemuda tersebut mencari bibit-bibit muda agar mau berprofesi menjadi petani milenial. Petani milenial memiliki pola kerja bertani yang tidak lagi konvensional, melainkan modern lewat sentuhan teknologi.

Petani milenial mempunyai peran penting untuk saat ini. Karena, untuk melanjutkan pembangunan di sektor pertanian dibutuhkan dukungan dari SDM pertanian yang maju, mandiri, dan modern. Apalagi Jawa Timur merupakan penghasil padi tertinggi di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2021.

Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), dengan luas panen 1.754.380 ha, Jawa Timur dapat menghasilkan padi sebanyak 9.944.538 ton GKG atau setara 5.712.597 ton beras.

Capaian ini bahkan menggeser posisi Jawa Tengah yang sebelumnya bertengger di peringkat pertama. Tahun ini, Jateng menempati urutan kedua dimana dengan luasan panen 1.666.931 ha, berhasil menghasilkan padi 9.489.165 ton GKG atau setara 5.428.721 ton beras.

Disusul peringkat ketiga, Jawa Barat dengan luas panen 1.586.889 ha menghasilkan padi 9.016.773 ton GKG atau setara 5.180.202 ton beras. Keempat, Provinsi Sulawesi Selatan, dengan luas panen 976.258 ha menghasilkan padi 4.708.465 ton GKG atau setara 2.687.970 ton beras, berada diurutan keempat. Kelima, Provinsi Sumatera Selatan, dengan luas panen 551.321 ha menghasilkan padi 2.743.060 ton GKG atau setara 1.567.102 ton beras.

Di Jawa Timur sendiri, kabupaten/kota penyumbang terbesar produksi padi diantaranya, Lamongan dengan produksi sebesar 886.060,99 ton padii atau setara 508.993,90 ton beras. Disusul, Ngawi dengan produksi sebesar 837.773,15 ton padi atau setara 481.255,17 ton beras.

Melihat potensi pertanian yang begitu tinggi, maka perlu meningkatkan peluang dan semangat masyarakat khususnya milenial untuk berinovasi mengembangkan pertanian. Namun mengembalikan ketertarikan anak-anak para petani ke bidang agraria tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan riset, pendampingan, dan manajemen, agar mereka dapat diarahkan ke pertanian ramah ramah lingkungan.

Saat ini ketiganya sedang berupaya mengubah pola pikir anak petani. Sebab, anak petani masih menganggap profesi petani tidak keren. Di sisi lain, para orang tua tidak tega melihat anaknya bekerja sebagai petani.

Persoalan petani tidak bisa didekati dengan metode generalisasi. Melainkan banyak cara yang harus dilakukan seperti pengenalan teknologi, pendekatan kultural dengan mempertahankan kearifan lokal di setiap wilayah.

Semua elemen harus bergerak dinamakan peran pentahelix. Titik beratnya adalah anak muda karena berbicara soal bonus demografi. Sawah Rojo hanya stimulus atau pendongkrak saja.

Hadirnya Sawah Rojo merupakan solusi alternatif untuk mengatasi masalah petani dan pertanian. Sejauh ini, Sawah Rojo telah mendampingi 12 anak muda yang masih duduk di bangku SMA. Mereka dibentuk untuk semakin peduli terhadap kondisi petani, sekaligus diajarkan metode bertani secara konvensional dan modern.

Keterlibatan anak muda dinilai sangat penting dan sesuai dengan konsep Sawah Rojo, yakni simbiosis mutualisme, art, riset and technology (smart farming). Selain ditunjang dengan teknologi, tampilan atau kemasan (packaging) juga harus menarik.

Sejauh ini, tim teknologi Sawah Rojo sudah membuat pengendalian manajemen air. Di mana manajemen air tersebut untuk memenuhi kebutuhan tanaman dengan menggunakan sistem IoT (Internet of Things).

Sistem irigasi ini menjadikan satu rangkaian yang dikendalikan melalui handphone. Ketika kebutuhan sudah terpenuhi akan berhenti secara otomatis. Masalah air terukur sehingga hasilnya tetap optimal.

Pembangunan pertanian belum cukup kalau hanya bicara inovasi, sarana dan prasarana, termasuk kebijakan peraturan perundangan. Yang utama adalah bagaimana meningkatkan SDM, sehingga mampu mengimplementasikan inovasi, sarana dan prasarana dengan baik dan benar, serta mampu mengusulkan kebijakan peraturan perundangan yang mendukung pertanian.

Sawah Rojo menjadi upaya melahirkan petani baru untuk menunjang program ketahanan pangan. Apalagi di tengah kebutuhan pangan yang masih tinggi saat ini, para pekerja di sektor pertanian justru kian menurun. (Penulis : I Gede Alfian Septamiarsa, S.Sos, M.I.Kom, Pranata Humas Ahli Pertama Biro Administrasi Pimpinan Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.