Solusi Pengembangan Komoditas Kopi

Kebun Kopi.
Sumber :
  • vstory

VIVA Kopi menjadi komoditas yang trend dikonsumsi masyarakat Indonesia. Terlihat dari menjamurnya warung kopi, kedai kopi, dan coffee shop di berbagai daerah di Indonesia. Berbagai jenis kopi dapat dijumpai seperti Kopi Gayo Aceh, Kopi Arabika, Kopi Robusta, Kopi Liberica, Kopi Kawisari salah satu kopi tertua di Jawa Timur, dan sebagainya.

11 Rekomendasi Coffee Shop untuk Kerja di Jakarta Selatan

Tren kopi tersebut memicu peningkatan konsumsi kopi dalam negeri. Kini, Indonesia tidak hanya tercatat sebagai salah satu produsen kopi dunia, tetapi juga konsumen kopi yang tidak bisa diremehkan.

Berdasarkan informasi, Indonesia, sebagai negara penghasil kopi terbesar keempat dunia setelah Brazil, Vietnam, dan Kolombia.

Mejeng di Pameran Kopi Terbesar di Amerika, Produk Lampung dan Bajawa Bidik Pasar Gobal

Seperti yang disampaikan Ketua Umum Dekopi Anton Apriyantono di beberapa sumber, porsi kopi Indonesia antara yang diekspor dan dikonsumsi dalam negeri sebelumnya 60 persen dan 40 persen. Ekspor didominasi dalam bentuk green bean atau kopi mentah.

Mengutip data BPS periode 2015-2019, volume ekspor kopi menurun dari 499,6 ribu ton menjadi 359,05 ribu ton. Alhasil dari sisi nilai ikut menurun dari 1,18 juta dolar AS menjadi 883 ribu dolar AS.

Kopi Unggulan Indonesia Juara Dunia di  Specialty Coffee Expo 2024 Amerika Serikat

Sementara, konsumsi kopi oleh masyarakat di dalam negeri tumbuh sekitar delapan persen per tahun. Banyak gerai kafe yang bermunculan, itu sangat membantu penyerapan komoditas kopi.

Gaya hidup masyarakat Indonesia dalam mengonsumsi kopi menjadi salah satu 'katrol' yang dapat meningkatkan jumlah permintaan bubuk kopi olahan di dalam negeri. Adanya permintaan yang tinggi ini membuat eksportir melihat bahwa pasar kopi dalam negeri lebih 'seksi'.

Berdasarkan data International Coffee Organization (ICO,) konsumsi kopi domestik Indonesia pada periode 2018-2019 mencapai 50,97 persen dari produksinya. Jumlah tersebut tertinggi dibandingkan dengan negara penghasil kopi lainnya, seperti Brazil, Vietnam, Kolombia, dan Ethiopia.

Kondisi ini menciptakan peluang bagi pelaku industri dan petani kopi. Namun juga Tantangannya, produktivitas lahan perkebunan kopi perlu ditingkatkan guna mencukupi kebutuhan pasar lokal dan global. Sesuai data Kementan, rata-rata produksi petani hanya sekitar 780 ribu ton per tahun.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut , perlu dilakukan berbagai langkah. Diantaranya, replantasi atau penanaman bibit kopi kembali, serta perluasan lahan untuk komoditas kopi. Ada kekhawatiran jika permintaan besar tidak diimbangi penanaman baru, tiga tahun ke depan bisa terjadi impor kopi.

Apalagi berdasarkan informasi Direktorat Jenderal Perkebunan, pada tahun 2017 luas perkebunan kopi di Indonesia mencapai 1,23 juta hektare. Luasan ini berturut-turut mengalami penurunan terhitung sejak tahun 2013 mencapai 1,24 juta hektare.

Sedangkan pada tahun 2018, total luas lahan kopi 1.259.136 hektare, di mana seluas 919.500 hektare adalah lahan kopi robusta. Juga adanya persoalan produktivitas per hektare yang rendah dibandingkan negara pengekspor kopi lainnya, yakni 1,1 ton/hektare untuk kopi robusta dan 600-700 kg/hektare untuk produktivitas kopi arabica.

Rencana replantasi kopi ini bahkan sudah disiapkan petanya oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur bersama Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember.

Replantasi, ekstensifikasi lahan, intensifikasi proses produksi yang lebih maksimal perlu dilakukan oleh para petani kopi. Selain itu diiringi dengan maintenance untuk menjaga kualitas.

Selain itu, pengembangan Trading House dan BUMD Kopi pada kabupaten/kota bisa dilakukan guna mengangkat komoditas kopi menjadi lebih profesional.

Melalui BUMD dan Trading House Kopi, maka daerah tersebut bisa menentukan stabilitas harga kopi, dan tidak lagi kopi ditentukan harganya oleh pihak lain. Pengenbangan Trading House dan BUMD Kopi ini memerlukan penyiapan kelembagaan dan inventarisir sumber daya manusia sesuai tuntutan saat ini.

Peneliti, pemasar, petani yang sudah sukses mengembangkan kopi, diundang ke kabupaten/kota. Mereka dikumpulkan diminta akses SDM yang bisa mengelola BUMD Kopi di kabupaten/kota secara lebih advance dan profesional. Hal ini juga harus diperkuat dengan jejaring pasar pascapanen, olahan dan kemasan, sehingga Indinesia bisa jadi top of the top penghasil kopi di dunia.

Pembentukan kelembagaan petani kopi yang kuat dilakukan agar petani dapat melakukan pertukaran informasi, sehingga terjadi transfer pengetahuan di antara petani kopi mengenai sistem budi daya kopi yang baik.

Tentunya berbagai program pemerintah untuk mengakselerasi ekspor kopi juga diimbangi dengan peningkatan kualitas dan kesejahteraan para petani kopi, yaitu dengan melakukan pendampingan penyuluhan bagaimana melakukan budi daya kopi--pemangkasan, pemupukan, penyiangan, dan pemanenan hingga penyortiran biji kopi pilihan, yang didukung dengan teknologi pertanian yang tentunya dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas panen.

Langkah lainnya yang perlu dilakukan adalah adanya keterlibatan semua pihak yang saling bersinergi dan  berkolaborasi dalam pemanfaatkan potensi yang dimiliki oleh komoditas kopi Indonesia, salah satunya adalah kerjasama antara pemerintah dan generasi milenial.

Dengan kondisi generasi milienal yang sedang menjadi tren saat ini, kopi bukan lagi sebagai konsumsi tetapi juga sebagai gaya hidup (lifestyle). Melihat kopi sebagai tren gaya hidup menjadikan banyak milenial tertarik untuk mengembangkan bisnis coffee shop.

Dengan adanya solusi pengembangan kopi, komoditas kopi akan menjadi pintu masuk bagi kesejahteraan masyarakat khususnya petani dan pelaku usaha kopi di Indonesia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.