Pak Bekti, Guru Jurnalistik Itu Telah Tiada

Pak Bekti (foto dok Nur Terbit)
Sumber :
  • vstory

VIVA - Ada kenangan saya yang tersisa dengan Pak Bekti Encub Soebekti Soebekti (Pemimpin Perusahaan - Redaktur Pelaksana) dan Pak Lahay Abdullah Lahay (Redaktur Senior) di Harian Terbit.

Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

Kenangan lainnya yang juga seru selama jadi wartawan di Harian Terbit (Pos Kota Grup), tentu masih banyak lagi. Alhamdulillah, saya sudah tulis di buku "Wartawan Bangkotan" (YPTD 2020) dan "Lika-Liku Kisah Wartawan" (PWI Pusat 2020).

Waktu itu, seingat saya, menjelang puasa dan lebaran, saya mengajukan cuti seminggu (6 hari) untuk pulang kampung ke Makassar naik kapal laut PT Pelni era 1985.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Sebenarnya, cuti 6 hari itu terlalu singkat sekali karena waktu perjalanan kapal laut Tanjung Priok - Makassar butuh 2 hari 3 malam. Jadi kalau pergi-pulang, maka masa cutinya sudah habis hanya di perjalanan. Terlanjur di-ACC, ya dijalani aja.

Tapi kalau minta cutinya terlalu lama, tentu tidak diizinkan oleh kantor. Akhirnya, cuti memang berkepanjangan. Rinciannya seperti ini: cuti 6 hari, perjalanan 4 hari 2 malam (PP), 6 hari di kampung, nunggu kapal balik ke Jakarta 6 hari, total 18 hari atau lebih dari setengah bulan cutinya.

Terima Penghargaan karena Menangkan Capres 5 Kali Beruntun, Denny JA Beri Pesan Politik

Begitu masuk kantor redaksi di Jakarta pasca cuti mudik ke Makassar, saya lalu mengetik tulisan "catatan perjalanan mudik dengan kapal laut". Saat mengetik di mesin tik, komputer masih termasuk barang langka ketika itu, meja saya didatangi oleh Pak Lahay (Abdullah Lahay) dan bilang, "gak usah capek ngetik berita, percuma, tidak bakal dimuat sama Pak Bekti (Redpel), soalnya Nur akan disidang karena cutinya melewati ketentuan," katanya.

Masak sih? Maka benar kata Pak Lahay. Saat itu, keluarlah SP (Surat Peringatan) untuk saya. Yang mengetik SP adalah Pak Haji Mirjan. Ketika mau diketik "kolom peringatan", Pak Mirjan (Sekertaris Redaksi) bingung mau mengetik : "ini peringatan yang ke berapa? Soalnya Nur sudah terima SP yang ketiga (terakhir)??," tanya Pak Mirjan.

"Kalau begitu, untuk SP Nur balik lagi ke SP pertama," kata Pak Bekti, memerintahkan Sekertaris Redaksi. Padahal, sesuai aturan perusahaan/kantor redaksi, seharusnya saya sudah waktunya dipecat/PHK karena sudah masuk peringatan terakhir.

Di kalangan wartawan Harian Terbit, saya memang dianggap "pemecah rekor" dalam hal penerimaan SK. Dari SK mutasi bidang wilayah liputan (beberapa kementerian, kecuali istana negara), desk bidang, hingga SP. Alhamdulillah, selama itu belum pernah ada SK yang saya terima karena melakukan tindakan melanggar etika profesi (kode etik wartawan) yang berujung pidana.

Itulah kenangan berkesan saya dengan Pak Bekti. Tapi, Minggu pagi 11 April 2021, Pak Bekti telah berpulang. Almarhum kini terbaring istirahat di satu pemakaman di daerah Serpong, Tangerang, Banten. Menghadap Ilahi Robbi dengan menyisakan kenangan kepada orang yang ditinggalkannya.

Selamat jalan Pak Bekti. Bapak telah mengajarkan banyak hal. Selain ilmu jurnalistik, juga toleransi kepada anak buah (wartawan) yang melanggar masa cuti ????

Dalam foto kenangan kami, adalah kenangan sebagian anggota staf redaksi Harian Terbit bersama Pak Bekti (lingkaran merah) ketika beliau menerima piala Adinegoro bidang Tajuk Rencana untuk Harian Terbit. Sedang lingkaran putih sebelah kiri adalah Pak Haji Mirjan (Sekertaris Redaksi), Saya Nur Terbit dan Pak Lahay di sebelah kanan (Nur Terbit)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.