Menilik Efektivitas Larangan Mudik di Tengah Pandemi COVID-19

Kebijakan larangan mudik menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak.
Sumber :
  • vstory

VIVA – Belakangan ini muncul adanya Surat Edaran Satuan Tugas COVID-19 Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Virus COVID-19 Selama Bulan Suci Ramadhan.

Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

Dalam Surat Edaran tersebut disebutkan pada latar belakang poin 1 sampai 3, bahwa peniadaan mudik dilakukan karena mobilisasi masyarakat akan meningkatkan risiko penyebaran COVID-19.

Selain itu, Surat Edaran tersebut juga dikeluarkan dengan tujuan untuk mengoptimalkan fungsi Pos Komando (posko) penanganan COVID-19 pada tingkat desa/kelurahan dalam rangka pengendalian penyebaran virus corona pada tingkat mikro selama bulan suci ramadhan serta untuk melakukan pemantauan, pengendalian, dan evaluasi upaya pencegahan peningkatan penularan virus corona selama bulan suci ramadhan (Nasional, 2021). 

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Adanya Surat Edaran tersebut turut menghadirkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Fenomena mudik merupakan salah satu tradisi yang tidak bisa dipisahkan bagi masyarakat Indonesia. Hal tersebut dikarenakan mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam.

Berdasarkan World Population (2021), penduduk muslim di Indonesia mencapai 87,2?ri total populasi. Namun, di satu sisi mobilitas penduduk di masa pandemi COVID-19 dapat menimbulkan berbagai akibat buruk bagi penanganan dan pengendalian kasus COVID-19 di Indonesia.

Terima Penghargaan karena Menangkan Capres 5 Kali Beruntun, Denny JA Beri Pesan Politik

Mobilitas penduduk merupakan salah satu indikator utama untuk memprediksi penyebaran kasus COVID-19 (Seftiani, 2021). Hal tersebut dikarenakan COVID-19 dapat menyebar melalui pergerakan dan perpindahan manusia. Wiku Adisasmito, Juru Bicara Pemerintah Penanganan Covid-19, menyatakan bahwa peningkatan mobilitas penduduk dapat memicu angka kasus penularan virus Covid-19 bertambah (Saputri, 2021).

Argumen tersebut didukung dengan pernyataan epidemilog Universitas Indonesia, Pandu Riono, yang mengatakan bahwa hal ini terjadi pada kasus peningkatan angka positif COVID-19 di Provinsi Bali yang terjadi akibat dibukanya Bali bagi para wisatawan domestik, sehingga banyak terjadi mobilitas penduduk di Provinsi Bali (Mashabi, 2020).

Selain itu, bercermin dari India yang sudah melonggarkan pembatasan kegiatan massa seperti kegiatan keagamaan, pembukaan sekolah, hingga pembebasan pesta pernikahan yang menyebabkan terjadinya kasus tsunami COVID-19 di India. Adanya dua kasus tersebut juga ditekankan oleh Elina dalam Hamdi (2021) yang menyatakan, bahwa lonjakan kasus COVID-19 selalu terjadi setiap libur panjang, karenanya pelarangan mudik harus dilaksanakan dalam rangka menekan penyebaran kasus COVID-19 di Indonesia.

Riset dari Balbo dkk. (2020) menyatakan bahwa persoalan pandemi COVID 19 harus dilihat secara menyeluruh, tidak hanya terbatas pada indikator kesehatan, tetapi indikator lain juga harus diperhatikan, seperti aspek-aspek demografi yang salah satunya adalah mobilitas penduduk (Seftiani, 2021).

Aspek-aspek ini dapat menjadi faktor yang meningkatkan tingkat risiko (determinants) pada suatu negara terhadap penyebaran dan kejadian fatal akibat virus corona. Maka dari itu, pembatasan mobilitas sosial seperti adanya kebijakan larangan mudik dipandang perlu mengingat ancaman tsunami COVID-19, seperti India.

Lebih lanjut, kebijakan pemerintah untuk melakukan larangan mudik di tengah pandemi COVID-19 masih dianggap plin-plan dan tidak sejalan dengan kebijakan lainnya. Hal tersebut dikarenakan pemerintah tetap membuka sektor pariwisata dan sudah memperbolehkan masyarakat untuk sholat tarawih berjamaah di masjid.

Pernyataan tersebut dianggap tidak memiliki perbedaan dengan mudik, karena bisa saja masyarakat yang ingin mudik beralasan untuk hanya sekadar berwisata. Lebih lanjut, beberapa daerah justru memperbolehkan warganya untuk berwisata, meskipun dengan beberapa syarat.

Sebagai contoh, Pemerintah Kota Surakarta yang mengizinkan tempat wisata untuk tetap dapat beroperasi selama periode larangan mudik berlangsung, bahkan warga Solo atau luar Solo juga diizinkan untuk datang berwisata asalkan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, seperti membawa Surat Keterangan dari Kepala Desa atau Lurah daerah asal atau Surat lzin Perjalanan tertulis atau Surat lzin Keluar/ Masuk (SIKM) untuk warga yang berasal dari DKI Jakarta, serta membawa hasil uji swab PCR negatif atau swab antigen paling lama 2 x 24 saat masuk penginapan (Lokadata, 2021).

Selain itu, Bupati Kabupaten Bandung, Jabar, juga memperbolehkan masyarakat luar kota yang memiliki keinginan untuk berwisata ke Lembang yang merupakan salah satu ikon wisata di area Kabupaten Bandung Barat (Abadi, 2021).

Selanjutnya, larangan mudik di tengah pandemi COVID-19 juga dapat membuat kerugian yang cukup besar dalam sektor transportasi. Akan terjadi penurunan yang signifikan dalam hal penjualan tiket lantaran pada tanggal 6-17 Mei diwajibkan setop beroperasi dan dilarang mengangkut penumpang umum yang hendak mudik.

Padahal, momentum ini bisa dijadikan peluang yang besar dalam sektor tersebut apalagi banyak pihak yang menganggap bahwa ini bisa dijadikan masa penyesuaian mengingat sudah terjadi penurunan kasus positif di Indonesia yang dibarengi dengan vaksinasi (Pratomo dan Vyckyc, 2021).

Meskipun pemerintah sudah menetapkan larangan mudik pada tanggal 6-17 Mei 2021 dan pengetatan larangan mudik pada tanggal 22 April-22 Mei 2021, namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang tetap melakukan mudik dan pulang ke kampung halaman lebih awal.

Hal tersebut mengakibatkan adanya lonjakan penumpang yang terjadi seperti di Stasiun Kereta Senen Jakarta Pusat yang dipadati pemudik asal Jakarta dan sekitarnya yang hendak mudik menggunakan Kereta Api dengan tujuan Jawa (Fajarta, 2021). Sebagai contoh, terdapat ratusan pemudik dari Jakarta dan sekitarnya tiba di Stasiun Tegal, Jawa Tengah pada tanggal 2 Mei 2021, yang mana pemudik memilih pulang kampung lebih awal karena khawatir tidak bisa mudik pada tanggal 6-17 Mei mendatang.

Sementara data keberangkatan kereta api menuju sejumlah kota di Jawa Timur, Yogyakarta, dan Jakarta mencapai 1200 penumpang (Yunibar, 2021).

Hal di atas tentu menjadi paradoks yang menimbulkan pertanyaan masyarakat terkait dengan keseriusan pemerintah akan kebijakan larangan mudik tersebut. Oleh karena itu, dalam rangka mensukseskan kebijakan larangan mudik di tengah pandemi COVID-19, pemerintah seharusnya bisa mengkomunikasikan tujuan kebijakan larangan mudik di tengah pandemi COVID-19 dengan jelas dan bekerjasama dengan berbagai stakeholders, seperti pihak swasta, kepala daerah/desa, tokoh masyarakat, serta melibatkan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) untuk mensosialisasikan kebijakan larangan mudik kepada masyarakat lokal.

Selain itu, pemerintah juga dapat melakukan pengelolaan jalur lalu lintas dengan pemeriksaan yang ketat, lalu dasar hukum juga perlu dipertimbangkan untuk mengikat dan mempertegas kebijakan larangan mudik di tengah pandemi COVID-19, serta pengertian istilah mudik harus dipertegas kembali agar masyarakat tidak salah tafsir.

(Arnetta Nandy, Assandy Novia, Muhammad Derby, Muhammad Nurdin, Saefurrahman Lubis, Tasya Muthiara Shanny, Widia Afrianti)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.