Limbah Batu Bara Bukan Lagi B3: Pro Kontra PP No. 22 Tahun 2021
- vstory
VIVA – Pemerintah Indonesia menghapus limbah batu bara dari kelompok limbah B3 (barang berbahaya beracun). Hal ini dengan cepat mendapat perhatian publik karena dinilai berdampak pada lingkungan sehingga menimbulkan kontroversi dan keraguan.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, limbah abu terbang dan abu dasar hasil pembakaran batu bara saat ini berstatus sebagai limbah non-B3.
Peraturan tersebut erat kaitannya sebagai buah dari disahkannya Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 mengenai Cipta Kerja sebagai induk dari Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 yang membahas tentang dikeluarkannya sejumlah limbah dari kelompok berbahaya dan beracun, salah satunya adalah limbah batu bara.
Limbah batu bara merupakan bagian dari Fly Ash (abu terbang) dan Bottom Ash (abu dasar) atau biasa dikenal dengan sebutan FABA (fly ash and bottom ash). FABA adalah limbah padat yang diciptakan dari proses pembakaran batu bara oleh PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap).
Jumlah dari limbah ini masih terbilang besar karena Indonesia masih sangat bergantung pada pembangkit listrik yang masih menggunakan batubara sebagai salah satu bahan bakar utamanya. Berdasarkan data Ditjen Kelistrikan ESDM (2018), kebutuhan batu bara hingga tahun 2027 masih sangat besar yaitu 162 juta ton. Sedangkan potensi FABA yang dihasilkan melalui pembakaran sebesar 16,2 juta ton dengan asumsi 10?ri pemakaian batu bara.
Batu bara mempunyai komposisi berbagai jenis unsur berbahaya beracun termasuk logam berat dan radioaktif. Ketika batu bara dibakar di pembangkit listrik, bahan ini menghasilkan pembakaran berupa abu terbang dan abu dasar. Saat FABA bercampur dengan air, unsur seperti boron, kadmium, timbal, radium, selenium, dan thallium dapat teralkali secara perlahan.
Unsur-unsur ini bersifat karsinogenik dan neurotoksik yang beracun bagi mahkluk hidup yakni manusia, ikan, biota air, dan satwa liar. Bukannya memperkuat pengawasan dan penjatuhan sanksi bagi para pelanggar aturan pengelolaan abu batu bara dari pembangkit demi mereduksi risiko pencemaran, pemerintah justru membuat longgar aturan pengelolaan abu batubara dengan mengeliminasinya dari daftar Limbah B3.
Selain itu, FABA juga memiliki beragam partikel beracun mulai dari arsenik, merkuri, kromium dan logam berat lainnya. Pasalnya jika terkontaminasi dengan udara partikel tersebut akan mengganggu sistem pernafasan manusia, dan apabila terkontaminasi dengan air akan merusak biota laut, sungai dan pesisir serta menyebabkan kandungan pH air menjadi asam.
Disisi lain, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengklaim FABA dikelompokan sebagai kelompok bukan limbah B3 berdasarkan kajian ilmiah. Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (PLSB3), Rosa Vivien Ratnawati mengatakan Kementerian sebagai salah satu instansi pasti memiliki alasan yang tentunya berdasarkan scientific based knowledge bahwa pembakaran batu bara pada PLTU sudah menggunakan pulverize coal yaitu pembakaran dengan temperature yang tinggi sehingga karbon yang tidak terbakar dalam FABA menjadi sedikit dan lebih stabil.
Hal ini membuat FABA menjadi sedikit memiliki nilai guna dalam bidang insfrastruktur yakni dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, substansi semen, jalan, tambang bawah tanah, serta restorasi tambang. FABA yang sekarang masuk ke dalam kelompok limbah non-B3 adalah hanya dari PLTU saja.
Sementara pihak lain yang masih menggunakan metode pembakaran batu bara tungku yakni pembakaran yang dilakukan pada temperatur rendah, hasilnya akan tetap masuk sebagai limbah B3 karena intensitas unburned carbon FABA yang masih tergolong tinggi.
Meski demikian, muncul banyak pertanyaan baru salah satunya adalah mengenai berapa banyak jumlah industri yang sudah menggunakan tipe pembakaran pulverize coal serta bagaimana tindak lanjut pemerintah dalam menjamin pemanfaatan FABA secara luas pasca dikeluarkannya limbah tersebut dari kategori B3. Pasalnya langkah tersebut perlu melibatkan banyak pihak, terutama pihak yang berkecimpung di bidang teknologi.
Namun, ada sebuah catatan penting yang luput dari pemberitaan media perihal disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, yaitu selain FABA, terdapat sekitar delapan jenis limbah lain yang turut dikeluarkan dari daftar limbah B3 yaitu slag baja dan slag nikel untuk semua jenis teknologi peleburan; iron centrate, mill scale, debu besi atau baja, dan PS ball untuk semua jenis teknologi peleburan bijih; dreg dan grits untuk recovery black liquor process dari industri virgin pulp; dan spent bleaching earth untuk proses industri oleochemical dan pengolahan minyak hewani atau nabati.
Pemerintah juga harus mampu memberikan scientific based knowledge terhadap penghapusan delapan jenis limbah di atas dari daftar limbah B3, seperti halnya pemerintah menjelaskan alasan dihapuskannya FABA.
Selain itu, disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 yang mencabut FABA dari kategori B3 praktis dapat mendorong Indonesia menjadi pemeran utama dalam global supply chain dengan memanfaatkan beragam sumber daya lokal terutama komoditas batu bara untuk menopang kepentingan industri yang memiliki nilai tambah ekonomi yang besar.
Batu bara dipandang sebagai komoditas strategis dalam perdagangan internasional. Hal ini didasari pada supply sekaligus volume dan nilai ekspor di Indonesia. Data yang dilansir oleh Data Kementerian ESDM tahun 2020 menunjukkan peningkatan produksi sekaligus ekspor komoditas batubara.
Gambar 1. Data produksi dan ekspor batu bara tahun 2020
Sumber : Kementrian ESDM
Senada dengan statistik diatas, data produksi batu bara dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir menunjukan grafiik yang tidak menunjukan tanda tanda penurunan.
Gambar 2. Data produksi batu bara 2000-2019
Sumber : dataindustri.com
Statistik diatas tidak sejalan dengan cita-cita pemerintah dalam mengejar target bauran EBT (Energi Baru Terbarukan) sebesar 23% pada tahun 2025 dengan ditandai dengan terus meningkatnya tren produksi batu bara di Indonesia. Selain itu fakta ini menunjukan bahwa pemerintah belum memiliki komitmen yang kuat untuk mempraktikan sustainable trade sebagaimana telah dan sedang dilakukan oleh negara negara lain.
Sustainable trade mengakar pada konsep sustainable development (pembangunan berkelanjutan) sebagaimana yang tercantum pada United Nation Sustainable Development Goals (SDGs) yang diresmikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September 2015 lalu.
Dalam hal ini pemerintah perlu untuk membangun keseimbangan antara konsentrasi pembangunan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, dan lingkungan hidup yang mana tiga hal tersebut merupakan aspek yang terkena dampak dari diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021. Pemerintah harus dapat menjamin pemanfaatan FABA secara luas setelah penetapan FABA sebagai limbah non-B3 terdaftar.
Rencana tersebut perlu melibatkan banyak pihak, terutama pihak yang menguasai teknologi pemanfaatan dan pihak yang berpotensi menjadi pemanfaat hasil olahan FABA sehingga limbah hasil pembakaran batu bara yang selama ini terbengkalai dapat dimanfaatkan dengan cepat tanpa menunggu timbulnya dampak lingkungan yang lebih serius. Pemerintah juga perlu untuk menjelaskan kepada publik mengenai alasan dihapuskannya FABA secara detail, lebih khusus lagi penjelasan perihal alasan dihapuskannya delapan jenis limbah lainnya dari daftar limbah B3. Pemerintah harus dapat meyakinkan publik bahwa peraturan yang telah ditetapkan bersih dari kepentingan yang tidak sejalan dengan kepentingan rakyat.