Pilpres 2024 Masih Terbuka Peluang Siapapun Kandidat Capresnya

Didik Rachbini (foto/Nur Terbit/Univ Paramadina)
Sumber :
  • vstory

VIVA -- Mengapa orang-orang yang punya kendali kuat di partai politik ternyata tidak cukup punya favorability ketimbang mereka yang di luar centrum partai politik seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo?

Demikian pertanyaan yang mengemuka dalam Diskusi Online Forum Ekonomi Politik “Misteri dan Serba Serbi Capres Dini” yang diselenggarakan secara virtual oleh Universitas Paramadina, awal September 2021.

Menurut Prof. Didik J. Rachbini, Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang diperkirakan masih akan penuh kampanye dengan kebencian.

"Etika politik di Indonesia tidak diperhatikan, dengan penggunaan buzzer politik yang jahat sekali men-downgrade lawan politik. Contoh kasus efektivitas buzzer adalah kasus KPK dengan memunculkan isu Taliban dan non Taliban di KPK," kata Rektor Universitas Paramadina ini.

Ketika undang-undang KPK hendak diamandemen, kata Prof Didik, isu ini berhasil, rakyat dan mahasiswa gagal mempertahankan KPK dalam wujud yang asli.

Prof Didik juga menyinggung fenomena pencapresan presiden di Indonesia, sudah mulai terjadi secara terselubung dengan pemasangan baliho-baliho tokoh dan rencana sistematis di media sosial.

“Sudah ada tokoh-tokoh yang popularitasnya tinggi sehingga upaya bersaing dalam pencapresan ini memang harus melihat peluang keberhasilan dari survei popularitas politik.”

Menurut Rektor Universitas Paramadina ini dari banyak lembaga survei beberapa saja yang kredibel dan sisanya melakukan akrobat. “Lembaga survei yang independen biasanya akan menghasilkan tradisi akademik yang baik. “

Kubu Ganjar-Mahfud Tidak Terima Gugatannya ke MK Disebut Salah Sasaran oleh KPU

Ia juga menyatakan bahwa hasil survei harus memperhatikan waktu karena setelah 8 bulan hasil survei bisa dinyatakan tidak valid.

“Berbeda dengan dulu Jokowi dan Prabowo yang sejak awal di 2013 telah mempunyai tingkat popularitas yang konsisten tinggi, bahkan Prabowo sebelum Jokowi muncul punya popularitas yang sangat tinggi.”

Yusril Sebut Gugatan 03 Buat Adegium 'Vox Populi Vox Dei' Kehilangan Makna

Yang masih perlu diperhatikan dan diedukasi terhadap peta like and dislike figur politik hendaknya tidak seperti pilpres 2019 yang menjadikan masyarakat terbelah.

“Figur yang populer mendekati waktu pilpres sebenarnya akan terlihat sehingga yang tidak perlu ngotot untuk menang dan para pesaing tidak boleh melakukan kampanye negatif sehingga pilpres menjadi ajang permusuhan anak bangsa,” katanya.

Kubu Prabowo-Gibran Sebut Pemilu Ulang Tak Ada di UU

Selain Prof Didik, tampil juga berbicara Djayadi Hanan Ph.D yang juga dosen senior Ilmu Politik di Universitas Paramadina, serta Direktur LP3ES, Fajar Nursahid dengan pendapatnya terkait Pilpres.

Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Djayadi Hanan Ph.D bahwa dalam dua setengah tahun menjelang 2024 ada 3 lapis pengelompokan para calon presiden mendatang dari berbagai survei.

“Terdapat figur papan atas publik seperti Prabowo, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo yang berbeda tipis dalam popularitas, ” kata Djayadi.

Sedang Fajar Nursahid, Direktur LP3ES, mengungkapkan bahwa variabel downgrade lawan politik harus menjadi perhatian serius oleh para politikus.

“Hal itu nampak betul karena ada juga capres-capres yang sangat popular tetapi favorability-nya rendah sekali. Itu misalnya terjadi pada figure Anies Baswedan walaupun masih di 3 besar papan atas terpopuler,” kata Fajar Nursahid (Nur Terbit, Jurnalis Freelance).

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.