Digitalisasi Layanan di Lapas

- vstory
VIVA – Penjara dulu dikenal sebagai tempat pengasingan narapidana yang tidak mudah diakses publik. Membuat orang semakin merasa seram dan penasaran. Orang menyebut sebagai neraka dunia, tempat menebus dosa selagi masih di alam dunia.
Isinya orang-orang yang sedang tersangkut masalah hukum. Tembok yang tinggi menunjukkan keangkerannya. Yang sering terdengar hanyalah kabar kekerasan dan penyiksaan dari dalamnya baik oleh petugas maupun sesama napi.
Tekanan pegiat hak asasi manusia dari dalam dan luar negeri terkait disuarakan dengan gencar terkait penyiksaan dan penghidupan di penjara. Mereka mengharapkan penerapan The United Nations Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (SMRs) untuk menghapus penyiksaan dan pelanggaran hak asasi manusia. Penjara sebagai lembaga negara mutlak harus menerapkannya jika tidak mau dicemooh dan tidak dipercaya publik.
Memasuki Era Reformasi di mana keterbukaan dan transparansi menjadi kebutuhan, penjara pun mengikuti tuntutan tersebut. Era penjara yang tertutup semakin dikubur dan dieliminasi dari Indonesia. Penjara bertransformasi mengikuti perubahan budaya baru dengan format pemasyarakatan (pembinaan) daripada penjeraan (balas dendam), yang terbuka bagi publik.
Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan diikuti Era Reformasi tahun 1998 menjadi katalisator mutasi penjara yang berorientasi penjeraan dan tertutup menjadi pemasyarakatan yang berorientasi pembinaan dan terbuka. Undang-Undang tersebut mengamanatkan perlindungan hak asasi narapidana dan larangan penyiksaan (kekerasan fisik) selaras dengan SMRs.
Registrasi Berbasis Digital
Sejak itu kita mulai sering menyaksikan liputan-liputan media massa dari dalam Lapas. Berbagai hal ditampilkan mulai dari sidak Lapas, kegiatan seni, olah raga, pembinaan kepribadian, pembinaan keterampilan dan siaran langsung pengajian dari masjid dalam Lapas.