Ketika Uang Menjadi Sumber Perpecahan Sekaligus Persatuan

- vstory
Buku Agama Saya adalah Uang yang ditulis oleh Nurudin mendedah berbagai permasalahan di negeri ini, terutama yang berhubungan dengan uang dan kekuasaan. Dua hal yang selalu berdampingan. Di mana ada uang di situ ada kekuasaan. Begitu pun sebaliknya.
Dalam pengantar buku ini penulis menjelaskan, uang bisa menjadi segalanya. Hubungan eksekutif dan legislatif, misalnya, bisa disatukan dengan uang. Kegarangan oposisi juga bisa diatasi dengan uang. Uang akan menjadi pemersatu perbedaan di masyarakat. Sebut saja, bahwa dalam soal uang setiap orang punya agama yang sama.
Lewat buku ini, penulis tidak bermaksud mereduksi makna agama di tengah masyarakat. Juga, tidak menyamakan agama dengan uang. Agama adalah media untuk mendekatkan diri pada tujuan hidup. Jika tujuan hidup ini mengabdi pada Tuhan, maka agama dijadikan media untuk meraihnya (hlm. Viii).
Nurudin menyoroti banyak hal secara kritis dalam buku ini. Terutama yang berhubungan dengan permasalahan di masyarakat. Sebagaimana diketahui, pemilihan pemimpin sering kali membuat masyarakat berpecah belah. Masyarakat terbentuk menjadi kubu-kubu yang mengakibatkan gesekan, perpecahan, dan konflik yang tak kunjung selesai.
Jika kita rutin memeriksa laman media sosial, akan dijumpai banyak warganet yang “berperang komentar” menyikapi permasalahan yang muncul. Tak hanya perselisihan di dunia maya, masalah pun dibawa ke dunia nyata. Akibatnya, persaudaraan menjadi renggang. Dua orang yang sebelumnya akrab bersahabat harus bermusuhan karena perbedaan pilihan pemimpin.
Hal ini disinggung Nurudin dalam tulisannya berjudul Dipertemukan FB, Dipererat WA, Lalu Dipisah Pilpres. Bahwa perbedaan politik, dalam hal ini Pemilihan Presiden, selama ini menjadi salah satu sumber perpecahan yang terjadi di tengah masyarakat.
Tak hanya masyarakat awam yang tersulut emosi akibat postingan-postingan di media sosial. Guru, dosen, kiai, dan lainnya, ikut terseret dalam arus permusuhan oleh perbedaan politik. Padahal, kata Nurudin, harusnya para pemikir kalangan akademik berusaha meredakan suasana. Bukan malah ikut-ikutan terbakar, hanya gara-gara perbedaan kubu dukungan (hlm. 110).