Budaya Patriarki dan Keterwakilan Perempuan dalam Politik

Usai Pelantikan, Anggota DPR, DPD & MPR RI Berswafoto di Gedung Kura-kura.
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA – Di dalam sistem demokrasi, yang memegang prinsip kebebasan, siapa saja bisa berpeluang menjadi pemimpin dan berada di dalam lingkungan parlemen atau menjadi eksekutif.

Kowani Kaji Uji Materi Aturan Pembagian Harta Bersama yang Merugikan Perempuan

Jika dia memiliki suara, maka seseorang tidak melihat apakah dia laki-laki atau perempuan, jika sudah dipilih rakyat dan terpilih maka dapat menjadi pemimpin atau anggota parlemen. Namun terkadang perempuan enggan untuk maju dalam kontestasi politik yang ada di Indonesia.

Ketika perempuan sedikit berada dalam legislatif, maka keterwakilan dan pemikiran dari perspektif perempuan justru akan hilang dan tidak terwakilkan.

Kemen-PPPA: Perempuan Lebih Rentan Terdampak Perubahan Iklim karena Peran Tradisional Gender

Ketika laki-laki mendominasi di dalam legislatif, maka akan timbul sebuah sistem sosial yang disebut patriarki.

Di dalam buku Ade Irma Sakina, Dessy Hasanah Siti A. (2017). "Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia" disebutkan bahwa Patriarki berasal dari kata patriarkat yang berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya.

Menteri PPPA: Pemkab Wajo Contoh Keberhasilan Tekan Angka Perkawinan Anak

Di dalam buku Bressler, Charles E. Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice 4th-ed juga disebutkan bahwasannya patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti.

Sistem patriarki dalam dunia politik bisa saja terbentuk karena dalam sistem demokrasi rakyatlah yang menjadi penentu yang mengutamakan demokrasi dalam setiap mengambil keputusan.

Di dalam menjalakan sebuah sistem pemerintahan di suatu negara demokrasi, maka harus mewakilkan keterlibatan perempuan dan menyerap aspirasi dari seluruh aspek masyarakat karena pada dasarnya aspirasi yang disampaikan merupakan sebuah kebutuhan yang diharapkan rakyat kepada pemerintah demi kebaikan dan kemajuan bersama bangsa dan negara.

Dan dalam mengambil sebuah keputusan negara harus memperhatikan dari berbagai aspek masyarakat dan tidak boleh memihak.

Di dalam sistem demokrasi Indonesia, suara rakyat diwakilkan oleh anggota legislatif atau anggota DPR. Jika di dalam anggota legislatif keterlibatan perempuan masih kurang, maka bagaimana bisa suara dari kaum perempuan bisa terwakilkan.

Jika terjadi hal itu maka sistem patriarki akan terbentuk. Budaya patriarki ini harus dihilangkan dalam kehidupan masyarakat terutama dalam dunia politik, karena pada dasarnya semua orang berhak untuk mendapatkan kesempatan dan jabatan dalam kontestasi politik tanpa adanya legitimasi bahwasannya yang berhak untuk hal tersebut adalah kaum laki-laki.

Keterlibatan perempuan dalam bidang politik harus diperjuangkan agar nantinya mampu mengimplementasikan kemampuan yang dimiliki dalam bidang politik, dengan tujuan agar nantinya terbentuk keseteraan gender dalam demokrasi. Di mana demokrasi menggunakan kesetaraan gender atau gender democracy.

Di Indonesia telah lama mengesahkan Undang-Undang terkait dengan Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan dalam UU No. 68 Tahun 1958, UU tersebut di dalam mengatur terkait perwujudan kesamaan kedudukan atau non diskriminasi jaminan persamaan hak memilih dan dipilih jaminan partisipasi dalam perumusan kebijakan, kesempatan menempati posisi jabatan birokrasi, dan jaminan partisipasi dalam organisasi sosial politik.

Landasan yang kuat juga ada dalam UUD 1945 yaitu pasal 28 H Ayat (2) yang menyatakan “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

Ketentuan dalam UU maupun dalam UUD tersebut menjadi sebuah landasan yang kuat bagi semua kalangan dan golongan baik laki-laki maupun perempuan bebas dari segala diskriminasi dan memiliki kesempatan yang sama baik dari segi aspek sosial, aspek kehidupan, maupun aspek politik.

Jika dilihat dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD menyatakan: Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.”

Dan juga di dalam UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30 persen.

Pasal 6 ayat (5) UU tersebut menyatakan bahwa :Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen (tiga puluh perseratus)”.

Namun pada faktanya, jika dilihat data di Komisi Pemilihan Umum, berdasarkan hasil pemilu tahun 2019, keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Nasional atau DPR RI berada pada angka 20,8 persen atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI. Artinya amanat dari UU tersebut belum juga terpenuhi,

Keterwakilan perempuan di DPR harus diiringi dengan sebuah pengawalan dan perjuangan yang berporos pada gender yang bisa berkelanjutan sama proses politik.

Kurangnya kepercayaan dalam diri perempuan untuk bisa maju dan berpartisipasi dalam dunia politik, karena masih dipengaruhi oleh  norma  budaya dan masih melekatnya sistem budaya patriarki dalam kehidupan masyarakat.

Meskipun negara telah memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negaranya melalui amanat Undang-Undang, namun kaum perempuan merasa adanya sebuah diskriminasi secara tidak langsung yang mempengaruhinya dan masih kurang dipercayai untuk bisa ikut ambil dalam kontestasi politik, sehingga hal itu menyebabkan keterlibatan perempuan dalam politik masih rendah dan sebagian besar dalam dunia politik itu sendiri selalu di duduki oleh kaum laki-laki.

Kaum perempuan diharapkan bisa dipercaya dan diberi kesempatan untuk bisa duduk di legislatif sehingga nantinya bisa tercipta sebuah sistem yang seimbang. Perempuan yang memiliki sifat yang lemah lembut harus diberi kesempatan yang sama dalam politik dan diberi kesempatan untuk bisa menjabat dan menduduki posisi strategis di dalam bidang politik.

Hal ini agar nantinya bisa mengeksploitasi dan mengimplementasikan kemampuan dan karakter dari perempuan itu sendiri sehingga nantinya melalui kepemimpinan perempuan bisa mensejahterahkan masyarakat melalui caranya. (Moh. Risqi Fadjar Romadhani,  Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.