Satu Data Penduduk Miskin

penduduk miskin, (ilustrasi oleh pexels.com)
Sumber :
  • vstory

VIVA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan kemiskinan ekstrem turun menjadi 0 persen pada tahun 2024. Oleh karena itu banyak sekali bergulir program penanggulangan kemiskinan untuk mencapai target tersebut. Tantangan dari banyak program itu adalah konvergensi dan integrasi, menuju satu tujuan yang sama.

Respons Keraguan Pentolan Projo, Gibran Optimis Peluang Jokowi-Megawati Bertemu

Hal tersebut tercermin dalam keseharian kami di lapangan sebagai sebagai pegawai Badan Pusat Statistik (BPS). Yang dikeluhkan rata-rata sama, yakni soal bantuan sosial (bansos). Biasanya mereka curhat bahwa data penerima bantuan sering kali salah sasaran. Banyak yang miskin, tapi tak dapat bansos sementara yang kaya malah dapat. Orang meninggal masih dicatatkan sebagai penerima bantuan, ada pula yang tercatat menerima bantuan di dua tempat yang berbeda dan kasus-kasus lainnya.

Curhatan mereka senada dengan survei dari Indonesia Political Opinion pada April 2021 yang menyatakan 51,3 persen responden menyatakan bansos tidak tepat sasaran. Sementara survei Universitas Airlangga pada Juli 2020 menyatakan hanya 32 persen responden menyatakan bansos tepat sasaran.

Setelah Jokowi, Menlu China Wang Yi Temui Prabowo Subianto

Sebagai catatan, Kabupaten Kepulauan Tanimbar tempat kami bertugas memang tergolong kabupaten dengan persentase penduduk miskin yang tinggi. Dengan penduduk miskin mencapai 27,11 persen (2020) dari total penduduk.

Persentase itu jauh di atas Provinsi Maluku 17,44 persen (2020) dan nasional 9,78 persen (2020). Tingginya persentase tersebut menjadikan kabupaten ini sebagai salah satu Kabupaten Wilayah Prioritas Pengentasan Kemiskinan Tahun 2021 oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).

Terima Menlu China di Istana, Jokowi Bahas IKN hingga Kereta Cepat Sambung Surabaya

Silsilah Data Penduduk Miskin

Bicara soal data, mari kita runut silsilahnya sehingga didapatkan data penduduk miskin yang dijadikan dasar pembagian bansos. Diawali dengan kegiatan Pendataan Sosial Ekonomi (PSE) tahun 2005 dilaksanakan oleh BPS yang disebut-sebut sebagai sensus kemiskinan pertama di Indonesia.

Data terpadu dari PSE 2005 digunakan untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan PKH di 7 provinsi pilot project. Data tersebut kemudian dimutakhirkan setiap tiga tahun sekali dengan nama Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS). PPLS yang dilaksanakan pada tahun 2008 dan 2011 juga oleh BPS.

Hasil PPLS 2011 oleh BPS disampaikan kepada TNP2K dan dijadikan Basis Data Terpadu untuk program bantuan sosial selama 2012-2014. Pada tahun 2015, data PPLS 2011 dimutakhirkan oleh BPS lewat kegiatan Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) yang melibatkan Forum Konsultasi Publik sehingga datanya lebih akurat. Hasil PBDT diserahkan kepada Kemensos untuk dikelola sesuai amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011.

Pada tahun 2019 terjadi perubahan nomenklatur data terpadu menjadi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) lewat Permensos nomor 5 Tahun 2019 tentang pengelolaan data terpadu kesejahteraan sosial. Sedangkan verifikasi dan validasi DTKS menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan landasan UU No. 13 Tahun 2011, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan Permensos No. 28 Tahun 2017.

Menjadi wajar jika masyarakat bingung, sebenarnya siapa yang mendata penduduk miskin by name by address. Kan memang BPS yang mendata pada tahun 2005, 2008, 2011 lalu 2015. Hasil pendatan tahun 2011 diberikan ke TNP2K dan hasil tahun 2015 diserahkan ke Kemensos untuk dikelola.

Tapi yang bertanggung jawab memutakhirkan pasca tahun 2017 sampai sekarang adalah pemerintah daerah. Ibarat bola, data ini sudah bergulir melewati beberapa instansi dengan bola panas sekarang ada di pemerintah daerah.

Apalagi sampai awal tahun 2021 Kemensos punya 4 sumber data jumlah masyarakat miskin; DTKS, PKH, Bantuan Pangan Non Tunai (BNPT), dan Bantuan Sosial Tunai (BST). Belum lagi data dari Pusat Pelayanan Keluarga Sejahtera (PPKS), Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan data yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Data ganda dan ketidaksingkronan data susah terelakkan, seperti temuan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Satu Data

Untuk mengatasi banyaknya versi data, Presiden Joko Widodo telah mengesahkan Perpres No. 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia (SDI). SDI bertujuan untuk menghasilkan data pemerintah yang akurat, mutakhir, terpadu, dapat dipertanggungjawabkan, serta mudah diakses dan dibagi-pakaikan antar instansi pusat dan instansi daerah. Sehingga ketidaksingkronan data ke depannya dapat dihilangkan.

Salah satu upaya pemenuhan amanat SDI dalam keselarasan data penduduk miskin diwujudkan dalam penggabungan semua data. Mulai dari DTKS, BNPT, BST, PKH, PPKS, dan data daerah serta sumber data lainnya dilebur menjadi satu data oleh Kemensos pada Mei-Juni 2021. Total awalnya 193 juta jiwa setelah dilakukan penggabungan nama, Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan alamat muncul hasil akhir jumlah 139 juta jiwa penduduk miskin dalam sistem DTKS yang baru.

Inovasi lainnya adalah Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT). SLRT adalah sistem layanan yang membantu mengidentifikasi kebutuhan masyarakat miskin dan rentan miskin kemudian menghubungkan mereka dengan program perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan yang diselenggarakan pemerintah.

SLRT hadir di level kabupaten/kota sementara versi mininya Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos) hadir di level desa/kelurahan. Puskesos-SLRT sebagai layanan rujukan satu pintu yang juga terintegrasi dengan sistem kependudukan nasional kita (NIK dan Kartu Keluarga).

Inovasi tersebut menjadi pepesan kosong apabila tidak mengatasi masalah dari akarnya yakni kebutuhan akan data penduduk miskin yang sifatnya bottom-up. Data yang berasal dari masyarakat desa. Kemudian baru kemudian dilakukan verifikasi dan pemutakhiran data pada level yang lebih tinggi.

Yang menjadi masalah apabila proses pemutakhiran yang sudah tidak dilakukan sekian lama, akhirnya datanya yang pada awal dikumpulkan valid dan akurat menjadi kadaluarsa. Jika sudah sangat parah maka diperlukan pengumpulan data ulang pada level desa untuk mengidentifikasi masyarakat miskin secara akurat.

Proses untuk memutakhirkan data ini yang harus terus-menerus diperkuat supaya menghindarinya data yang tidak layak pakai. Semoga keberadaan Puskesos dan SLRT dapat menambal kelemahan pada pemutakhiran data ini.

Kemudian satu data dalam semua aspek pemerintahan utamanya dalam data penduduk miskin dapat diterapkan sampai ke dinas terkait di kabupaten/kota. Dengan harapan masyarakat dapat menikmati program perlindungan sosial dengan optimal. 
(Izzuddin Ar Rifqiy, SST, Statistisi Ahli BPS Kabupaten Kepulauan Tanimbar)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.