Disabilitas: Diskriminasi dan Prestasi

Seorang penyandang disabilitas pun mampu berkarya. (foto/unsplash.com)
Sumber :
  • vstory

VIVADiskriminasi yang diterima oleh penyandang disabilitas sudah sangat masif kita temui di masyarakat. Bukan hanya di dalam negeri, namun di seluruh belahan dunia.

Arus Mudik di Aceh Diprediksi Meningkat 9 Persen pada 2024

Seolah mereka merupakan ciptaan gagal dan dianggap sebagai masyarakat kelas dua. Keberadaannya tidak diperhitungkan di masyarakat dan keluarga.

Dalam kehidupan keluarga, memiliki anggota keluarga disabilitas merupakan suatu aib bagi keluarga tersebut. Diibaratkan keluarga yang memiliki anak penyandang disabilitas, maka keluarga tersebut dilaknat Tuhan.

Alasan Sedan Listrik BMW i5 Belum Memiliki Harga

Sering kita melihat, orang tua yang memiliki anak tidak sempurna akan menyembunyikan atau kasus dalam kasus ekstrem mereka dengan tega membuang bahkan membuang anaknya tersebut.

Miris memang bila hal itu, namun bila itu terjadi pada keluarga kita sendiri, mungkinkah kita juga akan melakukan hal yang sama?

Ekonomi Tumbuh 5,6% di 2024, Pemprov DKI Yakin Bisa Atasi Inflasi

Menurut UUD No. 8 Tahun 2016, penyandang disabilitas ini didefinisikan sebagai setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Dari pengertian ini, penyandang disabilitas merupakan orang yang memiliki keterbatasan di salah satu atau seluruh aspek kehidupan. Keterbatasan inilah yang melahirkan suatu stigma dan stereotype produk gagal tersebut.

Stigma dan stereotype negatif akhirnya menelurkan diskriminasi bagi penyandang disabilitas. Diskriminasi yang dialami oleh penyandang disabilitas tak berhenti di keluarga. Diskriminasi berlanjut di masyarakat. Diskriminasi ini terjadi dalam berbagai lini kehidupan, mulai dari pendidikan hingga lapangan pekerjaan.

Kenyataan pahit ini  harus dihadapi penyandang disabilitas, manusia yang memiliki keterbatasan internal justru keterbatasannya makin ditambah dari eksternal.

Dari segi pendidikan, kemendikbud mencatat pada tahun ajaran 2020-2021, jumlah Sekolah Luar Biasa (SLB) di Indonesia sebanyak 2.262, jumlah ini pun didominasi oleh SLB swasta sedangkan SLB negeri hanya sebesar 26,3 persen dari total SLB. Lokasi SLB pun 56,72 persen berada di Pulau Jawa.

Data ini memperlihatkan pemerintah belum serius menyediakan insitusi pendidikan yang khusus diperuntukkan bagi penyandang disabilitas. Keterbatasan fasilitas pendidikan ini berpengaruh pada keinginan penyandang disabilitas untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Bahkan menurut Kementrian Kesehatan dalam Laporan Nasional Riskesdas 2018 menjelaskan hanya 2 dari 10 penyandang disabilitas yang mampu menamatkan pendidikan hingga perguruan tinggi.

Keterbatasan akses pendidikan tentu berpengaruh pada kesempatan penyandang disabilitas dalam bursa tenaga kerja. Mereka telah mendapat perlakuan diskriminasi bahkan pada tahap rekrutmen.

Pemerintah memang telah melakukan beberapa kebijakan untuk menggerus sikap diskrimasi bagi disabilitas. Sebagai contoh, dibukanya lowongan bagi penyandang disabilitas dalam pertarungan CPNS 2021. Sebanyak 2 persen kursi formasi umum dapat diisi oleh penyandang disabilitas. Ini merupakan langkah maju yang ditempuh pemerintah yang seharusnya kita dukung.

Selain perubahan struktural yang dapat ditempuh pemerintah, perubahan kultural sejatinya merupakan suatu langkah penting yang harus dilakukan setiap individu. Keluarga dalam hal ini orang tua yang memiliki anak penyandang disabilitas seyogyanya diberikan suatu pemahaman bahwa setiap manusia adalah sempurna pada kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Tinggal bagaimana orang tua mencari dan memolesnya.

Kita juga sebagai masyarakat umum haruslah menerima dan memberi dukungan bagi keluarga dan pemerintah. Hentikan cibiran dan cemoohan bagi mereka penyandang disabilitas.

Karena mereka bukanlah produk gagal. Sikap saling menerima inilah yang akan mengubah diskriminasi menjadi prestasi. Hal ini terjadi pada Leani Ratri Oktila yang menjadi Ratu Badminton pada Paralimpiade Tokyo 2020. Perjuangannya membuktikan bahwa penyandang disabilitas pun mampu menjadi juara.

Melalui Hari Disabilitas Internasional yang jatuh tiap tanggal 3 Desember, menjadi momentum peringat bagi kita untuk menghancurkan segala bentuk diskriminasi bagi penyandang disabilitas. Mereka juga manusia dan bagian dari masyarakat kita. Merekapun mampu berprestasi. (Dita Christina, PNS di Badan Pusat Statistik)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.