Halal atau Haram? Jual Beli Secara Online Menurut Pandangan Fikih

sumber: islampos.com
Sumber :
  • vstory

VIVA – Seiring perkembangan zaman, transaksi jual beli tidak hanya dilakukan secara offline, namun juga dapat dilakukan secara online. Bahkan minat masyarakat dalam berbelanja online semakin tinggi.

Hebat, Sosok Mazhab Fiqih Ini Bisa Khatam Al-Quran Hingga 60 Kali Selama Ramadhan

Mengapa demikian? Hal tersebut dipicu oleh perkembangan teknologi, selain itu transaksi jual beli online dapat lebih menguntungkan karena dapat dilakukan di mana saja, praktis dan efisien, terdapat banyak promo/diskon, dan sistem pembayarannya lebih mudah. 

E-Commerce yang mendukung untuk berbelanja online pun beragam, seperti: Shopee, Tokopedia, Bukalapak, Lazada, Blibli, dan lain-lain.

AICIS 2024 dan Berbagai Inisiatif untuk Membangun Perdamaian

Dalam istilah fikih, jual beli disebut dengan ba’i yang secara bahasa adalah tukar menukar. Secara terminologi, jual beli adalah suatu transaksi saling menukar sesuatu dengan sesuatu dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan sesuai yang telah disepakatinya.

Dapat disimpulkan bahwa jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling merelakan atau memindahkan hak milik sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ (hukum Islam) dan disepakati kedua belah pihak. Islam melarang adanya konsep riba dan mempertegas keabsahan jual beli secara umum. Lalu, bagaimana hukum jual beli online menurut pandangan fikih?

Kepemimpinan Profetik, Transisi Kepemimpinan Nasional 2024

Allah SWT berfirman yang artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. Al-Baqarah/2: 275)

Jual beli telah diridai Allah SWT dan Rasulullah telah mengisyaratkan bahwa jual beli itu halal semasa suka sama suka, jual beli berbeda dengan riba. Riba dalam bahasa Arab berarti kelebihan atau tambahan.

Riba ini merupakan hasil dari adanya syarat tambahan dalam kegiatan jual beli yang menimbulkan utang piutang (kredit) dan waktu pelunasannya tidak menentu.

Riba ada dua macam: 1) Riba Nasiah, yaitu pembayaran lebih yang disyaratkan oleh si peminjam; 2) Riba Fadhl, yaitu penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya, seperti penukaran antara emas dengan emas, beras dengan beras, dan sebagainya.

Agar transaksi jual beli online yang dilakukan itu halal, maka perlu diketahui apakah jual beli online tersebut telah memenuhi rukun akad sesuai aturan fikih. Seperti yang kita ketahui ada empat rukun akad, yaitu:

1. Adanya Pihak-pihak yang Berakad

Pihak-pihak yang dimaksud adalah adanya penjual dan pembeli. Pelaku jual beli online disyaratkan harus mukallaf (aqil baligh, berakal, sehat, dewasa/bukan mumayyid dan mengerti hukum). 

2. Adanya Ijab dan kabul

Proses ijab dan kabul dalam Islam dikatakan sah apabila tidak ada unsur keterpaksaan antara dua belah pihak. Dalam transaksi jual beli online, proses ijab dan kabul ini dilakukan dengan tulisan berisi prosedur atau syarat pada saat penjualan dan membaca prosedur atau syarat pada saat pembelian.

Penjual memberikan prosedur berupa spesifikasi barang yang dijual. Jika pembeli menyetujui prosedur pembelian, maka proses ijab kabul tersebut telah dilaksanakan karena telah memenuhi kesepakatan antara pihak penjual dan pembeli.

Setelah itu, pembeli wajib membayar sesuai dengan harga barang, ditambah biaya pengiriman (jika ada). Terakhir, penjual harus segera mengemas dan mengirimkan barang yang sesuai dengan spesifikasi yang telah dipilih pembeli.

3. Adanya Objek Akad

Para ahli hukum Islam sepakat bahwa objek perjanjian harus memenuhi empat syarat (Manan; 2006), yaitu: a) Objek harus ada secara konkret atau diperkirakan ada pada masa yang akan datang; b) Dibenarkan syara’; c) Objek harus dapat diserahkan ketika terjadi perjanjian, namun tidak harus saat itu juga melainkan dapat diserahkan pada saat yang telah ditentukan , dan; d) Objek harus jelas dan dapat ditentukan (mu’ayyan) dan diketahui oleh kedua belah pihak yang membuat perjanjian.

Dalam jual beli online, pembeli dapat melihat barang dari layar monitor, namun tidak dapat diterima langsung karena harus menunggu dikirim oleh penjual. Lama pengiriman tergantung lokasi dan jasa kirim yang digunakan. Pembeli juga tidak dapat memastikan kondisi barang yang dibeli, apakah sesuai atau tidak. 

4. Tujuan Akad itu Dilakukan

Akad harus sejalan dengan syara’ (hukum Islam), jika bertentangan dengan syara’ maka akad tersebut tidak sah. Hal yang bertentangan dengan syara’ misalnya penjual tidak mengirimkan barang yang telah dibeli atau barang tersebut dikirimkan namun tidak sesuai dengan spesifikasi atau cacat. Demikian dengan pembeli, pembeli tidak membayar transaksi yang telah disepakati atau tidak melunasi sisa pembayarannya.

Menurut pandangan madzhab Asy-Syafi’i, jual beli dalam Islam itu hukumnya diperbolehkan secara Ijma. Allah SWT berfirman yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S An-Nisa/3:29)

Dalam transaksi jual beli online, ada pihak ketiga yaitu kurir pengiriman atau service delivery yang menjadi perwakilan penjual untuk menyerahkan barangnya kepada pembeli. Dalam madzhab Asy-Syafi'i, jual beli dapat diwakilkan kepada orang lain untuk berjualan atau membeli suatu barang.

Oleh karena itu, transaksi melalui kurir pengiriman secara hukum boleh dilakukan. Dengan catatan, bahwa kurir pengiriman tersebut memiliki surat tugas atau surat kuasa dalam melakukan penjualannya. Karena jual beli fudhuli (menjual harta milik orang lain tanpa surat kuasa atau perwakilan) hukumnya adalah batal.

Seorang wakil tidak boleh melakukan transaksi jual beli kecuali dengan tiga syarat: a) Ia menjual barang yang diamanatkan dengan harga yang berlaku berdasarkan perhitungan uang yang beredar di daerahnya; b) Ia tidak menjual untuk dirinya sendiri; c) Ia tidak boleh mengatasnamakan orang yang mewakilkan kecuali dengan izin.

Perlu diingat, jual beli online yang tidak sesuai dengan syariat Islam maka hukumnya adalah haram. Penyebabnya antara lain saat penjual tidak mengirimkan barang yang telah dibeli atau ketika barangnya sampai di tangan pembeli ternyata barang tersebut tidak sesuai kesepakatan (cacat).

Demikian juga pembeli, pada saat membeli ternyata ia tidak membayar sejumlah uang dari barang tersebut atau pembeli ini tidak melunasi pembayaran yang telah disepakati. Selain itu, keharaman jual beli online dapat disebabkan dari barang yang dilarang diperjual-belikan dalam Islam, seperti narkoba, minuman keras (khamr), bangkai, berhala, dan sebagainya.

Jadi, hukum bertransaksi jual beli secara online itu akan halal dan tetap dianggap sah selama mengikuti syara’ (hukum Islam) dan tidak ada perbuatan menyimpang baik dari penjual ataupun pembeli (bebas dari unsur ribawi, gharar, dan maisyir).

Oleh sebab itu, perlu kita pahami dahulu mengenai transaksi jual beli online agar pada saat melakukannya kita terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan dan juga terhindar dari dosa. Semoga bermanfaat!

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.