Minimnya Minat ‘Gen Z’ pada Organisasi Kemahasiswaan

Ilustrasi Gen Z. Gambar : Istimewa
Sumber :
  • vstory

VIVA - Perkembangan dunia informasi dan teknologi ikut serta mempengaruhi paradigma bagi setiap generasi di era disrupsi seperti saat ini. Tak terkecuali bagi para Mahasiswa di Perguruan Tinggi dalam menentukan pilihan dimana ia akan berkecimpung dan aktif pada sebuah organisasi.

Bripda RM Ditangkap Polisi Ternyata Gara-gara Lakukan Ini

Mahasiswa yang lahir dalam rentan waktu 1997 hingga 2012 dapat disebut sebagai generasi Z (Gen Z). Generasi penerus setelah generasi Milenial atau Gen Y yang lahir pada tahun 1981 hingga 1996. Kedua generasi ini memiliki perbedaan yang sangat signifikan dalam menentukan gaya hidup (life style) dan pola berpikir (mindset) serta dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari yang dipengaruhi oleh perkembangan zaman, seperti adanya teknologi dan internet.

Gen Y atau kini disebut sebagai kaum milenial pada tahun 80-an awal hingga pertengahan tahun 90, konsumsi hiburannya hanya diwarnai dengan siaran televisi, itu pun masih dalam perkembangan yang hanya menampilkan warna hitam putih.

Tiga Mahasiswa ITB Wakili Indonesia di Ajang Brandstrom di Inggris

Sedangkan, Gen Z sejak usia 10 tahunan sudah dimanjakan dengan perkembangan teknologi yang sangat mutakhir, seperti mudahnya akses internet, dimanjakan dengan gawai (smartphone) seri terbaru dalam menjalankan komunikasi pada aktivitasnya sehari-hari. Alih-alih dapat dipergunakan dengan baik demi menunjang pendidikan bagi Gen Z yang rata-rata kini berusia 9 sampai 24 tahuan tersebut.

Pola kehidupan inilah yang akhirnya merubah cara pandang atau perspektif baru bagi setiap Mahasiswa yang kini disebut sebagai Gen Z, atau bahkan berdampak juga pada Gen Y tingkat akhir di tiap Perguruan Tinggi Tanah Air. Jauh sebelum masa reformasi 1998, heroik Mahasiwa era itu mampu menghantarkan jalan reformasi dengan cara membangun kekuatan massal yang lahir dari semangat persatuan setiap lapisan masyarakat untuk mencapai tujuan penurunan kekuasaan (people power).

Hadapi Tantangan Melalui Inovasi

Gelomang besar yang kala itu menjadi motor penggerak, salah satunya ialah aktivis mahasiswa, elemen organisasi, maupun kalangan masyarakat biasa. Mahasiswa Gen Y atau kaum milenial yang saat itu menjadi pimpinan sebuah gerakan biasa memiliki latar belakang sebagai organisatoris, setidaknya bagian dari kepengurusan Senat, BEM, HIMAJU, UKM, Organisasi Ekstra Kampus seperti Kelompok Cipayung (HMI, PMII, GMNI, GMKI, PMKRI) dan Organisasi LSM lainnya.

Organisasi Mahasiswa (Ormawa) di atas mewarnai hiruk-pikuk kehidupan kampus, yang sejak Mahasiswa baru menerima masa orientasi Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) atau dahulu biasa disebut Ospek, sudah ditawarkan untuk bergabung di dalamnya. Ketua atau Pimpinan dari tiap-tiap organisasi biasanya adalah tokoh popular, aktif dalam kegiatan tak jarang juga cerdas dalam akademis.

Kembali kepada sistem informasi dan teknologi, yang hari ini dapat dimiliki setiap orang tak terkecuali bagi calon mahasiswa baru, memudahkan bagi mereka untuk dapat mempelajari, mengetahui serta menentukan pilihan akankah ikut serta menjadi bagian dari organiasasi mahasiswa tersebut atau memilih untuk fokus pada akademisnya saja, "Ah yang terpenting tugas dan indeks prestasi komulatif (IPK) aman"

Tidak ikut serta dalam organisasi kemahasiswaan acap kali mendapat stigma dan stempel 'apatis' dari si empu nya organisasi. Hal ini adalah sebuah masalah baru, karena setiap generasi memiliki cara pandang yang berbeda dalam mengambil sikap dan pilihan. Indonesia sebagai Negara demokrasi, wajib kita menghargai pilihan setiap orang tanpa harus menyematkan label tertentu kepada orang yang sependapat dengan kita. Bagi kalangan aktivis mahasiswa, mahasiswa yang enggan ber-organisasi dicap sebagi "mahasiswa kupu-kupu" atau mahasiswa kuliah pulang-kuliah pulang.

Dianggap tidak peduli dengan kondisi dan situasi bangsa Indonesia hari ini. Maraknya persoalan di Negeri "Gemah Ripah Loh Jinawi" mulai dari Korupsi, Penggusuran Lahan, Peretasan, Penipuan, Pencabulan, Pembunuhan, Proyek Fiktif dan tindakan lain yang dapat merugikan Negara acap kali menjadi alasan bagi para aktivis mahasiswa menggalang persatuan untuk dapat ikut melangsungkan aksi demonstrasi sebagai jalan terakhir atas nama perubahan.

Bagi yang ikut serta dianggap kritis dan empati terhadap situasi bangsa, menyebut diri sebagai Agent of Change, Social Control, Iron Stock, Moral Force dan Guardian of Value maupun istilah-istilah lainnya. Sedangkan, bagi yang tidak mau bergabung dalam gerakan bersama ini stampel 'apatis dan kupu-kupu' kerap dilontarkan, padahal hal ini belum tentu benar. Cara pandang bagi setiap mahasiswa memiliki perbedaan, atas nama demokrasi tidak harus ikut serta dalam gerakan bernama demonstrasi.

Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum yang memang dilindungi Undang-undang, namun menyampaikan pendapat tidak harus selalu dengan cara unjuk rasa atau demonstrasi sebagaimana para pendahulu yang berhasil menumbangkan kekuasaan yang otoriter.

Kritik yang membangun dapat disampakain di mana saja dan kapan saja tanpa harus dengan menggalang kekuatan massal unjuk rasa. Gen Z, tentu juga memiliki Sanse of Sensitivity terhadap negaranya. Tak melulu dengan aksi demo. Bagi mereka tak ada bedanya antara berunjuk rasa di jalanan dengan membuat tulisan bernada kritikan kepada para penguasa, dengan sama-sama bertujuan mengkritik untuk sebuah perubahan.

Hal inilah yang mempengaruhi cara pandang Gen Z di era modern enggan bergabung dalam Organisasi Kemahasiswaan. Mereka sudah tidak mempan dikelabuhi teriakan orator dengan idiom-idiom nasionalis era Tan Malaka, narasi Puisi Wiji Tukul, hingga pekikan takbir ala Ulama. Gen Z bukanlah robot berotak kosong yang dapat dibujuk oleh si aktivis untuk bergabung organisasi tempatnya bernaung, mereka sudah tahu kerasnya pola orientasi atau masa pengenalan organisasi tersebut marak diwarnai dengan aksi per-ploncoan, aksi tipu-tipu atau modus dari para 'senior' demi sebuah pengakuan dan mendapatkan hati dari kelinci baru bernama mahasiswa lawan jenisnya.

Organisasi besar, apapun itu harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Tidak harus kaku, tidak harus memaksa dengan orientasi yang tidak menyenangkan, tak ada pendidikan yang baik dilakukan dengan cara yang tidak baik. Aksi penyitaan alat telepon genggam, waktu istirahat yang hanya beberapa jam serta acap kali telatnya memberi konsumsi bagi para calon anggota organisasi adalah tindakan yang sia-sia dilakukan bagi Gen Z.

Mereka terbiasa ketika bangun tidur sudah menggunakan Gadget, mereka terbiasa istirahat yang cukup dan terbiasa hidup normal layaknya kaum urban. Hal ini akan mempengaruhi mood dan daya cerna bagi mereka dalam menerima berbagai materi orientasi (pendidikan) sebuah organisasi. Selanjutnya akan berpengaruh dalam keaktifan dan keikutsertaan bagi mereka yang dinyatakan lulus sebagai anggota organisasi tersebut di kemudian hari.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.