Sketsa Ramadhan: Israel, Hentikan Politik Apartheid Kalian!

- vstory
AI merujuk pada terminologi hukum internasional yang sama dengan yang dipakai HRW dengan memeriksa kondisi di lapangan tentang pemisahan dan segregasi warga Palestina dan warga Israel melalui penerapan hukum, tembok apartheid, dan pos pemeriksaan ( checkpoints). “Saatnya bagi kami sebagai lembaga hak asasi manusia terbesar di dunia untuk menyampaikan analisis,” ujar Philip Luther, Penasihat Riset Senior AI. “Hasil temuan dan kritisisme kami bukan ditujukan untuk orang-orang Yahudi melainkan kepada Negara Israel. Sebab Negara Israel yang merancang kebijakan, menerapkan hukum dan aturan-aturan yang menindas rakyat Palestina.”
Mantan PM Israel Benjamin Netanyahu pernah menulis di akun Instagramnya. “Israel bukanlah sebuah negara bagi seluruh warganya tetapi merupakan nation-state dari bangsa Yahudi dan hanya untuk mereka.” Status yang ditulis pada 2019 ini menggemakan hasrat serupa yang pernah disuarakan perdana menteri pertama David Ben-Gurion di awal berdiri negara Israel pada 1948. Sebab itu tak mengherankan jika semua kebijakan yang dibuat hanya untuk kepentingan privilese bangsa Yahudi Israel.
Lantas bagaimana dengan bangsa Palestina? Bukankah mereka hidup di wilayah yang sama? Ya, orang-orang Palestina memang ada di sana, bahkan jauh sebelum negara Israel dibentuk. Tetapi mereka sudah berdekade-dekade terperangkap dalam sistem rancangan Israel yang menempatkan mereka sebagai kelompok ras non-Yahudi yang lebih rendah. Bangsa kelas dua dan paria.
Mari cek fakta lebih rinci. Sebelum 1948, bangsa Palestina merupakan mayoritas populasi (70%) dan memiliki 90% lahan di wilayah yang dulu bernama British mandate Palestine. Sementara jumlah populasi bangsa Yahudi 30% seiring datangnya para diaspora Yahudi Eropa. Total pemilikan lahan mereka 6,5 persen di kawasan itu.
Pada saat negara Israel berdiri, mereka hancurkan ratusan desa dan pemukiman Palestina yang menewaskan ribuan orang dan membuat 800.000 jiwa terlunta-lunta sebagai pengungsi. Sekarang jumlah mereka membengkak jadi 6 juta jiwa dan tak diberi izin pulang oleh Israel. Setelah Perang 1967, Israel menduduki kawasan Palestina di Tepi Barat, Yerusalem Timur dan Gaza.
Strategi Israel mengatur pemukiman bangsa Palestina merupakan bagian taktik “Pemisahan dan Perampasan ( Fragmentation and Dispossesion)” yang menjadi pilar utama politik apartheid dengan tujuan utama kelanggengan dominasi dan kontrol kekuasaan. Pilar lainnya yang dimainkan Israel terhadap warga Palestina adalah:
- Ketidaksetaraan struktur dan status kebangsaan dengan warga Israel.
- Pembatasan gerak/mobilitas super ketat
- Aturan militer yang tegas mengikat
- Penolakan hak atas partisipasi politik dan hak untuk protes damai
- Pemisahan kejam terhadap anggota keluarga Palestina.
Faktor-faktor tersebut berkelindan membentuk cengkeraman apartheid Israel atas Palestina yang disaksikan dunia sekarang. “Inilah sistem yang menjadi akar masalah dari bermacam pelanggaran, penderitaan, dan kesulitan hidup jutaan warga Palestina yang mereka hadapi setiap hari,” ujar Philip Luther.
Satu cara efektif yang dilakukan Pemerintah Israel dalam menjalankan segregasi dan opresi adalah melalui sistem kartu penduduk ( ID system). Orang Yahudi cukup punya satu kartu yang bisa menjamin mereka bisa tinggal di wilayah mana pun yang mereka mau, untuk mendapatkan fasilitas kesehatan dan aneka layanan premium lain yang berlimpah. Sementara warga Palestina punya 4 (empat) jenis tergantung wilayah tempat tinggal. Jenis kartu akan membedakan hak yang bisa dilakukan, wilayah yang bisa dikunjungi, dan tindakan yang bisa dilakukan.