Tiga Dosa Besar Pendidikan dalam Pidato Pak Menteri di Hardiknas 2022

Sumber : reqnews.com
Sumber :
  • vstory

VIVA – Pidato Menteri Nadiem Makarim dalam Hardiknas 2022 sangat menyentuh di mana ia memaparkan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah selama pandemi Covid 19. Tidak bisa disangkal, semua negara kewalahan menghadapi panyakit global ini.

Dongkrak Industri Kreatif, Sandiaga Uno Dorong Sinergi Pemerintah dan Pelaku Usaha

Pertumbuhan ekonomi yang jalan di tempat, distribusi barang yang tersendat dan tentu saja dunia pendidikan yang mengalami transformasi besar-besaran. Efek learning loss selama pandemi juga menjadi pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan. Masalah-masalah yang terjadi sebelum Covid juga menanti untuk diprioritaskan terutama tata kelola guru yang masih belum merata, infrastruktur sekolah yang masih butuh perbaikan sana sini, dan tentu saja kurikulum yang mengakomodir semua kepentingan.

Dalam pidatonya Pak Menteri, memaparkan bahwa Kurikulum Merdeka belajar telah terbukti memperbaiki learning loss. Kita semua mafhum bahwa klaim itu ditujukan terhadap sekolah-sekolah penggerak yang telah memakai kurikulum setahun yang lalu  yang jumlahnya  2500 sekolah. Adapun sisanya yang 200 ribuan sekolah lainnya belum bisa dibuktikan. Perlu kerja keras semua pihak agar sukses diterapkan. Kurikulum ini akan dipakai dilebih 140 ribuan sekolah. Kita semua tentu saja mendukung semangat bersama untuk bergerak dan memulihkan pendidikan pasca Covid. Untuk memperkokoh kurikulum Merdeka, hendaknya semua guru mengerti dan memahami apa dan bagaimana itu kurikulum Merdeka. Sehingga penerapannya akan optimal di sekolah.

Nikmati Hari Raya Tanpa Khawatir! Ini Tips Jitu Cegah Kolesterol Tinggi

Saya menyoroti tiga dosa besar pendidikan yang diucapkan Pak Menteri di mana dengan program-programnya sehingga tiga dosa besar pendidikan itu bisa  dihilangkan.

Apa tiga dosa besar pendidikan itu? 

Seorang Pria Nekat Terobos Istana Negara di Malam Takbiran, Polisi Bilang Begini

Setalah saya mencari lebih lanjut, tiga dosa besar pendidikan itu adalah: Intoleransi, perundungan dan juga kekerasan seksual.

Saya akan menfokuskan terhadap isu perundungan. Isu ini harus terus diangkat untuk menciptakan pendidikan yang bebas dari perundungan. Efek perundungan tidak main-main, korban tidak hanya tertekan secara mental, bahkan terkadang berakhir dengan bunuh diri.

Di Korea, begitu dashyatnya efek bully (perundungan) terutama terhadap para selebriti, maka banyak dari mereka yang melakukan bunuh diri akibat tidak tahan dengan segala bentuk cercaan.

Di indonesia menurut harian Kompas, 2021, 41 persen siswa mengalami bully, dan menurut hasil tes PISA 2018 siswa Indonesia adalah kelima tertinggi di dunia yang mengalami bully.  Mari bertanya pada diri masing-masing, apakah kita tidak pernah melakukan perundungan atau bully? Ejekan sekecil apapun itu bisa dikategorikan bully. Untuk yang melakukan bully mungkin dianggapnya hanya main-main saja. Namun, bagaimana dengan korban bully? jangan lupa, masing-masing orang punya latar belakang dan pengalaman yang berbeda-beda dalam kehidupannya. Bully tidak hanya dalam bentuk fisik namun juga verbal.

Pendidikan yang tinggi tidak menjamin bahwa seseorang tidak akan melakukan bully terhadap orang lain. Bahkan ketika ada teman kita yang sekadar menanyakan hal remeh temeh dan kemudian kita jawab dengan tidak enak meskipun konteks bercanda maka itu bisa digolongkan bully. Pernahkah kita memikirkan  Bagaimana efek  jawaban kita terhadap kepercayaan dirinya?. Sudah menjadi tradisi orang Indonesia untuk melakukan bully terhadap kondisi seseorang yang dibungkus konteks "bercanda". Budaya-budaya ini juga terseret-seret sampai di tingkat satuan pendidikan.

Banyak anak yang tidak mau masuk sekolah akibat bully. Yang anehnya terkadang juga dilakukan oleh guru.Tentu saja masih hangat dalam ingatan kita, bagaimana seorang guru ikut menghina muridnya yang miskin. Di samping tidak mencerminkan tindakan seorang guru, perbuatan-perbuatan bully di sekolah adalah noda hitam dunia pendidikan. 

Kalau menurut saya materi bully ini harus jadi materi orientasi sebelum masuk di jenjang pendidikan apapupun, untuk menyamakan pemikiran dan persepsi apa dan bagaimana batas-batas bully.

Seharusnya sekolah dan orang berpendidikan adalah area bebas bully. Karena tujuan pendidikan adalah di samping memanusiakan manusia juga sebagai tempat belajar seumur hidup. Belajar sendiri didefenisikan sebagai proses dari tidak tahu menjadi tahu. Dan tidak harus berhenti di situ, seharusnya ditindaklanjuti dengan adanya perubahan prilaku dari barbar menjadi bermoral dan santun. Apa artinya pendidikan kalau sekadar berteori? Saya lebih cenderung terhadap definisi "pendidikan adalah proses memanusiakan manusia". Menjadi manusia dengan segala atribut kemuliaanya.

Selamat hari pendidikan nasional, kalau sekiranya kita adalah pem-bully, calon pem-bully maka mulai saat ini, sikap itu harus berhenti pada diri kita. Terlebih sebagai pendidik dan orang terdidik kita pasti punya satu gelar, dua gelar bahkan tiga gelar  yang begitu mentereng nangkring di depan nama kita, artinya kita adalah manusia-manusia istimewa yang paham segala teori belajar, mendidik dan menjadi manusia pembaharu. Mari serentak bergerak memulihkan pendidikan indonesia yang lebih baik.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.