Politik Hukum Pemerintah Belanda Indonesia

Ilustrasi gambar : Hukum
Sumber :
  • vstory

VIVA – Suatu politik hukum yang tegas dari Pemerintah Belanda boleh dikatakan baru nampak sejak tahun 1848. Dalam tahun tersebut Pemerintah Belanda itu mulai mengadakan kondifikasi di Indonesia, yaitu meng undangkan Burgerlijk Wetboek dan Weboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) buat orang-orang Eropa yang ada di sini, yang pada hakekatnya berupa suatu penjiplakan belaka dari Burgerlijk Wetboek dan Wet boek van Koophandel yang sepuluh tahun yang lalu (tahun 1838) diundangkan di Negeri Belanda.

Lukisan Wajah Dari Ribuan Botol Plastik

Perdagangan hasil bumi oleh orang-orang Belanda kebanyakan dilakukan dengan perantaraan tengkulak-tengkulak orang Tionghoa.

Untuk memudahkan pembuatan kontrak-kontrak dengan mereka dan untuk menjamin "kepastian hukum" bagi perdagangan orang orang Belanda itu ditempuhnya politik menundukkan orang-orang Tionghoa itu kepada Hukum Eropa.

Kantor LPS Bakal Hadir di Medan, Diresmikan 3 Mei 2024

Maka dari itu kita melihat, bahwa dalam tahun 1855 sebagian dari Burgerlijk Wetboek tadi, yaitu bagian memuat hukum kekayaan (Hukum Benda dan Hukum Perjanjian), begitu pula Wetboek van Koophandel, dinyatakan berlaku untuk orang Tionghoa.

Orang-orang Indonesia, menurut politik hukum tersebut, dibiarkan hidup di bawah hukumnya sendiri, yaitu Hukum Adat asli. Sebenarnya Pemerintah Belanda di waktu itu tidak mengetahui setepatnya tentang bagaimanakah Hukum Adat orang Indonesia itu.

MAKI Kirim Surat ke Nurul Ghufron, Minta Bantuan Mutasi ASN di Papua ke Jawa

Pemerintah Belanda juga belum mempunyai kepentingan-kepentingan yang bersangkutan dengan hukumnya orang Indonesia. Barulah ketika kontak dengan "orang-orang pribumi" ("Inlanders") mulai meningkat, ketika perusahaan-perusahaan perkebunan teh, kopi, karet dan gula mulai melancarkan kegiatannya di bumi Indonesia untuk menghasilkan barang-barang dagangan untuk pasaran dunia, barulah timbul persoalan bagi Pemerintah Belanda tentang bagaimana sebaiknya, untuk melayani kepentingan-kepentingan perusahaan-perusahaan Belanda itu, politik mereka terhadap hukumnya orang pribumi itu. Menyusullah tidak lama sesudah itu kepentingan Gereja untuk menyebarkan agama Kristen di Indonesia.

Maka timbullah waktu itu pikiran, untuk kepentingan "kepastian hukum" (artinya kepastian bagi pihaknya orang-orang Belanda), untuk menciptakan hukum tertulis bagi orang pribumi itu.

Dalam rencana untuk menciptakan hukum tertulis bagi orang Indonesia ini ada dua aliran, Yang satu hendak menundukkan orang Indonesia kepada Hukum Eropa, seperti yang sudah dilakukannya terhadap golongan Tionghoa dalam tahun 1855 itu.

Yang lainnya hendak mengadakan sebuah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersendiri untuk orang Indonesia, dengan mencontoh wetboek Belanda Politik hukum Pemerintah Belanda di Indonesia, yang disebutkan di atas dapat kita ketemukan dalam pasal 131 Indische Sttatsregeling, yang dalam pokoknya mengenai hukum di Indonesia itu menetapkan sebagai berikut:

1. Hukum perdata dan dagang, begitu pula hukum pidana beserta hukum acara perdata dan pidana harus "dikodifisir," yaitu diletakkan dalam kitab-kitab undang-undang.

2. Untuk golongan bangsa Eropa untuk itu harus dianut (dicontoh) peraturan-perundangan yang berlaku di Negeri Belanda (asas kon kordansi).

3. Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur asing (dimaksudkan: Tionghoa, Arab, India, dan sebagainya) jika ternyata bahwa kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya dapatlah peraturaun-peraturan untuk bangsa Eropah dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan, dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama; untuk selainnya harus diindahkan aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka, dari aturan-aturan mana boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka.

4. Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan di bawah satu peraturan bersama dengan orang Eropa, diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk orang Eropa, penundukan mana boleh dilakukan baik seluruhnya maupun hanya mengenai sesuatu perbuatan tertentu,

5. Sebelum hukum untuk orang Indonesia itu ditulis di dalam undang undang, maka bagi mereka akan tetap berlaku "hukum yang sekarang berlaku bagi mereka." Dengan "hukum yang sekarang berlaku bagi mereka" ini jelaslah yang dimaksudkan ialah Hukum Adat asli orang Indonesia.

Sebagaimana sudah diterangkan di atas, Pemerintah Belanda sudah merencanakan untuk memberikan kepada orang Indonesia suatu burgerlijk wetboek, sedang mengenai itu ada dua konsepsi, yaitu menundukkan orang Indonesia kepada kitab undang-undang hukum perdata yang sudah ada (yaitu yang berlaku untuk orang Belanda) atau memberikan suatu kitab undang-undang yang tersendiri dan baru sama sekali.

Konsepsi yang terakhir ini sudah hampir-hampir diwujudkan ketika dalam tahun 1920 Departemen Justisi telah menyiapkan sebuah ontwerp Burgerlijk Wetboek voor Inlanders, tetapi untung sekali, berkat perjuangan yang gigih dari Prof. Mr. C. van Vollenhoven (terkenal sebagai "bapak hukum adat") maksud tersebut dapat digagalkan.

Boleh dikatakan bahwa sejak itu terjadilah suatu perputaran haluan dalam politik hukum Pemerintah Belanda terhadap hukumnya orang Indonesia ("Een keerpunt in de adatrecht-politiek." Prof. B. ter Haar dalam majalah "Koloniale Studien," tahun 1928, bagian 1, halaman 245 dan selanjutnya).

Kalau sebelum itu yang menentukan politik hukum Pemerintah Belanda ialah jawabnya atas pertanyaan: "Wat verwachten wij Euro peanen van het adatrecht voor onze regeringsoogmerken en onze economische oogmerken?" maka sejak itu yang menjadi pedoman ialah "bagaimana hukum adat itu berkembangnya sendiri menurut sejarah." (Prof. Mr. C. van Vollenhoven "Het Adatrecht van N.I." jilid 11 halaman 815).

Dalam pada itu berdasarkan pedoman-pedoman yang diberikan dalam pasal 131 Indische Staatsregeling seperti yang disebutkan di atas, di zaman Hindia-Belanda itu sudah ada beberapa peraturan undang undang Eropa yang telah "dinyatakan berlaku" untuk bangsa Indonesia, seperti pasal 1601-1603 Burgerlijk Wetboek, yaitu perihal perjanjian kerja atau perburuhan (Staatsblad 1879 No. 256) dan beberapa bagian dari Wetboek van Koophandel, misalnya sebagian besar dari hukum laut (Staatsblad 1933 No. 49).

Selanjutnya ada beberapa peraturan yang secara khusus dibuat untuk bangsa Indonesia asli, sepertinya: Ordonansi Perkawinan Orang Indonesia Kristen (Staatsblad 1933 No. 74), Ordonansi tentang Maskapai Andil Indonesia atau I.M.A. (Staatsblad 1939 No. 569), Ordonansi tentang Perkumpulan orang Indonesia (Staatsblad 1939 No. 570).

Akhirnya sudah diadakan pula peraturan-peraturan yang berlaku untuk semua golongan warganegara, seperti Undang-Undang Hak Pengarang (Auteurswet tahun 1912), Peraturan Umum tentang Koperasi (Staatsblad 1933 No. 108), Ordonansi Woeker (Staatsblad 1938 No. 523), dan Ordonansi tentang Pengangkutan di Udara (Staatsblad 1938 No. 98).

Perihal kemungkinan bagi orang Indonesia untuk menundukkan diri kepada Hukum Perdata Eropa telah diatur lebih lanjut dalam Staatsblad 1917 No. 12.

Riwayat peraturan-perundangan dalam lapangan hukum perdata untuk "golongan Timur Asing" adalah sebagai berikut: Mula-mula dengan peraturan termuat dalam Staatsblad 1855 No. 79 hukum perdata Eropah (Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel), dengan kekecualian hukum kekeluargaan dan hukum warisan, dinyatakan berlaku untuk semua orang Timur Asing.

Kemudian, yaitu dalam tahun 1917, mulai diadakan pembedaan antara golongan "Timur Asing Tionghoa" dan "Timur Asing bukan Tionghoa," karena untuk golongan Tionghoa dianggapnya bahwa Hukum Eropa yang sudah diperlakukan terhadap mereka itu (lihat di atas), dapat diperluas lagi.

Untuk golongan Tionghoa itu pada tahun tersebut diadakan suatu peraturan yang diletakkan dalam Staatsblad 1917 No. 129 (berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia baru sejak tanggal 1 September 1925), menurut peraturan mana selanjutnya akan berlaku untuk orang Tionghoa: seluruh hukum perdata Eropa dengan kekecualian pasal pasal yang mengenai Burgellijke Stand, upacara-upacara sebelumnya perlangsungan pernikahan, sedangkan bagi orang Tionghoa itu diadakan suatu Burgerlijke Stand tersendiri serta suatu peraturan tersendiri pula mengenai pengangkatan anak (adopsi).

Bagi orang-orang dari golongan Timur Asing lainnya (Arab, India dan sebagainya) kemudian diadakan suatu peraturan sendiri, yails dalam Ordonansi yang termuat dalam Staatsblad tahun 1924 No. 55 (mulai berlaku sejak tanggal 1 Maret 1925), menurut peraturan mana pada pokoknya bagi mereka itu berlaku: Hukum Perdata Eropa dengan kekecualian hukum kekeluargaan dan hukum warisan, sehingga mereka itu untuk bagian-bagian hukum yang terakhir ini tetap tunduk pada hukum asli mereka sendiri. Tetapi bagian dari hukum waris yang mengenai pembuatan surat wasiat (testament) dinyatakan berlaku untuk mereka.

Mengenai Hukum Pidana, di mana tadinya diadakan dua macam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu satu untuk golongan Eropa dan satu untuk golongan "pribumi" dan mereka yang dipersamakan dengan golongan ini, maka sejak tahun 1915 Pemerintah Belanda meniadakan diskriminasi itu dengan menghadiahkan sebuah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk semua golongan penduduk.

Berhubung dengan berlakunya bermacam-macam hukum untuk berbagai golongan penduduk di wilayah Indonesia itu, timbul persoalan persoalan tentang hukum manakah yang berlaku dalam hubungan hubungan "campuran," artinya hubungan-hubungan yang bersangkutan dengan berbagai kelompokan hukum yang sama-sama berlaku di wilayah Indonesia itu. Maka lahirlah apa yang dinamakan "intergentiel recht" yaitu hukum antar-golongan atau juga dinamakan hukum perselisihan.

Hukum antar-golongan ini ada yang terdapat dalam peraturan peraturan tertulis, sepertinya dalam Ordonansi Perkawinan Orang Indonesia Kristen (Staatsblad 1933 No. 74) yang dalam pasal-pasalnya ter akhir memberikan ketentuan-ketentuan mengenai pembedaan atau peralihan agama dalam perkawinan, pasal 1603 X dari Burgerlijk Wetboek yang memberikan peraturan dalam suatu perjanjian perburuhan di antara orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan, dan lain lain, tetapi boleh dikatakan bahwa sebagian terbesar dari peraturan-peraturan intergentiel itu diciptakan dan diperkembangkan oleh juris prudensi, yaitu oleh para Hakim dan Pengadilan yang ditugaskan memutusi perkara-perkara.

Hukum intergentiel ini dianggap begitu pentingnya hingga, pada waktu di Jakarta didirikan Sekolah Hukum Tinggi dalam tahun 1924. ia dijadikan suatu mata pelajaran tersendiri di bawah asuhan seorang guru besar yang ternama, yaitu Prof. Kollewijn.

Di atas telah digambarkan secara singkat tentang politik hukum Pemerintah Belanda dan diberikan gambaran pula bagaimana keadaannya hukum yang berlaku di Hindia-Belanda untuk berbagai "golongan" penduduknya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.