Demokrasi Sekadar Komoditas
- vstory
VIVA - Dark Money and Dirty Politics, by Peter Geoghegan, published by Head of Zeus. Menurut buku ini, selalu alasan pembenaran pentingnya demokrasi adalah agar tidak terulang lagi kekuasaan seperti Hitler, Mussolini, Stalin.
Mereka adalah Icon kegagalan kekuasaan anti demokrasi. Kebetulan AS sebagai pemenang perang dunia kedua. Memaksakan agar demokrasi sebagai jalan menuju era baru dunia yang damai dan menghormati kebebasan. Namun yang jadi masalah setelah sekian dekade. Terbukti Demokrasi memang tidak pernah mundur namun gagal maju.
Mengapa?
Jawabannya, ada tiga.
Pertama. Peran korporat dalam sistem politik sangat dominan menentukan arah bandul. Maklum korporat lewat pajak menanggung anggaran nasional lebih dari 80%. Walau korporat hanya segelintir namun ia menanggung beban sosial dan ekonomi negara. Itu sudah berlangsung sejak tahun 1970. Sulit membantah bahwa oligarki bisnis itu kukunya mencengkeram batang leher elite.
Kedua. Peran uang haram atau uang gelap atau uang rente yang masuk ke dalam sistem politik. Penetrasi uang rente ini luar biasa sehingga membuat demokrasi hanya sebatas prosedur formal saja. Kenyataannya pemerintah bekerja untuk kepentingan rente saja. Yang miris, uang rente itu sulit dilacak pajaknya. Mereka dilindungi oleh elite politik.
Ketiga. Transformasi media massa ke ekosistem informasi yang terstruktur sehingga informasi bisa di-create sesuai kehendak modal dan pasar. Akibatnya kebenaran yang menjadi nilai nilai demokrasi tidak menjadi bagian dari proses pendidikan politik. Makanya jangan kaget bila orang yang tak jelas reputasinya bisa jadi anggota DPR dan kepala daerah. Bahkan jenderal gagal tidak malu untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Dan selalu ada yang pilih.
Tiga hal tesebut di atas, juga ditulis oleh Lawrence Lessig dalam bukunya, Republic, Lost, dan Dark Money. Lessig menjelaskan bagaimana sekelompok miliarder telah membentuk dan memutarbalikkan politik Amerika.
Dan di Inggris, studi penting Martin Moore, Democracy Hacked, menunjukkan bagaimana, hanya dalam satu siklus pemilu, pemerintah otoriter, elit kaya, dan peretas pinggiran menemukan cara untuk mempermainkan pemilu, melewati proses demokrasi, dan mengubah jejaring sosial menjadi medan perang. Demikian tulis Erizeli Bandaro.
Pembahasan
1. Masyarakat menyalahkan democracy for sale, maksudnya hak-hak suara rakyat tidak bisa menang, tetapi kalah oleh duitnya oligarki.
Pertanyaannya, siapa penguasa di republik ini?
Coba perhatikan, event kemarin Kapolda Metro Jaya mengerahkan 2000 pasukan mengamankan demo 411.
Artinya, tentara dan angkatan bersenjata dikuasai oleh pejabat negara.
2. Otoritas aparat penegak hukum (APH) sangat tinggi. Misalnya, pengusaha Surya Darmadi sekali ditahan jaksa, tanggal 25 sudah tidak bisa menggaji karyawan, rekeningnya diblokir.
Ada 10.000 jaksa di Indonesia, ada 500 Kajari kepala jaksa. Artinya APH di Indonesia sudah banyak. Tidak kekurangan.
3. Masalahnya adalah, ada 400.000 tentara, dan ada 400.000 polisi, ditambah 10.000 jaksa, tapi yang namanya oligarki itu siapa?
Coba perhatikan, pengamat, termasuk Connie R, Helmy Yahya, Refly Harun apakah mereka kenal dengan oligarki? Apa ketemu Harry Tanoe, atau Anthony Salim? Kan tidak.
Artinya medan pertempuran oligarki itu gelap, tidak ada yang paham. Akibatnya baik TNI, polisi, jaksa juga keder. Seperti masuk gua gelap, musuhnya ga jelas.
Oleh karena itu jangan berpikir oligarki yang berkuasa di republik. Sekali ditahan jaksa, rekening mereka buyar.