Belajar dari Penyandang Disabilitas di Masa Covid-19
- vstory
VIVA – Pada 3 Desember diperingati sebagai Hari Disabilitas Internasional. Pandemi Covid-19 menimpa semua kalangan, dengan demikian adanya Covid-19 tentu beraspek terhadap perubahan emosi, sosial, dan ekonomi para Penyandang Disabilitas (PD) karena mereka memiliki keterbatasan fisik, mental, dan intelektual.
Menariknya, penelitian mahasiswa Universitas Indonesia tahun 2021 menemukan ketahanan ekonomi PD lebih baik dibanding non-PD/selain Penyandang DIsabilitas (Wahyudi, 2022).
Hal ini terbukti dari peluang bekerja kembali para PD lebih tinggi dibanding non-PD. Bekerja kembali (reemployment) yang dimaksud dalam hal ini yaitu historis PD yang mulanya bekerja sebelum Covid-19, kemudian mengalami pengangguran karena Covid-19, dan akhirnya bekerja kembali di masa Covid-19.
Menjadi Penyandang Disabilitas (PD) bukanlah pilihan. Lebih dari 1 miliar PD – atau 15?ri populasi – di seluruh dunia (WHO, 2021) menghadapi risiko berbeda pandangan norma, stigma, diskriminasi, dan pemenuhan hak hidup dasar (misalnya kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dsb). Tantangan tersebut membuat para PD hidup dalam status ekonomi yang rentan. Terlebih angka disabilitas terus meningkat dan 8% PD tinggal di negara miskin dan berkembang, di mana status ekonomi negara cukup erat kaitannya dengan kemiskinan.
Adanya pandemi Covid-19 telah menyerang segala aspek kehidupan tanpa memandang status sosial ekonomi seseorang. Non-PD (selain Penyandang Disabilitas) sebagai individu yang dianggap memiliki akses lebih mudah untuk mencapai kebutuhan hidup dasar saja mengalami pukulan yang cukup berat.
Dari segi sosial, pembatasan sosial dilakukan secara massal dan bersamaan sehingga beberapa kalangan mengalami isu mental health. Dari segi kesehatan, pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) semakin diketatkan sehingga pengeluaran rumah tangga untuk APD meningkat. Dan dari segi ekonomi, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan penutupan usaha menjadi alternatif terakhir para pengambil kebijakan terkait. Menyasar kondisi ketengakerjaan di Indonesia pada kondisi normal, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) PD lebih rendah dibanding Non-PD sejak 2016-2019.
Jika pada kondisi normal dihadapkan pada tantangan sosial, kesehatan, dan ekonomi, bagaimana pasar tenaga kerja dapat bersikap inklusi ketika PD menghadapi krisis global seperti pandemi Covid-19?
Mengutip dari penelitian Wahyudi (2021), Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 mencatat bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Penyandang Disabilitas (PD) semasa Covid-19 periode Februari 2021 sebanyak 47,70 persen, di mana 89,50 persen di antaranya pernah mengalami bekerja kembali dan 10,50 persen sisanya tetap menganggur.
Persentase ini lebih tinggi dibanding non-PD pada periode sama, di mana non-PD yang bekerja kembali sebanyak 80,70 persen dan 19,30 persen non-PD sisanya tetap menganggur. Kondisi ini menjadi gambaran awal bahwa para penyandang PD lebih dapat menyesuaikan diri dalam tekanan krisis.
Rekaman studi sebelumnya mengemukakan sektor kerja informal adalah sektor kerja yang paling mudah dimasuki oleh penawar kerja, namun sekaligus merupakan sektor kerja yang tidak memiliki perlindungan tenaga kerja. Oleh sebab itu, sektor informal menjadi tujuan para PD untuk mempertahankan roda perekonomiannya di masa Covid-19.
BPS pada Februari 2021 mencatat sebanyak 80,90 persen PD yang mampu bekerja kembali masuk dalam sektor informal dan 75,10 persennya berada di jenis pekerjaan kerah biru (yaitu tenaga usaha tani, kebun, ternak, hutan, perburuan, tenaga produksi alat angkutan, dan pekerja kasar). Baik sektor informal maupun jenis pekerjaan kerah biru memiliki lingkungan dengan risiko pekerjaan cukup tinggi, penghasilan rendah, dan tidak ada jaminan kerja.
Pembelajaran dari Penyandang Disabilitas
Ketahanan para PD dalam menghadapi krisis ekonomi menjadi pembelajaran untuk individu non-PD, di mana keterbatasan yang dimiliki tidak menjadi penghalang untuk aktualisasi diri. Inklusivitas PD dibutuhkan agar mereka dapat beradaptasi, memiliki kemampuan dan keterampilan yang sama, serta kesempatan yang sama di pasar kerja. Inklusivitas ini bisa dimulai dari level pendidikan, meskipun tidak sedikit anggaran yang harus digelontorkan untuk pendidikan khusus disabilitas.
Harapannya, “bekerja yang penting mendapat upah” tidak menjadi alasan mereka masuk ke dalam pasar kerja sebab baik PD maupun non-PD memiliki hak yang sama untuk mendapat pekerjaan dan menjalankan roda perekonomian. Semoga Hari Penyandang Disabilitas Internasional bukan sekadar peringatan rutin tahunan, namun juga mampu membuka sekat diskriminatif.