Pembatasan Bisnis Thrifting dan Industri Mikro Kecil

Pajangan di toko pakaian Thrifting siap jual di Yogya
Sumber :
  • vstory

VIVA – Kementrian Koperasi dan UKM Indonesia beberapa waktu lalu menyampaikan kekhawatiran akan berkembangnya bisnis thrifting atau jual-beli pakaian impor bekas. Sebelumnya, pelarangan impor pakaian bekas pernah ditegaskan Menteri Perdagangan.

Bale by BTN Dirilis, Intip Kelebihannya

Bahkan larangan impor pakaian bekas secara regulasi telah tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permenag) No 18 Tahun 2021, tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Dalam pasal 2 ayat (3) mengenai kriteria barang yang dilarang impor salah satunya adalah berupa kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas. Pemerintah melarang perdagangan pakaian bekas impor atau thrifting karena ditenggarai merusak pasar industri mikro kecil (IMK) serta untuk mencegah penyebaran bakteri atau penyakit yang terdapat di pakaian tersebut.

Pelarangan impor pakaian bekas tentu didasari sebagai salah satu upaya melindungi produk lokal, karena adanya kekhawatiran terjadi perang merek produk lokal dengan produk luar negeri. Meskipun demikian produk bekas atau second product, pakaian bekas merek impor masih memiliki jumlah peminat yang tinggi di Asia Tenggara, khususnya Indonesia.

Kronologi Penemuan Satu keluarga Tewas di Cirendeu Ciputat Timur

Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan data impor pakaian bekas Indonesia mencapai 26,22 ton dengan nilai US$272.146 pada tahun 2022. Jumlah tersebut meningkat signifikan hingga 230,40% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 7,94 ton dengan nilai US$44.136. Informasi di beberapa media juga menunjukkan tahun 2022, Indonesia mengimpor pakaian bekas dari 23 negara dengan volume impor pakaian bekas terbesar dari Jepang sebanyak 12 ton dengan nilai US$24.478.

Larangan yang sudah dikeluarkan sejak 2021 ini masih menjadi dilema di kalangan masyarakat. Masyarakat menyambut jenis pakaian tersebut karena bisa mendapatkan pakaian dengan merk terkenal atau branded dengan harga yang sangat murah. Selain itu, penggunaan pakaian bekas dianggap bisa ikut mengurangi limbah karena masih memanfaatkan dan punya nilai guna. Tak heran, pedagang thrifting masih terus menargetkan pembeli untuk kalangan menengah ke bawah, meskipun ada juga pembeli dengan status ekonomi menengah ke atas.

Terpopuler: Siswi SMP Ditemukan Tewas dalam Karung, Aksi Lurah Cabul Terekam CCTV

Tingginya permintaan pakaian bekas merek impor mendorong beberapa pelaku usaha untuk tetap menjalankan bisnis ini. Meski ada sanksi jelas bagi yang melanggar berupa pemusnahan barang atau pencabutan izin usaha perdagangan. Transaksi jual-beli pakaian bekas impor juga merebak dalam pasar online atau melalui media sosial yang menjadikan aktivitas ini sulit untuk dicegah. Meskipun transkasi tersebut akan meningkatkan arus ekonomi digital, namun membawa konsekuensi dan tantangan yang berat bagi pelaku usaha pakaian lokal. Tidak heran lagi bahwa Indonesia menjadi target pasar yang potensial bagi limpahan pakaian bekas impor.

Tak hanya dijual secara offline saja, pakaian bekas impor juga menjamur dijual di marketplace. Bahkan, para penjual pun seakan tidak segan-segan memamerkan pakaian bekas tersebut di etalase daring miliknya. Oleh sebab itu, pemerintah bersama penyedia platform belanja online (marketplace) perlu bersepakat untuk bekerja sama dalam mengatasi serbuan pakaian bekas impor yang membanjiri Indonesia.

Untuk penegakan hukumnya, para penjual yang ada di berbagai platform marketplace memang sudah berkomitmen untuk menjual barang sesuai dengan hukum yang ada melalui term and conditions (TnC). Jika penjual melanggar komitmen tersebut, maka masing-masing dari platform dapat memiliki mekanisme tersendiri untuk melakukan penalti kepada para penjual yang nakal tersebut. Selain itu, Kementerian Koperasi dan UKM juga perlu meminta kepada sejumlah platform media sosial seperti Tiktok, Instagram, dan Facebook untuk menutup akun konten kreator yang mempromosikan dan/atau seakan mengajak untuk belanja pakaian bekas impor (thrifting).

Meskipun demikian terdapat tantangan dalam melakukan proses takedown, salah satunya perlu dengan sangat cermat dalam mengidentifikasi keyword yang digunakan oleh para penjual. Hal ini jadi tantangan karena belum tentu penjual itu merefleksikan jual produknya adalah barang bekas. Artinya model yang dimiliki tidak terdeteksi. Akan ada banyak variasi yang muncul. Para penjual atau pengguna TikTok sangat kreatif dalam memilih dan menggunakan kata pengganti dari pakaian bekas impor, sehingga hal itu sering menyebabkan pihak marketplace menjadi kebobolan.

Pemerintah tidak perlu bangga dengan merebaknya pedagang pakaian retail online. Hal ini dikarenakan mereka membayar pajak lebih sedikit. Sedangkan pedagang toko pakaian retail harus mengeluarkan sewa toko dan pajak yang nilainya lebih banyak. Pemerintah dapat mengevaluasi kembali kebijakan pelarangan tersebut. Aktivitas jual beli pakaian bekas impor justru bisa menjadi salah satu roda penggerak perekonomian di Tanah Air usai pandemi Covid-19.

Selama ini impor pakaian bekas ini juga masih banyak yang lolos masuk ke Indonesia. Modus undeclared atau misdeclared di mana komoditi pakaian bekas itu diselipkan di antara dominasi barang lainnya yang tentunya menjadi kewaspadaan untuk melakukan penindakan. Juga risiko masuknya barang dari pintas batas yang menjadi titik pengawasan. Adapun beberapa titik yang sering dimasuki oleh pakaian-pakaian bekas impor yakni di wilayah pesisir timur Sumatera, Batam, Kepulauan Riau, Tanjung Priok, Tanjung Perak, Tanjung Emas Belawan, dan Pelabuhan Cikarang. Pakaian-pakaian bekas impor tersebut juga datang dari pelabuhan tidak resmi.

Pakaian memang menjadi simbol penting yang mendeskripsikan pemakainya karena menjadi simbol penampilan yang tentunya didukung dengan citra merek produk yang dipakai. Produk pakaian erat dipersepsikan dengan identitas diri penggunanya. Pakaian bermerek impor diyakini mampu meningkatkan persepsi status sosial pemakainya yang dianggap bernilai mahal dan berkorelasi dengan persepsi kualitas produk yang digunakan.

Pakaian bermerek dianggap sebagai bagian penting untuk diterima di kalangan sosial khususnya generasi milenial. Preferensi generasi milenial terhadap produk impor dipengaruhi oleh lingkungan sosial dengan tujuan dapat beradaptasi atau diterima oleh lingkungan sosial mereka. Maraknya bisnis pakaian bekas impor menjadi tantangan tersendiri bagi pelaku usaha pakaian. Dikhawatirkan fenomena bisnis ini menekan pertumbuhan usaha lokal yang tentu berdampak bagi perekonomian secara menyeluruh. Meskipun telah ditetapkan aturan pelarangan impor pakaian bekas oleh pemerintah, upaya edukasi pada berbagai lapisan konsumen Indonesia juga perlu diintensifkan oleh semua pemangku kepentingan.

Ajakan cinta produk dalam negeri atau produk lokal tetap menjadi bagian penting dalam mengedukasi konsumen. Model edukasi konsumen dapat dimulai dari generasi milenial yang menjadi target pasar bisnis ini. Penggunaan role model menjadi bagian penting dalam proses edukasi konsumen. Dimulai dengan penggunaan produk lokal dalam berbagai upaya promosi dan sehari-hari, tokoh masyarakat, pemimpin, serta pelaku hiburan dan seni dapat menjadi important role model yang tepat dalam mengedukasi cinta produk dalam negeri. Selain edukasi cinta produk lokal atau dalam negeri, tentunya juga perlu diiringi dengan peningkatan kualitas produksi yang mampu bersaing dengan produk luar. (Suparna, Statistisi Madya BPS Provinsi DIY)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.