Menjadi Siswa yang Merdeka

Ilustrasi Perundungan Pada Siswa
Sumber :
  • vstory

VIVA - Akhir-akhir ini berita tentang perundungan atau bullying kembali mencuat. Salah satunya adalah awal Agustus lalu, terjadi penusukan di SMAN 7 Banjarmasin yang diduga pelaku kesal karena sering di-bully oleh korban penusukan tersebut.

Mengembangkan Potensi Guru Melalui Platform Merdeka Mengajar

Tak hanya itu kasus perundungan terjadi di Solok, Sumatera Barat. Di beberapa video yang beredar seorang kakak mendatangi sekolah yang membiarkan adiknya yang diduga menjadi korban bully, dan respons guru di sana seperti mengabaikan protes sang kakak.

Persoalan yang paling parah dari dampak perundungan ini adalah bulan Juli lalu, Siswa salah SMP Negeri di Temanggung, Jawa Tengah membakar sekolahnya karena sudah kesal terus menerus menjadi korban perundungan teman-temannya, bahkan karyanya disobek oleh gurunya dan kepala sekolah menyebut siswa itu sering cari perhatian.

Pendidikan Inklusif: Menakar Pembaharuan Sistem Pendidikan di Indonesia

Dari beberapa kasus bullying di atas, dua kasus memenuhi unsur pidana. Tentu korban perundungan ditetapkan sebagai tersangka akibat dari apa yang mereka perbuat. Namun bagaimana dengan pelaku perundungan? Mereka seakan menjadi korban dan bebas begitu saja.

Kasus Perundungan di Satuan Pendidikan

Merdeka Belajar dan Keterbaikan Masa Depan Bangsa

Memang, persoalan perundungan sejak dulu selalu diabaikan oleh lingkungan, baik di lingkungan sekolah ataupun lingkungan rumah. Bahkan korbannya cenderung disalahkan sehingga semakin menjadi.

Saya membayangkan, dari tiga kasus siswa di atas, masih banyak di sekolah-sekolah terjadi kasus bullying namun tidak muncul ke permukaan. Ini disebabkan melindungi nama baik sekolah dan keluarga sehingga korban harus terus disalahkan.

Ada suatu kisah tentang perundungan, di mana saya ada di sana ketika menunggu adik saya pulang di suatu Sekolah Dasar Negeri. Beberapa anak SD awalnya sedang bermain dan berlari. Saya menganggap mereka sedang menikmati jam istirahat.

Namun, tak lama kemudian saya melihat anak-anak itu berkerumun. Saya mendekat dan ternyata salah satu siswa yang sedang bermain tadi ternyata menangis karena dirundung oleh kawan-kawannya, tidak hanya itu hampir terjadi pertengkaran, tapi keburu saya lerai.

Siswa-siswa itu, saya ajak untuk bertemu guru mereka, tujuan saya agar kasus seperti itu tidak terulang lagi. Akan tetapi, ternyata niat baik saya salah. “Namanya juga anak-anak mas, wajar seperti itu, emosinya belum stabil,”

Geram dan kesal, saya mencoba berdiskusi dengan wali kelas bahkan beberapa guru karena saya sempat memakai nada tinggi. Tapi lagi-lagi, perundungan di sekolah itu yang saya saksikan langsung hanya dianggap emosi belaka anak-anak yang tidak mengerti apa-apa.

Saya khawatir, jika sejak SD saja kasus perundingan dibiarkan, si pelaku akan terus arogan sampai Sekolah Menengah Atas. Merasa si paling kuat sehingga dapat menindas siswa-siswa yang lemah dan mengambil kemerdekaan siswa tersebut.

Saya jadi teringat data yang dipaparkan dari Federasi Serikat Guru Indonesia dari Januari hingga Juli 2023 sudah ada 43 korban bullying. 25% kasus ada di tingkat SD, dan 25% kasus ada di tingkat SMP menjadi kasus terbesar. 41 korban merupakan peserta didik dua lainnya adalah guru.

Kekhawatiran tingginya kasus perundungan di satuan pendidikan harus menjadi perhatian seluruh warga sekolah. Jangan sampai perundungan dijadikan kebiasaan sehingga membuat korban bertindak di luar perkiraan seperti tiga kasus di atas.

Menjadi Siswa yang Merdeka

Atas banyak kasus bullying, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengeluarkan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Menurut saya, hadirnya Permendikbud ini sebagai usaha untuk mewujudkan siswa yang merdeka, tanpa adanya bullying. Karena di dalam regulasi tersebut, perundungan masuk ke dalam bentuk kekerasan bersama enam jenis kekerasan lainnya.

Ada dua sudut pandang terkait Permendikbudristek ini, pertama adalah angin segar bagi korban perundungan agar bisa melaporkan ke satgas yang dibentuk oleh Kemendikbudristek, kedua hadirnya Permendikbudristek ini merupakan bukti bahwa satuan pendidikan di Indonesia belum bisa menyelesaikan kasus pembulian

Namun saya lebih yakin, hadirnya Permendikbud Nomor 46 dapat meminimalisir kasus perundungan yang ada di satuan pendidikan, karena mewajibkan semua stakeholder dari Pemerintah Daerah hingga warga satuan pendidikan berperan aktif dalam pencegahan dan penanganan kekerasan di Satuan Pendidikan.

Minimal, warga satuan pendidikan seperti guru, staf sekolah, orang tua bisa lebih peduli terhadap korban bullying dan tidak melakukan judge kepada korbannya. Karena dalam aturan tersebut bisa berujung pada meja hijau.

Semua pihak perlu peduli dan perhatian kepada korban perundungan karena dampaknya cukup besar bagi psikologis siswa. Salah satunya adalah menurunnya kesejahteraan psikologis dan penyesuaian sosial yang buruk karena malu, sedih, tertekan, kesal dan dendam.

Bagi saya, keluarnya Permendikbudristek merupakan hadiah bagi para korban perundungan di satuan pendidikan. Agar mereka bisa merasakan menjadi siswa yang merdeka tanpa dijajah oleh pelaku perundungan. (Fathin Robbani Sukmana, Pengamat Kebijakan Publik)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.