Menembus Alam Mimpi

Menembus Mimpi
Sumber :
  • vstory
Mengenal Nostradamus, Sosok yang Ramal Kemunculan Hitler, Bom Hiroshima Hingga Bencana 2024

VIVA – Sebuah notifikasi masuk dari aplikasi Facebook dalam smartphoneku. Dari layar yang masih terkunci kulihat ternyata itu pesan dari teman Facebook. Lalu kubiarkan saja, aku hanya mengintipnya sebentar dari widget. Malas rasanya membuka pesan itu setelah tahu siapa pengirimnya.

Tidak perlu aku sebutkan nama pengirim pesan itu karena tidak penting. Satu hal yang pasti umurnya tiga puluh tahunan. Sekadar informasi saja, di antara semua teman Facebookku hanya dia yang memprivasi daftar temannya.

Sastrawan dan Sosiolog Ignas Kleden Meninggal Dunia

Meskipun daftar teman dia privasi untuk dirinya aku pastikan jumlah temannya melimpah. Buktinya setiap kali dia menulis status, yang memberi like dan berkomentar ribuan. Sebagian besar temannya adalah kaum adam.

Wajar kalau teman lelakinya banyak. Hampir semua foto profil perempuan itu memang menggoda selera. Kalau tidak mengenakan baju terbuka mempertontonkan belahan dada biasanya pakaian bawahan juga mencolok mata.

Heri Chandra Santosa Menghidupkan ‘Pesantren’ Sastra di Lereng Medini

Kalau tidak pakai rok di atas lutut bawahannya kadang pakai celana pendek. Bahkan terlalu pendek, sampai kadang aku sulit membedakan yang dia kenakan itu memang celana pendek atau celana dalam.

Semua foto profilnya di akun media sosialnya yang lain seperti Instagram juga begitu. Foto profilnya juga vulgar dan begitu tidak sedap dipandang orang timur, meskipun secara manusiawi menarik juga.

Di awal pertemanan dengan perempuan itu aku merasa nyaman. Pertama dia termasuk fast respon meskipun temannya ribuan. Kedua, dia selalu menanggapi semua obrolanku meskipun kadang tidak nyambung.

Contohnya suatu waktu aku ajak dia ngobrol tentang dana sertifikasi guru yang sering telat datang. Aku katakan padanya, kalau semua ini salah satu bukti kalau pemerintah pusat kurang perhatian pada nasib guru.

"Kalau pemerintah itu care sama kondisi ekonomi guru harusnya sertifikasi guru datangnya tepat waktu" kataku pada perempuan itu dalam sebuah curhatan.

"Sabar ya Mas. Kalau kamu mau aku bisa bantu masalahmu" kata perempuan itu. "Di depan warung kopi tempatku bekerja ada kantor notaris. Aku kenal baik orangnya. Dia sering ngopi di warungku. Kalau kamu mau masalah sertifikasimu akan aku sampaikan padanya. Dia sering cerita ke aku kalau sering ngurusi masalah sertifikat tanah".

Tawaku langsung meledak membaca jawaban perempuan itu. Sudah jelas dia tidak bisa membedakan sertifikat dan sertifikasi guru. Meskipun begitu semua aku maklumi. Dunia guru dan warung kopi memang beda kutup.

Beberapa hari kemudian pada suatu malam perempuan itu inbok aku lagi. Dia mengeluh kalau sedang tidak ada uang. Katanya sejak pandemi corona, warung kopinya sepi.

"Jalan yuk Mas. Nanti kamu yang bayar kamar hotelnya. Jangan lupa juga nanti kasih aku uang jajan". Begitu dia berkata dengan santainya tanpa beban.

Aku tak bisa berkata-kata. Benar-benar tak menyangka aku kalau dia seperti itu. Aku hanya berpikir bahwa internet dan media sosial telah digunakan untuk berbagai kepentingan. Bukan hanya untuk komunikasi tapi juga meningkatkan ekonomi.

"Gimana, Mas? Mau gak jalan sama aku" tanya dia lagi meminta kepastian.

Dengan hati-hati akhirnya aku rangkai kalimat yang sekiranya sopan tidak menyinggung perasaan sebagai jawaban. "Maaf ya ini sudah malam" jawabku padanya. "Saya tidak bisa keluar takut kalau nanti istri saya marah"

Tanpa menunggu jawaban darinya langsung aku log out dari akun facebookku setelah sebelumnya menghapus dia dari daftar temanku. Pikirku dengan begitu dia tidak akan menghubungi aku lagi.

Ternyata aku keliru. Beberapa menit kemudian dia kirimkan sebuah direct message (DM) lewat instagram. Dalam DM itu dia kembali mengajak aku keluar.

"Jalan yuk Mas. Nanti kamu yang bayar kamar hotelnya. Jangan lupa juga nanti kasih aku uang jajan".

Kepalaku berdenyut. Entah bagaiamana caranya agar perempuan itu paham kalau aku tidak berminat padanya.

Dengan sangat terpaksa akhirnya aku ucapkan kalimat ini. "Mohon maaf, saya gak bisa keluar rumah. Tolong jangan menghubungi lagi. Saya sudah ngantuk"

Usai berkata seperti itu akun instagram perempuan itu aku unfollow. Tak lupa juga aku reinstrik agar dia tidak bisa menghubungi lagi. Setelahnya aku matikan smartphone dan tidur.

Dalam tidur aku bermimpi dan dalam mimpi itu aku berada di sebuah kamar yang sepertinya kamar hotel. Di atas tempat tidur di kamar itu kulihat seorang perempuan berbaring dengan senyum menggoda.

Perempuan itu teman facebooku yang akun instagramnya sudah aku restrict itu. "Jangan diam saja, Mas" katanya dengan senyum nakal. "Sini Mas dekat sama aku" katanya lagi.

Aku terdiam dan berusaha memahami semua ini. Kesimpulanku internet dan media sosial begitu dahsyat. Ternyata internet bukan hanya menghapus ruang, waktu dan jarak tapi juga menembus mimpi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.