Terbungkam oleh Ingatan

Tidak ada yang mustahil jika kamu bersungguh-sungguh
Sumber :
  • vstory
Mengenal Nostradamus, Sosok yang Ramal Kemunculan Hitler, Bom Hiroshima Hingga Bencana 2024

VIVA – Fajar telah terbit cahayanya menembus celah-celah dari badan orang orang di sekelilingku. Mata orang orang membulat sempurna saat melihatku dangan tatapan tajam dan raut wajah penuh murka nampak begitu jelas.

"Cepat seret gadis gila itu ke kantor polisi!" seru seorang pria penuh amarah sambil menunjuk-nunjuk diriku.

Sastrawan dan Sosiolog Ignas Kleden Meninggal Dunia

Aku hanya bisa terpaku duduk tak berdaya melihat semua orang mengerubungi diriku  semua kejadian tak dapat aku ingat. Gaun putih yang semulanya bersih mulai ternodai oleh mayat di depanku dan sebilah pisau persis di tanganku.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Ada apa dengan mereka semua?" tanyaku tak henti dalam batinku. Mereka menyeretku entah ke mana badanku yang sudah layu tak dapat mengelak. 

Heri Chandra Santosa Menghidupkan ‘Pesantren’ Sastra di Lereng Medini

"Bruk" badanku didorong cukup keras. Aku tak dapat mengingat semuanya bahkan sekarang aku sudah tak tahu di mana. Jeruji besi mengelilingiku. "Saya tidak bersalah pak tolong lepaskan saya!" suara tangis wanita paruh baya membuatku menoleh ke arahnya.

"Nak kenapa engkau di sini? "tanya wanita paruh baya tadi sambil mengusap air matanya menghampiriku lalu duduk di sampingku . Aku hanya bisa diam karena aku sendiri tak paham apa yang aku alami.

Ingatanku saat ini begitu buruk yang aku dapat ingat hanyalah ibuku mati di hadapanku. Saat begitu mengingatnya hatiku sangat tersayat air mata yang biasanya sejalan dengan hati kini tak bisa keluar.

Wanita paruh baya itu masih menunggu jawabanku dengan masih menatap ke arahku. Aku yang menyadarinya hanya bisa menundukkan kepalaku. Tepukan kecil mendarat pada punggungku tepukan itu berasal dari tangan wanita paruh baya tadi.

"Namamu siapa nak, kalo nama ibu, ibu Surmina" ucap ibu itu. "Radin," jawabku pelan seakan berbisik namun bu Surmina masih dapat mendengarnya.

"Lalu kenapa engkau ..." pertanyaan bu Surmina menggantung. Sepertinya bu Surmina paham akan kondisiku, dia pun tak melanjutkan pertanyaannya. 

Hari telah malam  membuatku terpikirkan kejadian kemarin malam yaitu saat aku tengah duduk dengan tanganku belumuran darah dari ibuku. "krucuk krucuk," bunyi perutku memudarkan lamunanku.

Bu Surmina yang saat itu berada di sampingku terbangun dengan suara perutku. "Apakah engakau lapar? " tanya bu Surmina sambil menghampiri sebuah piring yang malai tadi sore di letak kan di dalam jeruji besi ini.

Setelah membawa piring berisi makanan itu bu Surmina melatakkannya di hadapanku.

"Makanlah jangan sampai sakit!" seru bu Surmina sambil menerbitkan sebuah senyuman. Aku pun memakannya dengan lahap karena memang aku belum makan sejak pagi tadi. 

"Emmm bu apa yang akan terjadi padaku esok hari?" tanyaku yang saat itu memberanikan diri. Sekilas bu Surmina memandangkangku setelah itu bu Sumina bicara.

"Esok hari mungkin engkau akan dibawa ke ruang pengadilan nak kalo tidak esok hari mungkin beberapa hari yang jelas pasti engkau akan dibawa ke ruang pengandilan dengan semua tuduhan," ujarnya dengan nada rendah.

"Memangnya apa yang telah terjadi padamu nak hingga engkau bisa di sini," sambungnya.

Mendengar hal itu aku beban di hatiku mulai bertambah, sesak itulah yang aku rasakan. Aku pun mulai bercerita tentang apa yang aku alami walau ingatanku tidak benar-benar baik.

"Aku mengidap amnesia ringan dan prosopagnosia, yaitu penyakit di mana aku tak dapat mengenali wajah orang saat ini aku juga tak dapat melihat wajah bu Surmina dengan jelas," tambahku saat aku sedang bercerita. Aku melihat bu Surmina nampak mendengarkan ceritaku dengan seksama. 

Beberapa hari telah aku lewati di jeruji besi ini, sementara bu Surmina telah bebas. Hari hariku kuhabiskan dengan termenung memikirkan ingatanku yang hilang tentang semua kejadian yang membuatku tertahan di sini.

"Radinda Flerina putri," seorang wanita memanggil namaku. Aku pun menoleh sambil berseru  iya dengan nada rendah. Wanita berseragam tersebut membuka jeruji besi ini lalu membawaku pergi meninggalkan jeruji ini dengan tanganku diborgol.

Dengan tertunduk aku berjalan melewati tiap ruangan hingga aku sampai pada salah ruangan yang telah ada banyak orong dan ya tentu aku tak mengenali mana keluargaku karena wajah mereka polos di mataku. Aku diarahkan untuk duduk diskusi yang telah disiapkan meraka untukku. 

"Radinda Flerina Putri anda sebagai terdakwah kasus pembunuhan ibu Ratna Puspita dengan ancaman hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup atau 20 tahun," ujar seorang hakim. Cetar seolah petir menyambar diriku pada pagi buta ini. 

"Tidak tuan aku tidak bersalah seseorang telah membunuh ibu, seorang pria tuan", tangisku terisak saat semua ingatanku pulih. 

"Jika memang benar bukan dirimu sebutkan ciri ciri pelakunya bukankah kau melihatnya!" ujar seorang pria di belakangku. 

Ingatanku seolah membungkam mulutku untuk berbicara. Seorang berlari dengan mengangkat tangannya sambil berseru, "ini adalah buktinya," itu adalah suara adikku . Sebuah memori kecil ada di tangannya lalu ia menyerahkanya pada hakim. Aku masih terdiam tak percaya akan semua ini aku menyalahkan diriku atas semua yang terjadi. 

Akhirnya setelah hakim memutuskan bahwa aku tak bersalah setelah melihat video CCTV. Pembunuhan ini telah direncanakan seorang telah menjebakku. Polisi akan menindaklanjuti tentang kasus pembunuhan ini. (Roviatul Azizah)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.