Saat Doa Tidak Terucapkan Sepatah Kata Pun

Hanya ilustrasi (galena.co.id)
Sumber :
  • vstory
<
p>
VIVA
– Setiap lewat ke sebuah rumah sederhana di pelosok Bandung, saya selalu teringat dengan teman (saya sebut Teman saja selanjutnya) yang sekarang tinggal di Jakarta.

Dia ikut andil dalam pembangunan rumah anak yatim yang menampung puluhan anak yatim-piatu itu. Saat itu Teman masih kuliah di tingkat akhir. Tapi sejak masuk kuliah dia sudah tinggal di rumah yatim piatu, menjadi sukarelawan membimbing anak-anak yatim itu.

Sekali waktu tempat tinggal mereka, karena statusnya pinjaman, diambil oleh ahli waris yang meminjamkan. Memang dikasih waktu untuk mengosongkannya. Tapi keadaan keuangan tidak memungkinkan untuk kontrak rumah baru. Lagipula bila mengontrak rumah terus menerus, pengeluaran menjadi terlalu besar.

Kebetulan yayasan yatim piatu itu mempunyai sebidang tanah wakap yang bisa dibangun. Setelah berdiskusi, diputuskan untuk membangun rumah sederhana dengan semua simpanan keuangan. Tentu masih lebih banyak dana yang kurang dibanding yang tersedia. Proposal pun dibuat, diedarkan mencari sumbangan.

Teman itu termasuk yang bekerja keras mencari sumbangan. Setiap hari pergi bakda subuh dan pulang setelah larut malam. Setiap kenalan, donatur sebelumnya, orang-orang yang tahu keberadaan yayasan yatim piatu itu, semuanya didatangi.

“Tapi dananya masih kurang banyak. Sementara waktu terus berjalan. Saya takut anak-anak belum bisa pindah sementara rumah itu harus segera dikosongkan,” kata Teman. “Sementara pembangunan baru pondasi.”

Lama-lama Teman itu mulai dihinggapi lelah dan putus asa. Suatu hari puncak dari kelelahan itu terjadi. Sejak pergi bakda subuh sampai menjelang maghrib Teman itu sudah mendatangi puluhan calon donatur. Tidak seorang pun yang memberi satu rupiah pun.

Tidak satu kata pun yang janji mau membantu. Hari itu dia berpuasa. Tiba-tiba ban motornya pecah. Dia baru ingat tidak satu rupiah pun uang di dompet dan saku celananya. Dia mendorong motor di pinggir jalan yang ramai. Adzan maghrib mulai berkumandang.

Dengan tubuh yang lelah, lapar yang sangat, sedih yang sulit dilukiskan, Teman itu mendorong motor. Dia berdoa sambil menahan airmata. Akhirnya dia sampai di masjid Salman ITB.

Setelah berbuka dengan air wudhu, membersihkan diri, dia pun salat munfarid karena jemaah sudah selesai. Setelah salat itulah, saat ingin berdoa, Teman itu tidak lagi bisa membendung air matanya.

Dia menangis sejadi-jadinya. Air matanya bercucuran ke tangan dan pangkuannya. Do’a panjang yang ingin diucapkannya tidak satu kata pun yang keluar. Ya, karena semuanya tergantikan dengan tangisannya yang hebat. Tangisan yang mengguncangkan seluruh tubuhnya.

Sastrawan dan Sosiolog Ignas Kleden Meninggal Dunia

Setelah tangisannya mereda seseorang menepuk punggungnya dan mengucapkan salam. Bapak itu tersenyum dan bertanya mengapa dia menangis. Setelah diterangkan seperlunya, Bapak itu menanyakan alamat dan berjanji mau ikut menyumbang.

Besoknya Teman itu dikejutkan oleh beberapa truk yang mengirim pasir, semen, kayu, dan keperluan bangunan lainnya. Sampai rumah itu selesai, hampir semua keperluannya dikirim oleh donatur misterius itu.

Heri Chandra Santosa Menghidupkan &lsquo;Pesantren&rsquo; Sastra di Lereng Medini

“Saya masih ingat wajah indah Bapak Donatur itu, tapi sampai sekarang saya tidak pernah melihatnya lagi, tidak pernah tahu siapa sebenarnya beliau,” kata Teman saat bertamu ke rumah saya. 

Nostradamus

Mengenal Nostradamus, Sosok yang Ramal Kemunculan Hitler, Bom Hiroshima Hingga Bencana 2024

Nostradamus, seorang dokter epidemiologi Prancis pada abad ke-16, terkenal sebagai seorang ahli ramalan yang terus memukau dunia bahkan setelah kematiannya. Ini sosoknya

img_title
VIVA.co.id
25 Maret 2024
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.