Jejak Peninggalan Portugis, Belanda hingga Jepang di Pulau Subi

Tokoh Masyarakat Subi Natuna Baharuddin
Sumber :
  • vstory

VIVA - Pulau yang masih berada dalam kawasan kabupaten Natuna Provinsi Kepri ini bernama pulau Subi. Pulau perbatasan Indonesia yang selain menyimpan pesona keindahan alam, juga banyak menyimpan sejarah dari kehidupan masyarakat kuno hingga sekarang yang tinggal di pulau ini.

ASEAN Club Championship: Sejarah, Daftar Juara dan Prestasi Klub Indonesia

Saat berlibur ke sini, dapat dibilang Anda dapat melakukan berbagai jenis kegiatan wisata di pulau ini. Khususnya adalah dalam hal wisata alamnya dan wisata religi-sejarahnya.

Misalnya saja untuk wisata pantai. Ada beberapa pantai yang dapat Anda kunjungi saat di pulau ini. Ada pantai Arung Boyo, ada pantai Air Lingkung, pantai Bidadari dan pantai Duyung.

Deretan 5 Negara yang Tak Pernah Dijajah dalam Sejarah

Kesemuanya itu menawarkan keindahan suasana yang khas pantai dari masing-masing tempat lengkap dengan penakaran penyu bertelur di bibir pantai.

Selain itu juga ada pesona wisata alam Batu Ampar, bukit Lampu dan wisata alam lainnya. Pada pulau ini, juga ada daya tarik lainnya, yaitu keberadaan makam-makam kuno muslim yang ada di tempat ini.

Ternyata Ini Rahasia Jendral Soedirman yang Dapat Lolos dari Sergapan Belanda

Sehingga semakin menarik minat wisatawan lebih-lebih yang menyukai wawasan tentang sejarah.

Penulis pekan lalu berkesempatan berkunjung ke pulau ini, di sini warga Pulau Subi mayoritas mata pencarian sebagai nelayan budidaya ikan.

Karena selain refreshing di wisata-wisata alam yang ada, Anda juga akan menjumpai situs-situs peninggalan sejarah di dalam pulau ini.

Salah satunya adalah keberadaan makam-makam kuno yang ada di pulau Subi ini. Seperti misalnya adalah keberadaan makam Tuan Abdurrahman atau Datuk Dara Putih. Tokoh tersebut oleh masyarakat dikenal sebagai tokoh muslim yang menyebarkan ajaran Islam awal di pulau ini.

Selama di sana kita juga akan melihat peningalan Bandara Jepang. Tidak hanya itu ada sepasang Marim kuno tersimpan rapi di rumah warga konon bekas dari portugis.

Pulau Subi selama ini belum ada yang menceritakan tentang adanya sebuah kerajaan. Namun, terdapat beberapa makam tua berumur ratusan tahun di beberapa titik di Pulau Subi besar maupun pulau Subi kecil, tetapi yang paling banyak dijumpai di pulau Subi kecil.

Salah satunya dipercaya masyarakat setempat adalah makam Siti Balqis, yang kemungkinan salah satu putri bangsawan dari negeri seberang Malaysia atau Brunei.

Makam Siti Balqis ini letaknya di bukit dan diapit oleh dua makam besar, tahun tarikh sementara yang terbaca adalah 1224 H kondisi makam tua ini belum mendapat sentuhan pemerintah setempat sehingga aral sekitar makam masih natural.

Diduga Makam Siti Balqies

Diduga Makam Siti Balqies

Selain kompleks makam tersebut, di pulau ini juga ada monumen atau prasasti yang menjadi penanda bahwa pulau ini termasuk dari beberapa pulau paling luar di Indonesia.

Prasasti tersebut lebih dikenal oleh masyarakat dengan nama Bukit Lampu.

Sebenarnya masih ada beberapa cerita dan informasi sejarah yang dapat langsung Anda dapatkan saat Anda berkunjung ke pulau ini.

Mulai dari tradisi masyarakat hingga hal-hal lain yang berhubungan dengan masyarakat pulau ini.

Para tentara Jepang tunggang-langgang ketika pesawat-pesawat Belanda melepaskan bom dari atas Pulau Subi, 77 tahun silam.

Bom dengan daya ledak tinggi itu pun ikut meluluhlantakkan sebagian besar daratan, termasuk lapangan udara yang dibangun tentara Jepang.

Kejadian itu merupakan bagian dari sejarah yang sering diceritakan masyarakat Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau (Kepri) kepada generasi muda dan para pendatang yang mengunjungi Pulau Subi.

Makam Tua di Pulau Subi Kab Natuna

Makam Tua di Pulau Subi Kab Natuna

Pulau yang terdiri dari Pulau Subi Besar dan Subi Kecil itu menjadi saksi atas kekalahan Jepang dalam perang dunia II.

Di masa pendudukan Jepang di Indonesia, Pulau Subi merupakan salah satu pusat pertahanan udara Jepang di Indonesia, khususnya di bagian utara.

Pulau Subi berada di sebelah tenggara Pulau Bunguran (Ranai) dan sebelah utara Pulau Serasan.

Jarak antara Pulau Subi dengan Ranai sekitar 70 mil dan Pulau Serasan dengan Pulau Subi sekitar 35 mil. Pulau Subi juga berbatasan langsung dengan negara Malaysia bagian Timur.

Pulau Subi dapat di tempuh perjalanan dari pusat kabupaten Natuna sekitar 7 jam menggunakan kapal pompong nelayan.

Sementara menuju Kalimantan sekitar 17 jam. Perjalanan laut menuju Sematan, Malaysia, sekitar 8 jam. Sedangkan perjalanan laut menuju Tanjungpinang, Ibu Kota Provinsi Kepulauan Riau sekitar dua hari.

Di antara Subi Besar dan Subi Kecil, terdapat Selat Nasi yang memanjang lurus dari timur ke barat, selebar 150 meteran. Jika air laut sedang surut, selat ini tak lebih besar dari sungai.

Saat bekas Kewedanan Pulau Tujuh masih berstatus District, Pulau Subi dimasukkan dalam satu wilayah dengan Onderdistrict Serasan yang dikepalai seorang Amir (camat).

Saat ini, Subi ditetapkan menjadi Kecamatan Subi yang menjadi bagian dari Kabupaten Natuna.

Pulau Subi ini menjadi salah satu pulau incaran pemerintah Jepang di Indonesia, karena dianggap strategis, berhadapan langsung dengan Laut China Selatan.

Jika Pulau Subi dijadikan pusat pertahanan udara, maka di Tarempa menjadi pusat kekuatan Jepang untuk korps marinir dan pasukan Jutai.

Lapangan udara Subi merupakan satu-satunya pembangunan peninggalan masa penjajahan Jepang di kawasan tersebut. Meski demikian, Pulau Subi sudah masuk dalam catatan sejarah dunia.

Sekitar 24 tahun dari penyerangan udara pasukan Belanda terhadap tentara Jepang di Pulau Subi, terdapat satu peristiwa yang mengagetkan dunia internasional.

Laoangan luas Di Pulau Subi

Lapangan luas di Pulau Subi

Sebuah kapal asing dengan nama Pathol Salam, pecah di depan Pulau Subi, 13 Desember 1966 sekira pukul 13.00.

Kapal yang belum diketahui pemiliknya itu pecah dihantam gelombang. Setelah 9 jam bertahan di laut, kapal itu akhirnya dapat ditarik mendekat ke Pulau Subi. Catatan peristiwa ini, tersimpan di arsip nasional di Jakarta.

Saat ini, lapangan udara Subi menjadi salah satu aset TNI Angkatan Udara Republik Indonesia.

Berdasar Skep Kepala Staf Angkatan Perang RI tahun 1950 dan peta bidang tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Natuna tanggal 22 April 2013, tanah seluas 241.673 M2 yang terdapat di Kecamatan Subi menjadi tanah negara yaitu Kementerian Pertahanan atau TNI AU. Kawasan tersebut masuk dalam area perawatan Lanud Ranai.

Di Pulau Subi, terdapat bekas lapangan udara, yang dibangun oleh pemerintah Jepang, saat melakukan penjajahan. 

Jepang mendirikan lapangan tersebut tahun 1942, sebagai salah satu pertahanan di Natuna.

“Kini sisa-sisa peninggalan lapangan udara tersebut telah menjadi hutan rimbah dengan menyisakan tiang-tiang besi tua,” ungkap Baharuddin, anggota DPRD Natuna, tentang sejarah Kecamatan Subi, Kabupaten Natuna. 

Kisah ini diperkuat dengan catatan Wan Tarhusin, Bsc, salah seorang tokoh Pemuka Budaya yang ada di Kabupaten Natuna telah ditulis tersebar dimedia online terbitan lokal kepri.

Katanya, pembangunan lapangan udara tersebut dilakukan Jepang dengan mengerahkan mengerahkan tenaga rakyat Pulau Subi sebagai tenaga Rodi, sampai dengan lapangan udara tersebut selesai.

Namun begitu mendengar berita pasukan Belanda sudah berada di Ranai, pasukan Marinir Jepang yang ada di Pulau Subi, secara bertahap mulai keluar. 

Dan gelombang terakhir pasukan Jepang ini, terpergok pasukan udara Belanda yang sekonyong-konyong melintas di atas Pulau Subi, dengan menjatuhkan bom dari udara. 

Bom inilah yang menyebabkan lapangan udara Jepang di Pulau Subi, rusak berat.

Namun, dengan seribu akal tentara, Jepang tetap mencari jalan untuk dapat keluar dari Pulau Subi. 

Mereka kemudian menemui Datuk Kaya Pulau Subi untuk meminta bantuan. Mereka meminta agar rakyat Subi menyerahkan songkok (kopiah) kepada para tentara Jepang yang tersisa untuk digunakan sebagai penyamaran agar terlihat bagaikan orang Melayu Pulau Subi.

Kelihatanya akal ini berhasil. Dari Pulau Subi para tentara Jepang yang tersisa dapat keluar menuju ke tempat yang sangat dirahasiakan.

Mereka keluar pada malam hari dengan menggunakan sampan berciau menuju ke tempat yang sudah diarahkan. 

Dan memang, tidak ada seorangpun tentara Jepang yang tinggal atau tersisa di Pulau Subi.

Menurut Baharuddin, kini lapangan udara Pulau Subi tersebut menyisakan hutan belukar. Letaknya di sebelah Tenggara Pulau Bunguran atau Ranai dan sebelah utara Pulau Serasan. 

Jarak antara Pulau Subi dengan Ranai sekitar 70 Mil dan jaran Pulau Serasan dengan Pulau Subi sekitar 35 mil.

Mariam Kuno

Mariam Kuno

Kapal Pecah

Kisah lain menyebutkan, kapal Pathol Salam itu kandas usai menabrak tanah Busut, sepetak karang yang menonjol di laut Subi. Kisah ini melekat erat pada tokoh Datuk Kaya di Pulau Tujuh yang dijuluki Tokong.

Julukan tersebut diberikan kepada seorang pemimpin pemimpin yang mengendalikan pemerintah di wilayah terkecil, yang diberi hak oleh Sultan Riau sesuai dengan ketentuan Yayasan Adat.

Selain gelar yang diberikan dalam pembagian wilayah Datuk Kaya Pulau Tujuh, ada pula gelar-gelar lain. Di antaranya, untuk wilayah Pulau Siantan diberikan kepada Pangeran Paku Negara dan Orang Kaya Dewa Perkasa, wilayah Pulau Jemaja diberikan kepada Orang Kaya Maha Raja Desa dan Orang Kaya Lela Pahlawan.

Kemudian, untuk wilayah Pulau Bunguran diberikan kepada Orang Kaya Dana Mahkota, dua orang Penghulu dan satu orang Amar Diraja.

Sedangkan wilayah Pulau Subi diberikan kepada Orang Kaya Indra Pahlawan dan Orang Kaya Indra Mahkota.

Gelar dan pembagian wilayah lainnya adalah, wilayah Pulau Serasan kepada Orang Kaya Raja Setia dan Orang Setia Raja. Wilayah Pulau Laut diberikan kepada Orang Kaya Tadbir Raja dan Penghulu Hamba Diraja. lalu, wilayah Pulau Tambelan diberikan kepada Petinggi dan Orang Kaya Maharaja Lela Setia.

Orang-orang besar itulah yang pada zaman dahulu memerintah di wilayah Pulau Tujuh dengan masing-masing wilayah secara turun temurun, sampai pada akhir kekuasaannya.

Keberadaan para pemegang wilayah itu kemudian dipecah pemerintah Hindia Belanda yang ingin ikut mencampuri urusan pemerintahan di Pulau Tujuh, dengan menerapkan devide et impera. (Riky Rinovsky)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.