- Antara/Yudhi Mahatma
VIVAnews - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunggu penjelasan gubernur Bank Indonesia terpilih, Darmin Nasution, soal redenominasi rupiah yang belakangan diwacanakan Bank Indonesia. Penyederhanaan nilai nominal rupiah itu perlu dibahas secara detail bersama DPR, sebab dampaknya akan bersinggungan dengan tugas dan wewenang parlemen.
"Bicarakan dulu dengan DPR, sehingga kami tahu alasan di balik munculnya gagasan redenominasi," kata Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis, 5 Agustus 2010. "Ingat, dampak politik, ekonomi, maupun sosial, semua itu sentrumnya di parlemen."
Pembahasan mendalam soal baik buruk redenominasi itu penting mengingat Indonesia belum memiliki pengalaman. Namun, Priyo memandang ide tersebut sebagai gagasan yang progresif dan maju. "Sebagai pimpinan dewan, saya apreasiasi terobosan ini. Ide ini patut didukung," kata Priyo.
Ia memandang ide Darmin sebagai solusi untuk memperkuat nilai rupiah tanpa mereduksi nilainya, tidak akan berdampak buruk terhadap masyarakat. "Redenominasi di Rusia tidak berimplikasi buruk. Kini nilai Rubel malah meningkat," kata politisi Golkar tersebut.
Secara pribadi, ia mengaku sering ciut dan merasa malu apabila pergi ke luar negeri karena perbedaan kurs rupiah dan mata uang asing yang begitu besar. "Kurs kita begitu parahnya bila dibanding kurs mata uang lain," ujar Priyo.
Tapi, kata Priyo, mewacanakan redenominasi secara sepihak tanpa dukungan parlemen terlalu berisiko. "Jadi, bicarakanlah dengan DPR. Itu jauh lebih bagus," ujarnya.
Redenominasi itu harus dilengkapi perundang-undangan di DPR. Jadi ini keputusan ekonomi dan politik. Apalagi saat ini DPR sedang membahas RUU tentang Rancangan Mata Uang. Dengan demikian, bila redenominasi benar-benar hendak diterapkan, maka BI, pemerintah, dan DPR harus bersinergi dan mengokohkan status hukumnya dalam UU.
Sebelumnya, Deputi Gubernur BI Budi Rochadi juga menyatakan bahwa redenominasi bukan keputusan ekonomi semata, melainkan juga keputusan politik.