Dahlan: Masih Banyak Aset Menggantung di BUMN

Menteri BUMN Dahlan Iskan dan Dirut Pertamina.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Zabur Karuru
VIVAnews
Rowoon Ungkap Alasan Keluar dari SF9 dan Fokus di Akting Sebagai Aktor
- Menteri Badan Usaha Milik Negara, Dahlan Iskan, Kamis 3 Juli 2014, menyatakan bahwa masih banyak aset perusahaan pelat merah yang belum berstatus hukum alias menjadi "aset menggantung". Nilainya pun tidak tanggung-tanggung, mencapai puluhan triliun rupiah.

Profil Dio Novandra, Pacar Megawati Hangestri yang Dikenalkan ke Para Pemain Red Spark

"Sampai hari ini, aset itu belum masuk asetnya BUMN atau masih gantung. Paling tidak aset yang masih menggantung ada sekitar Rp50 triliun," ujar Dahlan di Jakarta.
Harga Gula Meroket, Ini Kata Kadis Perindag ESDM Sumut


Ia mencontohkan aset berupa kapal yang ada di PT Djakarta Lloyd. Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan membeli kapal dan menyerahkan kepada perseroan. Meski belum disahkan secara hukum, kapal itu sebagai aset Djakarta Lloyd, dan telanjur digunakan hingga bertahun-tahun.


"Konkretnya, di masa lalu, 15 atau 20 tahun lalu, dengan dana APBN membeli kapal lewat Kementerian Perhubungan, kemudian kapal itu diberikan kepada Djakarta Lloyd. Itu belum tentu disahkan asetnya Djakarta Lloyd. Tapi, sudah dipakai, sudah menghasilkan, membuat kerugian, sudah dibayar pajaknya," kata Dahlan.


Menurut Dahlan, jelas bukan hal yang mudah untuk memperjelas status aset BUMN. Undang-Undang BUMN mensyaratkan bahwa setiap aset BUMN harus punya nilai.


Padahal, banyak aset yang sudah terlalu lama sehingga nilainya turun. Di satu sisi aset mengalami penyusutan, sehingga nilainya sekarang tentu sudah sangat berbeda dengan yang dulu.


"Ini yang membuat gantung, bahkan beberapa aset sudah tak ada nilainya sama sekali. Kapal di Djakarta Lloyd sudah tidak ada nilainya dan tidak bisa dipakai juga kapalnya," kata Dahlan.


Penyelesaian masalah aset menggantung ini, ia menambahkan, bisa dilakukan dengan Penyertaan Modal Negara (PMN) non uang dan restrukturisasi keuangan.


"Ini lebih pada akuntansi perusahaan sehingga dalam keputusan yang berlaku, hal ini harus di-PMN-kan. Jadi, barang-barang yang dibeli harus jadi PMN," kata Dahlan. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya