- Radio Nederland Wereldomroep
VIVAnews - Pengadilan Den Haag Rabu kemarin menyatakan Belanda bertanggung jawab atas pembantaian di desa Rawagede, sekarang bernama Balongsari. Hakim ketua D.A. Schreuder memaparkan sejumlah dasar hukum mengapa negara - dalam hal ini Pemerintah Kerajaan Belanda - bersalah atas tragedi yang terjadi 64 tahun lalu itu.
Seperti dikutip Radio Netherland Siaran Indonesia (Ranesi), Schreuder secara tegas menyebut tindakan Belanda sebagai ilegal (onrechtmatig). Keputusan ini memandang Belanda bersalah karena dianggap membunuhi warga sendiri. Pengadilan mendasari putusannya atas pertimbangan bahwa hukum Belanda dianggap berlaku di Hindia Belanda sampai tahun 1949.
Hakim menolak pleidoi advokat negara Belanda, G.J.H. Houtzagers, yang menyebut kejahatan tersebut sudah kadaluarsa. Hakim memakai asas lex spesialis. Artinya pengadilan Den Haag melihat kasus pembantaian Rawagede sebagai kasus khusus, sehingga preseden kadaluarsa tidak berlaku.
Walau demikian, hakim tidak mengabulkan seluruh gugatan ganti rugi. Pengadilan Den Haag membatasi pemberian kompensasi pada janda, korban langsung atau anaknya. Berarti tidak termasuk cucu korban.
Kasus ini diajukan oleh keturunan korban pembunuhan massal di desa Rawagede, sekarang Balongsari. Tragedi berdarah ini terjadi pada 9 Desember 1947, pada masa perang kemerdekaan Indonesia.
Tentara Belanda yang mencari pejuang kemerdekaan Lukas Kustario memasuki desa Rawagede dan mengeksekusi penduduk laki-laki karena menolak memberi informasi mengenai kapten Kustario.
Sebagian besar penduduk laki-laki desa Rawagede dieksekusi. Menurut saksi mata, para lelaki tersebut dijejerkan dan ditembak mati. Pihak Indonesia menyatakan, 431 laki-laki dibunuh, Sedangkan pemerintah Belanda pada 1969 bersikeras jumlahnya “hanya” 150. Pada 1947 Belanda memutuskan untuk tidak menyeret pelaku eksekusi massa ke pengadilan.