Gubernur Nur Alam Didakwa Rugikan Negara Rp4,3 Triliun

Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

VIVA – Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, telah merugikan keuangan negara senilai Rp4,3 triliun. Selain itu, Nur Alam didakwa memperkaya diri sendiri, orang lain dan korporasi dalam jabatannya sebagai gubernur.

Mardani Maming Baru Setor Rp10 M dari Total Uang Pengganti Rp110,6 Miliar

"Terdakwa memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara," kata jaksa KPK, Afni Carolina, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin 20 November 2017.

Menurut jaksa, Nur Alam melakukan perbuatan melawan hukum dalam memberi Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan dan Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi. Kemudian, ia juga melwan hukum dalam memberi Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi ke PT Anugerah Harisma Barakah.

Perjalanan Kasus Korupsi PT Antam Rp92 Miliar yang Menyeret Eks Dirut

Menurut jaksa, perbuatan melawan hukum tersebut telah memperkaya Nur Alam sebesar Rp2,7 miliar. Kemudian, memperkaya korporasi yakni PT Billy Indonesia sebesar Rp1,5 miliar.

Jaksa menjelaskan, sekitar awal 2009, Nur Alam meminta anak buahnya Ikhsan Rifani untuk mencarikan perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan. Kemudian, Rifani menyampaikan bahwa PT AHB sesuai dengan permintaan Nur Alam.

Korupsi Rp5,8 Triliun, Bupati Kotim Resmi Jadi Tersangka KPK

Sesuai arahan Nur Alam, Rifani kemudian menyerahkan sebundel dokumen terkait PT AHB kepada Widdi Aswindi, yang merupakan konsultan pemenangan Nur Alam saat mencalonkan diri sebagai gubernur.

Setelah itu, Rifani menyerahkan dokumen perusahaan PT AHB kepada Kepala Bidang Pertambangan Umum Dinas ESDM Provinsi Sultra tahun 2008-2013, Burhanuddin.

Berdasarkan dokumen itu, Burhanuddin membuat surat permohonan IUP eksplorasi atas nama PT AHB. Adapun Rifani kemudian membawa surat permohonan itu untuk ditandatangani Direktur Utama PT AHB M Yasin Setiawan Putra.

Menurut jaksa, draf surat permohonan itu mencantumkan tanggal mundur (backdated), yakni tanggal 28 November 2008.

Menurut jaksa, Nur Alam bersama Burhanuddin dan Widdi Aswindi memberikan persetujuan pencadangan wilayah, IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi kepada PT AHB dengan melanggar prosedur.

Nur Alam membuat kegiatan pertambangan PT AHB di Pulau Kabaena yang seolah-olah telah sesuai dengan ketentuan. Padahal, semua proses itu  bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.

Rusak Lingkungan

Menurut jaksa, perbuatan Nur Alam telah mengakibatkan kerugian negara karena musnahnya atau berkurangnya ekologi lingkungan pada lokasi tambang di Pulau Kabena yang dikelola PT AHB.

Sesuai perhitungan, kerugian terkait kerusakan tanah dan lingkungan akibat pertambangan PT AHB di Kabupaten Buton dan Bombana, senilai Rp2,7 triliun. Jumlah tersebut dihitung oleh ahli kerusakan tanah dan lingkungan hidup, Basuki Wasis.

Selain itu, berdasarkan hasil audit penghitungan kerugian negara, ditemukan kerugian sebesar Rp1,5 triliun.

Sementara, keuntungan yang diperoleh Nur Alam didapat dari pemberian Rp1 miliar untuk membayar pelunasan satu unit mobil BMW Z4 tipe 2.3 warna hitam. Kemudian, pembelian sebidang tanah berikut bangunan di Komplek Perumahan Premier Estate Blok I/9 seharga Rp1,7 miliar.

Baik mobil dan rumah itu dibeli Nur Alam menggunakan nama Ridho Insana, yang merupakan pegawai negeri sipil di bawah Sekretaris Daerah Sulawesi Tenggara.

Dalam perkara ini, Nur Alam dijerat menggunakan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya