Faktor Budaya Hambat Pendidikan di Sumba, Benarkah?

Pendidikan Anak
Sumber :
  • Antara/Rosa Panggabean

VIVA.co.id – Setiap daerah di Indonesia, pasti memiliki kebudayaannya sendiri dan berbeda. Tak terkecuali di kawasan Sumba, NTT. Namun, benarkah kebudayaannya yang kental menjadi salah satu faktor penghambat pendidikan?

2 Menteri Atur Percepatan Penanganan COVID-19 untuk Ekonomi Kreatif

Salah satu studi berjudul "Strategi untuk meningkatkan efektivitas pendidikan dasar di Sumba,NTT", menemukan bahwa secara keseluruhan, 16 persen siswa di sekolah studi kasus mengulang. Mirisnya, angka antara siswa laki-laki dan perempuan cukup jauh, yakni 64 persen pada siswa laki-laki dan 36 persen siswa perempuan.

"Akibatnya, siswa laki-laki memang lebih lama berada di sekolah daripada siswa perempuan," ujar Anggota tim studi, Eko Cahyono, di Kemendikbud RI, Jakarta, Rabu 7 Desember 2016.

Sepuluh Tahun Gus Dur Tiada, Pemikirannya Dianggap Masih Hidup

Keterlambatannya dalam lulus sekolah dasar, didasari karena kurangnya kemampuan membaca dan menulis. Tetapi, fakta yang cukup menjadi perhatian besar yaitu adat istiadat yang hadir di kawasan Sumba.

"Ada masa-masanya musim bercocok tanam, di mana anak laki-laki memang gemar melakukan aktivitas itu, karena turun temurun. Akhirnya kan, mereka juga jadi membiarkan sekolahnya dan lebih fokus dengan aktivitas itu," tambahnya.

Putri Gus Dur Sebut Ayahnya Advokat Kebudayaan yang Tersingkirkan

Selain itu, adat istiadat pemakaman di Sumba, memakan waktu cukup lama dan akses yang tidak dekat. Hal itu juga yang menyebabkan terjadinya pengulangan pada beberapa siswa, karena beberapa hari melewatkan masa sekolahnya.

Namun, di samping itu, psikologis dari beberapa siswa juga dianggap belum mumpuni untuk fokus dengan sekolah.

"Banyak siswa yang akhirnya belok menuju ke tempat lain dan bukan ke sekolah, terutama pada anak laki-laki yang masih suka melakukan aktivitas lain," jelasnya.

Diskusi kopi darat

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya