Awas, Tweet Mulai Jadi Bahan Gugatan!

Logo Twitter
Sumber :
  • youngstownfire.com

VIVAnews--Gara-gara mengirimkan komentar ofensif ke seorang jurnalis melalui Twitter, Gareth Compton, seorang politisi dari partai Konservatif di Inggris, harus berurusan dengan polisi.

Cegah Informasi Simpang Siur, Jemaah Haji Diimbau Tak Bagikan Kabar Tidak Benar di Media Sosial

Compton, 38 tahun, adalah anggota dewan asal Birmingham City. Suatu kali, di Twitter,  dia menulis tweet berbunyi seperti ini: “Tolong lempari Yasmin Alibhai-Brown dengan batu sampai mati. Saya akan memberi amnesti jika Anda melakukannya, karena itu merupakan sebuah berkah.”

Yasmin Alibhai-Brown adalah jurnalis dari harian Independent asal London. Saat diwawancara di radio, jurnalis perempuan itu ditanya apakah politisi Inggris secara moral punya kualifikasi berkomentar soal pelanggaran hak asasi manusia. Termasuk perajaman wanita, seperti terjadi di Iran, di mana Sakineh Mohammadi Ashtiani divonis rajam sampai mati karena dituduh berzina.

Usulan Kejaksaan Izinkan Lima Smelter Perusahaan Timah Tetap Beroperasi Disorot

Tentu, tweet dari Compton itu mengagetkan Yasmin Alibhai-Brown. Dia terkejut ada tweet dari seorang politisi mengajak orang untuk merajam dirinya.

Meski pun Compton lalu menghapus tweet itu dan meminta maaf, tapi gugatan hukum tetap berjalan. “Saya mohon maaf atas posting tersebut. Itu hanya soal lelucon yang salah paham,” Compton menulis di akun Twitter-nya.

Mahfud MD Blak-blakan Soal Langkah Politik Berikutnya Usai Pilpres 2024

Ia juga membela diri dengan menyebut Twitter hanyalah forum untuk menuliskan komentar ringan yang tak bermaksud apa-apa.

Tapi, pihak berwajib toh tetap bergerak. Polisi di Inggris, seperti di London dan Manchester, rupanya cukup tanggap dengan teknologi. Mereka telah memanfaatkan Twitter dalam pelayanannya pada masyarakat.

“Awalnya saya memutuskan melaporkan dia ke polisi. Tetapi rupanya tidak perlu, karena warga masyarakat lain telah melakukannya,” kata Alibhai-Brown. “Politisi adalah wakil orang-orang termasuk jurnalis seperti saya. Tak sepantasnya ia mengatakan sah-sah saja membunuh seorang jurnalis dan penulis.”

Seorang juru bicara partai Konservatif menyebutkan ucapan Compton itu memang tak dapat diterima. Partai Konservatif pun mengambil sikap tegas: Compton dibebastugaskan sampai batas waktu yang tak bisa ditentukan. Setidaknya, sampai penyelidikan atas dirinya tuntas.

Bagaimana di Indonesia?

Meskipun sistem hukum di Inggris tak sama dengan di Indonesia, kasus komentar tak patut di Twitter pernah menjadi persoalan di sini. Misalnya, dulu ada tweet Luna Maya yang dinilai sebagian kalangan melecehkan para pekerja infotaintmen.

Memang, di Indonesia, kasus serangan terhadap media atau jurnalis, seperti gaya Gareth Compton di Inggris itu, belum lagi terjadi di sini. Setidaknya belum ada tweet mengandung hate speech kepada media atau jurnalis, atau seruan kebencian mengajak orang lain agar menyerang kaum yang tak sepaham.

Wina Armada Sukardi, Ketua Komisi Hukum dan Perundangan Dewan Pers, mengatakan pihak manapun tak boleh mengancam pers nasional. "Aturannya ada dalam UU Pers Nomor 40 tahun 1999 Pasal 4 yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional tak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran,” ujar Wina pada VIVAnews, Minggu 14 November 2010.

Sensor di sini, menurut Wina, telah diperluas. “Jika dulu UU hanya mencakup sebagian, atau seluruh materi siaran pra produksi, kini diperluas menjadi semua tindakan dan ucapan yang sifatnya mengancam dari media mana pun,” ujar Wina. “Jika ada yang melanggar, maka ia akan dikenai ancaman 2 tahun penjara dan denda 500 juta rupiah,” ucapnya.

Maka, menurut Wina, jika ada politisi mengancam pers, maka politisi itu memenuhi syarat untuk diajukan ke pengadlian. Wina mengutip Pasal 8 UU Pers, bahwa dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum. “Kalau hal serupa terjadi di Indonesia, maka pelaku juga dapat dikenai hukuman,” ucapnya.

Lebih lanjut Wina menjelaskan, UU Pers bukan delik aduan yang hanya bisa diproses jika ada aduan terlebih dahulu melainkan delik umum. “Tanpa adanya aduan dari pihak lain, jika ditemukan pelanggaran, dapat langsung ditindak,” ucapnya.

Sementara itu, menurut anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, perlu digarisbawahi media sosial seperti Twitter di Indonesia belum jelas, apakah ia merupakan ruang publik, ruang komunitas, atau ruang pribadi. “Sebaiknya, di luar masalah teknologi, perbedaan pendapat itu harus diselesaikan dengan pendapat juga dan dilakukan secara beradab. Jangan dengan kekerasan,” kata Agus. “Argumentasi sebaiknya dibalas dengan argumentasi juga,” dia menambahkan.

Seperti dikutip dari Time, Minggu 14 November 2010, polisi Inggris bergerak menangkap Compton karena dia terbukti melanggar undang-undang Communications Act 2003. Compton dianggap mengirimkan pesan yang menyerang atau tak pantas terhadap orang lain.

Meski dia dibebaskan dengan uang jaminan, tapi Compton tetap was-was menunggu penyelidikan lebih lanjut akibat komentarnya di Twitter itu.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya