Target Kami #2019GantiParlemen

Sekjen Partai Berkarya Priyo Budi Santoso
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA – Kepindahan politisi senior Priyo Budi Santoso dari Partai Golkar ke Partai Berkarya mengejutkan jagad politik nasional. Sebab, 17 tahun malang melintang di partai berlambang Pohon Beringin tersebut, kemampuan politik Priyo tak diragukan.

Sempat berkarir cemerlang di Golkar, bahkan hingga menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI untuk masa jabatan 2009-2014, beberapa tahun terakhir nama Priyo seperti “menghilang”. Posisinya terakhir sebelum hengkang dari partai yang membesarkannya adalah Sekretaris Dewan Kehormatan Partai Golkar.

Sebelum memutuskan “hijrah”, demikian istilah yang digunakan Priyo, ia mengaku dua kali bertemu dengan Tommy Soeharto, Ketua Umum Partai Berkarya. Butuh empat hari bagi pria berusia 52 tahun itu berpikir dan merenung.

Tapi, kekecewaannya pada partai besar yang mengutip istilah Priyo, "mendukung pemerintah dengan menyerahkan leher," itu sudah tak terbendung. Priyo memutuskan bergabung ke Partai Berkarya. Ia langsung mendapat posisi penting, sebagai Sekretaris Jenderal.

Benarkah kepindahannya semata karena kekecewaan? Atau ada hal lain yang membuatnya memilih pindah? Kepada VIVA yang mewawancarainya pada Jumat, 29 Juni 2018, Priyo menceritakan banyak hal. Termasuk bagaimana kekagumannya pada sosok Soeharto, dan Keluarga Cendana, juga target politik Partai Berkarya. Berikut wawancara lengkap VIVA dengan Priyo.

Setelah 17 tahun bergabung dan membesarkan Partai Golkar, apa yang membuat Anda akhirnya bergabung ke Partai Berkarya?

Tidak mudah buat saya untuk memutuskan hijrah ke Partai Berkarya ini. Memang betul saya sudah 17 tahun di Partai Golkar, dan selama ini saya di Golkar selalu berada di posisi centrum. Saya di Golkar, mulai merangkak dari bawah, Pimpinan Komisi, Ketua Fraksi Partai golkar, dan terakhir posisi tertinggi sebagai wakil ketua DPR RI dari Fraksi Partai Golkar.

Itu merupakan pengalaman panjang saya di partai Golkar, dan Insya Allah tidak sedikit juga saya ikut membesarkan dan menjaga partai golkar. Jadi memang tidak mudah bagi saya untuk menentukan pilihan hijrah ke Partai Berkarya. Apalagi terakhir posisi saya di Partai Golkar itu juga cukup penting.

Sebelumnya saya  sebagai Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan jabatan terakhir sebelum hijrah, baik jamannya Ketua Umum Pak Setya Novanto dan Ketua Umum Pak Airlangga Hartarto saya menjabat Sekretaris Dewan Kehormatan Partai, yang ketuanya adalah Mantan Presiden Bapak BJ Habibie.

Lalu hal apa yang akhirnya membuat Anda bergabung dengan Partai Berkarya?

Saya merenung, menghitung dan mengkalkulasi. Ketika suatu hari Mas Tommy Soeharto datang menemui saya setelah beliau terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai Berkarya, beliau mengundang saya dan mengajak diskusi.

Pada pertemuan kedua mengajak saya untuk ikut bergabung, dan menawarkan saya untuk duduk di posisi Sekretaris Jenderal. Saya kaget, karena tidak ada hujan tidak ada angin, dan saya tidak menyangka akan diminta dan ditawarkan bergabung di sini.

Pada pertemuan itu, tidak langsung saya iyakan, tentunya saya mengucapkan terima kasih atas penghormatan dari Mas Tommy yang telah memberikan kepercayaan kepada saya, tetapi saya butuh waktu sekitar empat hari. Ketika itu untuk merenung, menghitung dan mengkalkulasi, menanyakan kepada keluarga, terutama istri saya, dan sudah tentu fatsun politik saya.

Adakah Anda berdiskusi dengan tokoh-tokoh penting di Golkar?

Saya minta ijin kepada tokoh-tokoh Golkar yang selama ini saya pandang dan selalu saya mintai pendapat, yaitu Prof, DR. BJ Habibie sebagai ketua saya di Dewan Kehormatan Partai, kemudian Pak Jusuf Kalla, beliau sekarang Wakil Presiden.

Dan saya juga harus mendiskusikan hal ini, sekaligus mohon pamit kepada senior saya Bang Akbar Tanjung, karena beliau ini yang gembleng saya selama di Golkar, sehingga saya bisa duduk di posisi penting selama ini, dan juga kepada Bang Aburizal Bakrie. Keempat tokoh ini lah yang saya pandang, dan saya harus diskusikan dan mintakan pertimbangan, minta ijin, sekaligus pamit lah ya, dan itu yang terjadi.

Alhamdulillah saya menemui keempat tokoh itu sebelum pada akhirnya saya memutuskan untuk hijrah ke sini. Kesimpulannya apa? Pertama merasa bergembira dan merasa plong, karena mereka, para tokoh di partai Golkar itu pada akhirnya tidak berkeberatan, meskipun mereka memberikan catatan, seperti “loh kenapa sekarang? Kenapa gak nanti menunggu nanti (partai berkarya lolos, dsb), intinya mereka meminta saya tolong pikirkan ulang, ini partai baru, dan sebagainya.

Tapi toh pada akhirnya keputusan kan harus tetap saya ambil. Itu normatifnya, tapi sebenarnya ada alasan-alasan lain yang selama ini mungkin belum saya ungkap, termasuk di media-media.

Apa yang sebenarnya Anda rasakan sebelum memutuskan berpindah partai?