Kisah Lima Perawat di Empat Benua Memerangi Corona

Sumber :
Gabriela Serrano

Dengan lebih dari empat juta kasus yang dilaporkan di seluruh dunia, pandemi virus corona menyebabkan pekerjaan yang dilakoni para perawat menjadi sorotan.

Dalam rangka menandai Hari Perawat Internasional, BBC mewawancarai sejumlah perawat yang bekerja di empat benua berbeda, untuk mempelajari perihal tantangan yang mereka hadapi dalam menghadapi Covid-19.

Hari keperawatan dirayakan pada 12 Mei, hari ulang tahun Florence Nightingale, pendiri keperawatan modern.


Suster Afit: Tetap kasih ASI meski jauh dari keluarga

Afit kini bekerja sebagai suster merawat pasien Covid-19 di Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Ia mengabadikan dan membagikan hari-hari yang dilewati kepada masyarakat melalui Youtube.

Para tenaga medis di RSUD Pasar Minggu diharuskan tinggal di tempat khusus yang disediakan dan jauh dari keluarga.

Untuk mengobati rasa rindunya, ia selalu membawa baju anaknya yang masih membutuhkan air susu ibu (ASI).

"Alhamdulilah pagi ini sudah dapat susu (ASI) untuk anak saya di rumah, about sixty or something. Yah, tidak apa namanya juga ibu pekerja, yang ibu-ibu karier di luar sana juga tahu kalau kita ada sedikit gangguan akan berpengaruh sama produksi ASI kita," kata Afit.

Menurut Afit, ASI yang sudah dikumpulkan kemudian dijemput sang suami. Ia pun hanya bisa berbicara dan bertatap muka dari kejauhan dengan suami, tanpa bisa berpelukan melepas rindu.

"Salam buat Aro (anak) yaa, makasih Momo (suami)," kata Afit sambil menatap suami berjalan meninggalkannya.


"Ibu bilang dia bersyukur punya anak seperti saya`

"Awalnya keluarga saya tidak nyaman saya bergabung dalam memerangi Covid-19. Tetapi ketika mereka melihat foto-foto alat pelindung saya, mereka mengerti bahwa saya cukup terlindungi," kata Mzwakhe Mohlaloganye.

Christian Parkinson / BBC

Mzwakhe, ayah berusia 37 tahun dari dua anak, menjadi perawat selama lima tahun dan menjadi bagian dari tim lapangan Covid-19 di Johannesburg selama dua bulan.

Afrika Selatan menuntaskan langkah luar biasa dalam "meratakan kurva" dan banyak orang mengatakan pengujian dan kesadaran masyarakat merupakan faktor penting di balik keberhasilan itu.

Tim ini menyaring dan melakukan tes terhadap orang-orang di komunitas lokal, memprioritaskan mereka yang berusia di atas 59 tahun dan mereka yang memiliki riwayat kesehatan kronis.

Mzwakhe, yang sudah menemukan peran bermanfaat, melihat apa yang dilakoninya sebagai kesempatan belajar tentang penyakit dan bagaimana hal itu terhubung dengan berbagai kondisi para pasiennya.

Bagaimanapun, keluarganya awalnya memilih memendam perasaan perihal peran baru sang anak dan khawatir tentang kesejahteraannya.

Christian Parkinson / BBC

"Ibu memberitahu saya bahwa dia bersyukur punya anak seperti saya - salah satu dari orang-orang di luar sana yang berjuang untuk mereka."

Merefleksikan upaya yang dilakukan oleh timnya di garis depan dan pekerjaannya sebagai perawat, Mzwakhe merasa dia memainkan peran penting, tak hanya membantu meningkatkan kesadaran, tetapi juga membantu menyelamatkan komunitas.

"Itu membuat saya merasa seperti super hero karena saya merasa seperti penyelamat di negaraku."

Dia juga merasa bahwa sekarang para perawat dihargai lebih dari sebelumnya.

"Untuk para perawat di seluruh dunia, pesan saya adalah jangan menyerah. Anda harus melakukan apa pun untuk membantu melawan virus. Jangan pernah merasa gagal. "


`Foto itu melahirkan simpati tetapi sekailgus meresahkan`

Kehadiran foto ini menjadi simbol sebuah negara yang kewalahan: foto seorang perawat bermasker yang kelelahan dan tertidur di depan komputernya.

Italia saat itu dikejutkan oleh serangan virus - negara barat pertama yang dilanda amat parah - dan foto Elena Pagliarini ini merangkum kehancuran yang ditimbulkannya.

"Saat itu situasinya dramatis," kata Elena kepada BBC, "beberapa pasien sekarat di depan saya.

"Kami bekerja sepanjang malam. Pukul enam pagi, saya berhenti bekerja dan istirahat sebentar di meja dan seorang dokter mengabadikan foto ini. Saat itu adalah momen yang dipenuhi kecemasan."

Dia mengaku tidak menyadari pentingnya foto itu sampai dia dihubungi oleh wartawan dan orang-orang yang tidak dikenalnya.

"Saya menyadari foto itu menjadi berefek luar biasa dibanding saat membidiknya. Foto itu melahirkan simpati tetapi juga meresahkan."

Pada pertengahan Maret, ketika berbagai rumah sakit di wilayah utara Italia berada di titik terparah dan ratusan orang meninggal setiap hari, Elena sendiri terinfeksi, kehilangan indera penciuman dan rasa.

Dia tinggal di rumah selama 23 hari dan kembali bekerja pada 2 April, saat Italia mencapai puncak wabah.

Elena Pagliarini

Semenjak saat itulah, paparan infeksi turun secara dramatis dan tingkat hunian perawatan intensif di rumah sakit turun ke tingkat yang dapat dikelola.

Italia kemudian memulai mengurangi kebijakan karantina wilayah atau lockdown - periode terpanjang di dunia.

"Kami sekarang berada di tahap kedua", kata Elena, "kami masih memiliki beberapa kasus tetapi gejalanya lebih ringan: sakit tenggorokan, dehidrasi, sakit kepala yang akut - tetapi ini bukan situasi darurat."

Setidaknya 160 petugas kesehatan telah meninggal di Italia. Petugas medis negara - seperti yang terjadi di banyak tempat - dipandang sebagai pahlawan dalam pertempuran ini.

"Saya bangga dengan pekerjaan saya", kata Elena. "Foto itu hanya memperlihatkan saya, tapi itu mewakili semua perawat dan para dokter."


`Usia mereka di atas 70 tahun dan selamat`

Gabriela Serrano, perawat yang bekerja di Amerika Serikat (AS), memiliki kenangan indah saat dia melihat seorang pasien Covid-19 pertamanya dipulangkan dari rumah sakit.

"Dia sangat senang ketika saya mendorongnya keluar dari rumah sakit. Dia berkata: `Sangat menyenangkan melihat matahari bersinar dan menghirup udara segar`".

Gabriela sudah menjadi perawat sejak tujuh tahun. Selama pandemi dia bekerja di sebuah rumah sakit di pinggiran San Francisco.

"Dua pasien Covid-19 yang saya rawat memiliki riwayat kesehatan yang mendasarinya dan usianya di atas 70 tahun. Namun mereka mampu bertahan hidup. Ini memberi saya harapan."

Gabriela, 31 tahun, sudah melihat tiga kasus kematian - bukan disebabkan virus corona - dalam dua bulan terakhir. Dia menggambarkan saat dia merawat seorang perempuan yang tengah sekarat.

"Dia sedikit memberikan respon pada hari pertama, tetapi tidak melalui percakapan. Saya menjelaskan semua yang saya lakukan padanya, walau dia tidak dapat berbicara kembali kepada saya."

Gabriela Serrano

Keesokan harinya, pasien itu bahkan tidak membuka matanya.

Rumah sakit kemudian mengizinkan kunjungan dari kerabat dekatnya selama jam-jam terakhirnya. Sayangnya, dia tidak memiliki keluarga dekat dan teman-teman dekatnya memilih menjauh dari rumah sakit.

"Saya duduk di sisinya, memegang tangannya dan mengatakan kepadanya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Saya ada di sana. Dia memiliki seseorang bersamanya," kata Gabriela.

"Saya tidak tahu apakah dia bisa mendengarku saat itu, tapi itulah hal terbaik yang bisa saya lakukan untuknya."

Kerja kerasnya tidak menyelamatkan pekerjaannya. Dia adalah perawat paruh waktu (travel nurse), yaitu mereka yang bekerja dalam jangka pendek.

Permintaan perawatan pasien secara umum menurun, karena warga takut tertular virus dan tidak sedikit yang memilih tinggal jauh dari rumah sakit untuk perawatan non-darurat, sehingga rumah sakit tempatnya bekerja memutuskan tidak memperpanjang kontraknya.

"Saya cukup optimis mendapatkan pekerjaan dalam sebulan ini. Saya akan mengambil apa yang bisa saya lakukan."


`Satu orang terinfeksi dapat mengancam seluruh populasi`

"Pada 24 Maret, kami memiliki kasus positif Covid-19 yang pertama. Saya sekonyong-konyong memikirkan dua pasien dari suku terasing di rumah sakit saya. Saya meminta mereka untuk pergi," kata Shanti Teresa lakra.

Shanti memilih menyediakan layanan kesehatan bagi kelompok suku terasing di kepulauan Andaman dan Nikobar di wilayah perairan India. Atas dedikasinya itu, dia telah menerima penghargaan Florence Nightingale, pengakuan profesional tertinggi untuk para perawat di India.

Shanti Teresa lakra
Shanti memilih menyediakan layanan kesehatan bagi kelompok suku terasing di kepulauan Andaman dan Nikobar di wilayah perairan India.

Dia merawat seorang bocah lelaki berusia lima tahun dari suku Jarawa yang terkena pneumonia, serta seorang perempuan suku Shompen yang membutuhkan perawatan kesuburan.

Masyarakat suku Jarawa melakukan kontak dengan dunia luar pada 1997. Kehidupan suku ini sehari-hari adalah berburu dan tinggal di sebuah cagar hutan sekitar 80 km dari Port Blair, tempat Shanti sekarang bekerja.

Getty Images

Sepekan setelah bocah itu dipulangkan, Shanti pergi ke kawasan hutan untuk memeriksanya.

"Dia sudah pulih sepenuhnya. Karena saya bisa berbicara sedikit bahasa mereka, saya menyuruh mereka untuk pindah jauh ke dalam hutan dan tinggal di sana."

Isolasi diri berfungsi sebagai perisai bagi kelompok-kelompok suku terasing iniselama ribuan tahun, tetapi adanya perluasan permukiman selama seabad terakhir telah menghancurkan populasi mereka.

Shanti mengatakan saat ini ada sekitar 450 orang anggota suku Jarawa.

"Kekebalan mereka rendah. Satu orang terinfeksi dapat mengancam seluruh populasi."


Dilaporkan oleh Swaminathan Natarajan, Mark Lowen dan Christian Parkinson